Januari 06, 2014

Megawati dan Jokowi Hadiri Seminar Nasional di USD

Dimuat di Targetabloid.co.id, Senin/6 Januari 2013

Sabtu (28/12/2013) pukul 09.00-13.30 WIB Universitas Sanata Dharma (USD)  menggelar seminar nasional “Revitalisasi Paham Kebangsaaan di Tengah Budaya Politik Pragmatis” di Ruang Koendjono, Kampus Mrican, Jln. Affandi, Yogyakarta.

Acara tersebut merupakan puncak Reuni Akbar USD dan perayaan Seabad Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ. Ratusan alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Sastra, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teologi, Fakultas Psikologi, Fakultas Farmasi, dan Fakultas Teknik dari seluruh Indonesia memadati ruang di lantai IV Gedung Pusat. Tema reuni kali ini bertajuk “Bertemu Mempererat Persaudaraan dan Menggelorakan Semangat Berkarya untuk Kemanusiaan.”

T. Sarkim, Ketua Panitia Reuni Akbar 2013 mengatakan bahwa sejak didirikan pada 1955 sampai saat ini, hampir empat puluh ribu orang muda dari berbagai wilayah di tanah air pernah mengalami pendidikan di USD.  Setelah rampung menempuh pendidikan di sini, mereka berkarya di berbagai wilayah Indonesia dalam beragam bidang prosesi. Baik di instansi pemerintah maupun lembaga pendidikan, perusahaan, industri, instansi sosial, dan instansi-instansi lainnya.

“Para alumni USD hendak berkontribusi secara positif terhadap pembangunan bangsa Indonesia yang bermartabat. Karena situasi bangsa Indonesia dewasa ini dalam banyak aspek masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. “Reuni ini bukan sekadar untuk melepas rasa kangen, tapi lebih dari itu untuk menyerap kembali energi dan merevitalisasi semangat seperti saat masih belajar di sini dulu,“ imbuhnya.

Selanjutnya, Romo Rektor USD, Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, SJ menguraikan alasan pihak Universitas mengumpulkan dan mengorganisasikan para alumninya. Salah satunya, karena pendirian Perguruan Tinggi Pendirikan Guru (PTPG) Sanata Dharma terkait erat dengan kebutuhan bangsa untuk memiliki tenaga-tenaga guru yang andal.  Kebutuhan tersebut dikemukakan oleh Prof. Dr. Mohammad Yamin dan ditanggapi secara positif oleh Prof. Dr. N. Drijarkara SJ dan teman-teman Jesuitnya dengan mendirikan PTPG Sanata Dharma.

“Jadi bisa disimpulkan bahwa kelahiran USD  pun diusahakan demi tujuan yang sama. Yakni menjawab kepentingan-kepentingan bangsa melalui pengabdian-pengabdian yang nyata. Ketika kepentingan-kepentingan bangsa menjadi semakin luas dan besar, USD perlu mengajak para alumninya untuk dapat menjawab kepentingan-kepentingan tersebut melalui pengabdian-pengabdian yang lebih nyata, lebih luas, dan lebih terasakan oleh masyarakat di seluruh pelosok tanah air,” jelasnya.

Pada sesi panel, Darmanto (Alumni Fakultas Sejarah USD) selaku moderator mengundang dua panelis ke atas panggung. Yakni Emanuel Melkiades Laka Lena (Alumni Fakultas Farmasi USD) dan Haryatmoko (Dosen USD). Narasumber pertama Emanuel Melkiades Laka Lena lebih berbicara hal-hal yang praktis. Menurutnya selama masih berbangsa, isu kebangsaan selalu tetap aktual.

Melkiades menceritakan pengalamannya bersama Franky Sahilatua. Mereka pernah membagikan fotokopian lagu “Pancasila Rumah Kita” dalam acara pertemuan politisi muda lintas partai se-Indonesia pada Desember 2005 silam. “Saat itu banyak yang kaget, Pancasila yang pasca reformasi sudah masuk laci meja penguasa dan rakyat, dibuka kembali ke publik dengan cara yang berbeda,” kenangnya.

Dalam makalahnya Melkiades juga membandingkan cara membumikan Pancasila tersebut dengan yang pernah dilakukan Bung Karno ketika dibuang ke Ende pada 1934-1938. Bung Karno juga mendidik rakyat dengan politik kebudayaan. Karena ia dilarang untuk berpidato politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Caranya dengan membentuk kelompok tonil (drama) Kelimutu. Anggotanya terdiri dari rakyat kecil dengan beragam pekerjaan. Setelah dilatih mereka pun bisa menyampaikan pesan kemerdekaan Bung Karno lewat kesenian tonil.

“Cara ini serupa pemikiran Drijarkara yang juga menggunakan istilah membudaya dan membudayakan dalam melaksanakan Pancasila. Berpikir sesuai pengalaman keseharian, membatinkan Pancasila dan menjalankan Pancasila secara dialektis,” paparnya. 

Panelis selanjutnya Haryatmoko menyoroti tantangan global berupa budaya kapitalisme baru. Antara lain menguatnya individualisme, melemahnya struktur kolektif, menjamurnya budaya urgensi dan hedonisme, antipati terhadap komitmen, aktivisme yang mengabaikan makna, dan kepribadian ekstrim yang menyuburkan radikalisme.

Menurut alumni Fakultas Teologi USD tersebut, gagasan kebangsaan Drijarkara tetap relevan untuk diterapkan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam makalahnya ia menulis, “Untuk praktek sehari-hari kami sarankan agar orang sadar bahwa dengan pekerjaan sehari-hari orang ikut serta menghayu-hayu seluruh bangsa. Demikian pula halnya dengan tiap-tiap pekerjaan. (…) Demikian juga jika kita menganjurkan kepada mahasiswa dan siswa supaya kerja keras supaya belajar sebaik-baiknya, akhirnya semua ini mempunyai pengaruh kepada seluruh bangsa.” (Sudiarja dkk., 2006: 899).

“Gagasan Drijarkara itu menyiratkan bahwa latihan dan kebiasaan itu harus dimulai dengan masalah-maslah nyata di lingkungan mereka. Dewasa ini, bisa ditawarkan bentuk-bentuk kerja sosial sukarela atau pengabdian masyarakat, kepada mahasiswa dan pelajar SMU, untuk diorganisir dan diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan karakter. Bentuk-bentuk kerja relawan lain bisa beragam: untuk kepentingan umum (bangunan publik, taman publik, lapangan, sekolah, hutan); demi pendidikan pluralitas (aktivitas lintas agama, rumah ibadat, kegiatan dialog, membantu kegiatan agama lain); untuk solidaritas dan peduli lingkungan: bekerja untuk orang miskin, rumah jompo, bencana alam, keanggotaan dalam kegiatan pramuka, olahraga, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan,” paparnya.

Sekitar pukul 11.00 WIB rombongan Megawati Soekarnoputri memasuki ruangan. Presiden ke-5 Republik Indonesia tersebut ditemani Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang kebetulan sedang mudik ke Solo. Tampak pula Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sidarto Danusubroto.

Dalam pidatonya, Ketua Umum PDIP tersebut menceritakan bahwa Bung Karno bersahabat karib dengan Romo Drijarkara walau usianya terpaut 12 tahun (lebih muda Drijarkara). Persahabatan tersebut sedemikian erat karena keduanya sama-sama mencintai Pancasila. “Sebab Pancasila ialah falsafah sekaligus dasar. Bukan falsafah atau dasar saja. Jadi Pancasila merupakan ideal di awang-awang tapi sekaligus dasar yang membumi,” ujarnya.

Megawati juga mengaitkan perayaan hari Ibu setiap 22 Desember dengan perjuangan kaum perempuan. Ia sering bertanya kepada orang Aceh, bagaimana Islam di sana sebelum masuknya Snouck Hurgronje. Menurut Megawati, tokoh tersebut sengaja dikirim untuk memanipulasi dan mengadu domba. Sebab sebelumnya ketika rakyat Aceh dipimpin Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati, mereka tak terkalahkan oleh Belanda.
“Kalau membaca sejarah kehidupan Laksamana Malahayati, saya ngefans sekali kepadanya. Ia memiliki kapal, anak buah, dan pernah memenangi pertarungan  satu lawan satu dengan seorang Gubernur Jenderal Belanda,”  tuturnya.

Sebagai seorang nenek, Megawati pun menceritakan pengalaman dengan cucu-cucunya. Suatu ketika ia meminta salah satu cucunya beteriak tapi pelan. Menurut sang cucu, rasanya tidak plong. Lalu, Mega meminta cucunya berteriak sekeras-kerasnya. Menurut sang cucu, rasanya bebas lepas. “Itulah suara kemanusiaan kita yang terpendam dan menanti untuk tertarik keluar. “Oleh sebab itu, dulu saya pun mempopulerkan kembali pekik: Merdeka!” pungkasnya.

Untuk mengobati kerinduan kaum muda, Darmanto selaku moderator meminta Joko Widodo untuk juga angkat suara. Gubernur DKI Jakarta itu menceritakan pengalamannya saat mengeluarkan KJS (Kartu Jakarta Sehat).
Menurut pria yang akrab disapa Jokowi tersebut, saat ia blusukan dari satu kampung ke kampung lainnya di Jakarta, banyak dijumpai warga yang tergeletak lemah di rumah karena sakit. Mereka tak bisa berobat ke rumah sakit karena tak punya uang.

“Total ada sekitar 510.000 warga tergeletak bertahun-tahun dan tak ada kebijakan apa-apa dari pemerintah. Padahal ada APBD sebesar Rp1,2 trilyun untuk anggaran kesehatan. Tapi karena sistem tidak dibangun, warga yang sakit tersebut tetap tak tersentuh. Kami pertama kali mengeluarkan KJS pada 15 November 2012, lalu pada Februari 2013 puskesmas dan rumah sakit di Jakarta kebanjiran pasien,” kisahnya.

“Karena itu, anggota dewan sempat mengatakan bahwa kita belum siap, tapi apa kita akan terus membiarkan warga yang tergeletak bertahun-tahun tak bisa berobat tersebut? Dulu Bung Karno pun tak membiarkan penjajah terus menindas kita, beliau bersama Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dengan segala resikonya,” ujarnya.

“Karena KJS tersebut, dewan hendak memasygulkan kita karena dianggap gagal. Kok baru mulai sudah dianggap gagal. Kalau saya dimasygulkan karena mengeluarkan KJS untuk warga yang sakit, saya bersyukur sekali. Tapi ternyata sampai sekarang tidak ada pemasygulan,” imbuhnya.

Setelah Megawati dan Jokowi menyampaikan paparannya dalam seminar nasional dan konferensi pers, panitia mengajak keduanya untuk mengunjungi Beringin Soekarno. Pada kesempatan itu, Megawati juga membubuhkan tandatangan pada sebuah prasasti. Menurut Rektor USD Paulus Wiryono, SJ pohon beringin yang kini menjulang tinggi di tengah-tengah halaman kompleks kampus Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya tersebut dulu bibitnya ditanam oleh Presiden RI pertama, Soekarno pada 8 April 1960.

Tidak ada komentar: