Januari 25, 2012

Rekonsiliasi Berbasis Keadilan

Dimuat di Rimanews, Rabu/25 Januari 2012

http://www.rimanews.com/read/20120125/52677/rekonsiliasi-berbasis-keadilan

1327539911563664240

Foto jepretan Kresna Duta, langsung dari lokasi kejadian

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai kota berhati nyaman. Warganya saling mengapresiasi pelangi perbedaan. Bahkan Yogyakarta dianggap sebagai miniatur Indonesia. Pelbagai suku, agama, ras, golongan, dst hidupbersama dalam harmoni. Ironisnya, kedamaian itu terkoyak oleh tingkah pongah segelintir orang untuk memaksakan kehendak. Mereka membubarkan pengajian tahunan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Lahore di SMK PIRI Baciro pada Jumat (13/1).

Penulis amat terpukul dengan sikap Wali Kota, jajarannya, dan aparat keamanan. Karena mereka justru mengakomodir keinginan sepihak tersebut. Padahal, panitia pengajian sudah memberitahukan sejak 28 Desember 2011 silam. Sehingga aparat kepolisian wajib mengamankan, bukan justru membubarkan. Kalau toh mau membubarkan, bubarkanlah kelompok pembuat onarnya.

Tindakan Hariyadi Suyuti - yang tunduk pada tekanan kelompok anti pluralisme - niscaya membuka peluang terjadinya insiden serupa di masa depan. Tak hanya di Yogyakarta tapi juga di daerah-daerah lain di tanah air. Sebab, DIY merupakan barometer keberagaman hidup Nusantara. Apalagi jauh-jauh hari Ngarso Dalem Sri Sultan Hamnegku Buwono X sudah berkomitmen melindungi Ahmadiyah dan kelompok minoritas di bumi Mataram tercinta.

Kronologis

Rencananya, pada Jumat hingga Sabtu (13-14 Januari 2012) GAI Lahore akan menggelar acara Pengajian tahunan di Kompleks SMK PIRI Yogyakarta. Tak kurang dari 500 peserta hadir dari pelbagai daerah. Selama 84 tahun (sejak 1928) rutin diadakan. Tak pernah sekalipun terjadi masalah, baru kali ini terjadi insiden semacam itu. Sebelumnya, pada Kamis (12/1) sudah beredar sms ancaman untuk membubarkan Pengajian tersebut. Sekitar jam 21.00 WIB ada 20 orang mendatangi SMK PIRI. Untungnya, mereka berhasil dihalau oleh aparat TNI dan POLRI yang berjaga malam itu.

Keesokan harinya, pada Jumat (13/1) aparat Brimob, Dalmas, dan Polwan yang berjumlah sekitar 600 personil bersiap sejak pagi. Lantas, pasca sholat Jumat, sekitar jam 14.30 WIB datanglah ratusan massa ke lokasi. Mereka menamakan diri sebagai Forum Umat Islam (FUI). Anggotanya terdiri atas MMI, GPK, FJI dan GAM. Sembari mengendari motor dan mobil bak terbuka, mereka berorasi menuntut pembubaran Ahmadiyah. “Jika aparat tidak sanggup membubarkan GAI dan kegiatannya, kami akan membubarkan mereka sendiri.”

Kemudian pada jam 15.30 WIB rombongan Wali Kota, Polresta datang ke lokasi. Mereka melakukan negosiasi dengan para demonstran. Hasilnya langsung dibawa ke Panitia Acara yang sedang menggelar Pengajian Bersama. Akhirnya, sekitar jam 16.00 WIB panitia bersedia mengalah dan mengakhiri kegiatan sehari lebih awal dari jadwal semula. Para wanita peserta pengajian histeris dan ketakutan. Tak terbayang trauma psikis yang mereka rasakan akibat intimidasi dan teror tersebut.

Keadilan merupakan prasyarat utama perdamaian. Tatkala rasa keadilan di masyarakat tak terpenuhi, perdamaian itu semu. Keadilan tak hanya dalam ranah ekonomi. Tapi juga aspek sosial, termasuk dalam hal kebebasan untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Hal ini dijamin oleh pasal 29 UUD 1945: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Ironisnya, konsensus nasional tersebut dikangkangi oleh segelintir kaum radikal berkedok agama. Mereka menginjak-injak hak asasi warga Ahmadiyah untuh beribadah. M. Iwan Satriawan menguraikannya dalam artikel “Bahaya Formalisasi Agama” (Lampung Post, 13 Januari 2012). Menurut Dosen Dosen Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila) tersebut kini kegamaan menjadi isu strategis bagi kelompok kaum puritan. Para penganut sekte Wahabi ingin menyeragamkan cara pandang umat. Rencana sistematis ini mendapat dukungan dari Pemerintah Saudi Arabia. Tidak kurang dari 500 juta dolar AS siap dkucurkan (The Wahid Institute, 2011).

Budaya

Secara lebih mendalam Anand Krishna menguraikan kondisi psikososial manusia. Kebiasaan seseorang niscaya meninggalkan jejak jiwa. Telapak ini disebut samskars. Ada samskars yang baik dan yang buruk. Samskars-samskars tersebut menentukan watak seseorang (Tri Hita Karana: 2008). Samskars yang baik membentuk samskriti atau tradisi. Konsensus universal itu seiring waktu menjadi kebudayaan sebuah bangsa. Bahkan istilah Sanskrit – nama yang notabene dipakai untuk menyebut bahasa Sansekerta berasal dari akar kata dasar yang sama – samskar.

Artinya, kelompok milisi sipil yang acapkali meninggalkan jejak ketakutan dan pemaksaan kehendak belumlah berbudaya. Mereka masih menjadi budak kekerasan jiwa. Gawatnya lagi, negara dan aparat keamanan tunduk pada tekanan mereka. Ini bisa menjadi preseden buruk ke depannya.

Dalam konteks di atas penulis bersepakat dengan pernyataan sikap Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai). Mereka mengutuk aksi pembubaran pengajian Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) Lahore tersebut. Sebab telah menciderai semangat Jogja City of Tolerance dan bertentangan dengan Pancasila. Sekarang Ahmadiyah yang menjadi korban, lain kali siapapun yang dianggap berseberangan akan ditindas hak asasinya untuk beribadah.

Aliansi yang terdiri atas puluhan lembaga sosial kemasyarakatan seperti DIAN/Interfidei, Forum LSM, FPUB, GAMKI, IPPAK Universitas Sanata Dharma, IRE, Jaringan Islam Kampus, Jembatan Persahabatan, Komunitas Warna Kampus UGM, LPN, LSIP, LSKP, NIM, PADII, PKBI, PLIP Mitra Wacana, PSI UII, PW FATAYAT NU DIY, PC FATAYAT NU Kota Yogyakarta, Rumpun Nusantara, RTND, SIM-C, SOS Desa Taruna Indonesia, SP Kinasih, Suluh Perdamaian, Syarikat Indonesia, Sunda Wiwitan, YASANTI, YLKIS, dan YPR itu meminta Wali Kota menjelaskan alasan pembubaran pengajian GAI di kompleks PIRI tersebut.

Selain itu, AJI Damai juga menuntut Hariyadi Suyuti meminta maaf ke hadapan publik lewat media massa terkait insiden memalukan ini. Wali Kota juga harus berjanji untuk menjamin peristiwa serupa tidak terulang kembali. Sebab, tragedi kemanusiaan ini jelas bertentangan dengan konteks masyarakat Kota Pendidikan yang multikultur. Senada dengan pendapat Romo Benny Susetyo Pr bahwa kekerasan harus dapat dikurangi secara signifikan. Pemimpin harus dapat menjelaskan bagaimana caranya membangun rekonsiliasi berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Akhir kata, sejatinya kemajemukan merupakan modal utama untuk melakukan perubahan. Sehingga keadilan dan kesejahteraan sosial dapat kita nikmati bersama. Bukankah Islam juga menandaskan bahwa perbedaan itu sebuah rahmat (ikhtilafu ummati rahmatun). Damai Yogyakartaku…Damai Indonesiaku…

__________________________________

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris dan Kawulo Ngayogyakarta Hadiningrat

Tidak ada komentar: