Dimuat di Targetabloid.co.id, Senin/6 Januari 2013
Sabtu
 (28/12/2013) pukul 09.00-13.30 WIB Universitas Sanata Dharma (USD)  
menggelar  seminar nasional “Revitalisasi Paham Kebangsaaan di Tengah 
Budaya  Politik Pragmatis” di Ruang Koendjono, Kampus Mrican, Jln. 
Affandi,  Yogyakarta.
Acara  tersebut merupakan puncak 
Reuni Akbar USD dan perayaan Seabad Prof. Dr.  Nicolaus Drijarkara, SJ. 
Ratusan alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu  Pendidikan, Fakultas Sastra, 
Fakultas Ekonomi, Fakultas Teologi,  Fakultas Psikologi, Fakultas 
Farmasi, dan Fakultas Teknik dari seluruh  Indonesia memadati ruang di 
lantai IV Gedung Pusat. Tema reuni kali ini  bertajuk “Bertemu 
Mempererat Persaudaraan dan Menggelorakan Semangat  Berkarya untuk 
Kemanusiaan.”
T.  Sarkim, Ketua Panitia Reuni Akbar 2013 
mengatakan bahwa sejak didirikan  pada 1955 sampai saat ini, hampir 
empat puluh ribu orang muda dari  berbagai wilayah di tanah air pernah 
mengalami pendidikan di USD.  Setelah  rampung menempuh pendidikan di 
sini, mereka berkarya di berbagai  wilayah Indonesia dalam beragam 
bidang prosesi. Baik di instansi  pemerintah maupun lembaga pendidikan, 
perusahaan, industri, instansi  sosial, dan instansi-instansi lainnya.
“Para
  alumni USD hendak berkontribusi secara positif terhadap pembangunan  
bangsa Indonesia yang bermartabat. Karena situasi bangsa Indonesia  
dewasa ini dalam banyak aspek masih jauh dari cita-cita kemerdekaan.  
“Reuni ini bukan sekadar untuk melepas rasa kangen, tapi lebih dari itu 
 untuk menyerap kembali energi dan merevitalisasi semangat seperti saat 
 masih belajar di sini dulu,“ imbuhnya.
Selanjutnya,  Romo
 Rektor USD, Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, SJ menguraikan alasan  
pihak Universitas mengumpulkan dan mengorganisasikan para alumninya.  
Salah satunya, karena pendirian Perguruan Tinggi Pendirikan Guru (PTPG) 
 Sanata Dharma terkait erat dengan kebutuhan bangsa untuk memiliki  
tenaga-tenaga guru yang andal.  Kebutuhan  tersebut dikemukakan oleh 
Prof. Dr. Mohammad Yamin dan ditanggapi  secara positif oleh Prof. Dr. 
N. Drijarkara SJ dan teman-teman Jesuitnya  dengan mendirikan PTPG 
Sanata Dharma.
“Jadi bisa disimpulkan bahwa kelahiran USD 
 pun  diusahakan demi tujuan yang sama. Yakni menjawab  
kepentingan-kepentingan bangsa melalui pengabdian-pengabdian yang nyata.
  Ketika kepentingan-kepentingan bangsa menjadi semakin luas dan besar, 
 USD perlu mengajak para alumninya untuk dapat menjawab  
kepentingan-kepentingan tersebut melalui pengabdian-pengabdian yang  
lebih nyata, lebih luas, dan lebih terasakan oleh masyarakat di seluruh 
 pelosok tanah air,” jelasnya.
Pada  sesi panel, Darmanto 
(Alumni Fakultas Sejarah USD) selaku moderator  mengundang dua panelis 
ke atas panggung. Yakni Emanuel Melkiades Laka  Lena (Alumni Fakultas 
Farmasi USD) dan Haryatmoko (Dosen USD).  Narasumber pertama Emanuel 
Melkiades Laka Lena lebih berbicara hal-hal  yang praktis. Menurutnya 
selama masih berbangsa, isu kebangsaan selalu  tetap aktual.
Melkiades
  menceritakan pengalamannya bersama Franky Sahilatua. Mereka pernah  
membagikan fotokopian lagu “Pancasila Rumah Kita” dalam acara pertemuan 
 politisi muda lintas partai se-Indonesia pada Desember 2005 silam. 
“Saat  itu banyak yang kaget, Pancasila yang pasca reformasi sudah masuk
 laci  meja penguasa dan rakyat, dibuka kembali ke publik dengan cara 
yang  berbeda,” kenangnya.
Dalam  makalahnya Melkiades 
juga membandingkan cara membumikan Pancasila  tersebut dengan yang 
pernah dilakukan Bung Karno ketika dibuang ke Ende  pada 1934-1938. Bung
 Karno juga mendidik rakyat dengan politik  kebudayaan. Karena ia 
dilarang untuk berpidato politik oleh pemerintah  kolonial Belanda. 
Caranya dengan membentuk kelompok tonil (drama)  Kelimutu. Anggotanya 
terdiri dari rakyat kecil dengan beragam pekerjaan.  Setelah dilatih 
mereka pun bisa menyampaikan pesan kemerdekaan Bung  Karno lewat 
kesenian tonil.
“Cara  ini serupa pemikiran Drijarkara 
yang juga menggunakan istilah membudaya  dan membudayakan dalam 
melaksanakan Pancasila. Berpikir sesuai  pengalaman keseharian, 
membatinkan Pancasila dan menjalankan Pancasila  secara dialektis,” 
paparnya. 
Panelis  selanjutnya Haryatmoko menyoroti 
tantangan global berupa budaya  kapitalisme baru. Antara lain menguatnya
 individualisme, melemahnya  struktur kolektif, menjamurnya budaya 
urgensi dan hedonisme, antipati  terhadap komitmen, aktivisme yang 
mengabaikan makna, dan kepribadian  ekstrim yang menyuburkan 
radikalisme.
Menurut  alumni Fakultas Teologi USD 
tersebut, gagasan kebangsaan Drijarkara  tetap relevan untuk diterapkan 
untuk menjawab tantangan zaman. Dalam  makalahnya ia menulis, “Untuk 
praktek sehari-hari kami sarankan agar  orang sadar bahwa dengan 
pekerjaan sehari-hari orang ikut serta  menghayu-hayu seluruh bangsa. 
Demikian pula halnya dengan tiap-tiap  pekerjaan. (…) Demikian juga jika
 kita menganjurkan kepada mahasiswa dan  siswa supaya kerja keras supaya
 belajar sebaik-baiknya, akhirnya semua  ini mempunyai pengaruh kepada 
seluruh bangsa.” (Sudiarja dkk., 2006:  899).
“Gagasan  
Drijarkara itu menyiratkan bahwa latihan dan kebiasaan itu harus  
dimulai dengan masalah-maslah nyata di lingkungan mereka. Dewasa ini,  
bisa ditawarkan bentuk-bentuk kerja sosial sukarela atau pengabdian  
masyarakat, kepada mahasiswa dan pelajar SMU, untuk diorganisir dan  
diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan karakter. Bentuk-bentuk  
kerja relawan lain bisa beragam: untuk kepentingan umum (bangunan  
publik, taman publik, lapangan, sekolah, hutan); demi pendidikan  
pluralitas (aktivitas lintas agama, rumah ibadat, kegiatan dialog,  
membantu kegiatan agama lain); untuk solidaritas dan peduli lingkungan: 
 bekerja untuk orang miskin, rumah jompo, bencana alam, keanggotaan 
dalam  kegiatan pramuka, olahraga, dan organisasi-organisasi 
kemasyarakatan,”  paparnya.
Sekitar  pukul 11.00 WIB 
rombongan Megawati Soekarnoputri memasuki ruangan.  Presiden ke-5 
Republik Indonesia tersebut ditemani Gubernur DKI Jakarta,  Joko Widodo 
yang kebetulan sedang mudik ke Solo. Tampak pula Sekretaris  Jenderal 
(Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo  Kumolo dan
 Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sidarto  Danusubroto.
Dalam
  pidatonya, Ketua Umum PDIP tersebut menceritakan bahwa Bung Karno  
bersahabat karib dengan Romo Drijarkara walau usianya terpaut 12 tahun  
(lebih muda Drijarkara). Persahabatan tersebut sedemikian erat karena  
keduanya sama-sama mencintai Pancasila. “Sebab Pancasila ialah falsafah 
 sekaligus dasar. Bukan falsafah atau dasar saja. Jadi Pancasila  
merupakan ideal di awang-awang tapi sekaligus dasar yang membumi,”  
ujarnya. 
Megawati
  juga mengaitkan perayaan hari Ibu setiap 22 Desember dengan perjuangan
  kaum perempuan. Ia sering bertanya kepada orang Aceh, bagaimana Islam 
di  sana sebelum masuknya Snouck  Hurgronje. Menurut Megawati, tokoh 
tersebut sengaja dikirim untuk  memanipulasi dan mengadu domba. Sebab 
sebelumnya ketika rakyat Aceh  dipimpin Cut Nyak Dien, Cut Mutia, 
Laksamana Malahayati, mereka tak  terkalahkan oleh Belanda.
“Kalau membaca sejarah kehidupan Laksamana Malahayati, saya ngefans
 sekali kepadanya. Ia memiliki kapal, anak buah, dan pernah memenangi 
pertarungan  satu lawan satu dengan seorang Gubernur Jenderal Belanda,” 
 tuturnya.
Sebagai  seorang nenek, Megawati pun 
menceritakan pengalaman dengan  cucu-cucunya. Suatu ketika ia meminta 
salah satu cucunya beteriak tapi  pelan. Menurut sang cucu, rasanya 
tidak plong. Lalu, Mega meminta  cucunya berteriak sekeras-kerasnya. 
Menurut sang cucu, rasanya bebas  lepas. “Itulah suara kemanusiaan kita 
yang terpendam dan menanti untuk  tertarik keluar. “Oleh sebab itu, dulu
 saya pun mempopulerkan kembali  pekik: Merdeka!” pungkasnya.
Untuk
  mengobati kerinduan kaum muda, Darmanto selaku moderator meminta Joko 
 Widodo untuk juga angkat suara. Gubernur DKI Jakarta itu menceritakan  
pengalamannya saat mengeluarkan KJS (Kartu Jakarta Sehat).
Menurut
  pria yang akrab disapa Jokowi tersebut, saat ia blusukan dari satu  
kampung ke kampung lainnya di Jakarta, banyak dijumpai warga yang  
tergeletak lemah di rumah karena sakit. Mereka tak bisa berobat ke rumah
  sakit karena tak punya uang.
“Total
  ada sekitar 510.000 warga tergeletak bertahun-tahun dan tak ada  
kebijakan apa-apa dari pemerintah. Padahal ada APBD sebesar Rp1,2  
trilyun untuk anggaran kesehatan. Tapi karena sistem tidak dibangun,  
warga yang sakit tersebut tetap tak tersentuh. Kami pertama kali  
mengeluarkan KJS pada 15 November 2012, lalu pada Februari 2013  
puskesmas dan rumah sakit di Jakarta kebanjiran pasien,” kisahnya.
“Karena
  itu, anggota dewan sempat mengatakan bahwa kita belum siap, tapi apa  
kita akan terus membiarkan warga yang tergeletak bertahun-tahun tak bisa
  berobat tersebut? Dulu Bung Karno pun tak membiarkan penjajah terus  
menindas kita, beliau bersama Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia  
memproklamasikan kemerdekaan dengan segala resikonya,” ujarnya.
“Karena
  KJS tersebut, dewan hendak memasygulkan kita karena dianggap gagal. 
Kok  baru mulai sudah dianggap gagal. Kalau saya dimasygulkan karena  
mengeluarkan KJS untuk warga yang sakit, saya bersyukur sekali. Tapi  
ternyata sampai sekarang tidak ada pemasygulan,” imbuhnya.
Setelah
  Megawati dan Jokowi menyampaikan paparannya dalam seminar nasional dan
  konferensi pers, panitia mengajak keduanya untuk mengunjungi Beringin 
 Soekarno. Pada kesempatan itu, Megawati juga membubuhkan tandatangan  
pada sebuah prasasti. Menurut Rektor USD Paulus Wiryono, SJ pohon  
beringin yang kini menjulang tinggi di tengah-tengah halaman kompleks  
kampus Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya tersebut dulu bibitnya  
ditanam oleh Presiden RI pertama, Soekarno pada 8 April 1960. 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar