Januari 06, 2014

Merefleksikan Kurikulum 2013

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/7 Januari 2014

Tatkala berlangsung rapat sejumlah guru mata pelajaran (mapel) dengan kepala sekolah (kepsek), syahdan terdengar suara angin yang dibarengi aroma tak sedap. Bunyinya ”dut” dan para guru yang hadir pun mulai saling berkomentar. Guru matematika: Itu sesuatu yang tidak bisa dikali namun baunya bisa dibagi-bagi.

Guru kesenian: Bunyi nadanya terletak pada kunci K. Guru fisika: Inilah yang disebut inner power, tenaga yang digunakan kecil namun hasilnya luar biasa. Guru biologi: Sisa-sisa dari proses metabolisme dalam tubuh manusia.

Guru agama: Ini salah satu penyebab batalnya wudhu dan shalat. Guru geografi: Posisi keberadaannya selalu mengikuti arah angin. Guru sosiologi: Perilaku menyimpang pada sikap manusia. Guru sejarah: Salah satu penyebab terjadinya perang mulut. Guru bahasa: Kalimat yang bisa ditulis namun aromanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kepala sekolah: Saya yang kentut, kenapa? Ada yang tidak terima?

Kisah humor segar tersebut beredar luas di dunia maya. Penulis mendapatkan di status Facebook seorang kawan. Intinya, sebuah fenomena dapat disikapi dari berbagai sudut pandang (angle). Kiranya semangat itu pula yang melambari pemberlakukan Kurikulum 2013 sejak pertengahan tahun silam. Tujuannya agar segenap sivitas akademika dapat berpikir secara tematik-integratif. Senada dengan pendapat Prof Dr M Amin Abdullah, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menurutnya ada 4 tingkatan tematik-integratif dari aspek keilmuan. Yakni intradisiplin, multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin.

Pertanyaan kritisnya ialah tema apa yang hendak diintegrasikan dalam Kurikulum 2013? Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut menilai Depdikbud sekarang baru berada pada level 1 dan 2, tapi belum masuk ke tahap 3-4. Kembali ke banyolan di awal tulisan ini. Kentara sekali dikotomi antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Guru mapel hanya ahli di satu bidang tertentu.

Tapi dia tidak memahami disiplin ilmu lainnya. Bisa jadi hubungan sosial mengalami kebuntuan misalnya relasi anak dan orang tua, relasi guru dan murid, atasan dan bawahan, pemerintah dan rakyat, dan seterusnya karena model pembelajaran yang terkotak-kotak semacam itu.

Kotak-kotak pemisah dalam aspek keilmuan tersebut pernah hendak dijebol oleh Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Karena selama ini sejak dini hingga perguruan tinggi, siswa/mahasiswa dididik dalam kotak-kotak ilmu yang saling terpisah satu sama lain.

Mendiang Romo Mangun pun menekankan di SD Mangunan agar siswa terus berlatih untuk bisa berpikir secara integral, kreatif, komunikatif, dan eksploratif. Pada Selasa (28/5/2013) penulis mengikuti diskusi Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Gejayan Affandi, Gang Kuwera 14 Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta. Acara tersebut digelar rutin setiap dua bulan sekali. Hasil kerja sama DED dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).

Saat itu tema yang diangkat masih hangat, ”Membedah Landasan Filosofis Kurikulum 2013”. Salah satu peserta, Pak Gunawan, seorang guru Bahasa Indonesia turut berbagi pengalaman dalam sesi tanya jawab dan sharing. Ia pernah mencoba model pembelajaran lintas disiplin ilmu seperti yang (akan) dianjurkan oleh Kurikulum 2013.

Tatkala menyampaikan materi tema puisi ”Panggilan Minggu Pagi” di kelas, dia berkolaborasi dengan guru Fisika untuk menjelaskan mekanisme gelombang suara mengalun dari lonceng hingga sampai ke telinga pendengarnya. Bahkan, dia juga sampai melibatkan guru Agama untuk menjelaskan pentingnya ibadah. Sedangkan dia sendiri menjelaskan tema tersebut dari aspek tata bahasa (gramatikal). Artinya, para guru se Indonesia memang harus kreatif menyikapi Kurikulum 2013. Sebab kurikulum hanyalah sebuah guide line (panduan).

Bagaimana menyampaikan materi pelajaran di kelas semua tergantung kepada para guru. Cara berinteraksi kita dengan siswa juga sangat penting. Kendati demikian, pemerintah tak boleh lepas tangan membiarkan begitu saja. Depdikbud perlu belajar dari Kaisar Jepang. Pascakekalahan Dai Nippon dalam Perang Dunia II (PD II), banyak petinggi negara yang melakukan hara kiri, bunuh diri karena mereka merasa malu sekali.

Lantas Pemerintah Jepang melakukan inventarisasi terhadap aset dan sumber daya yang masih mereka miliki. Sementara yang terpikir oleh Kaisar Jepang hanya satu. Berapa guru yang masih kita miliki? Hebat, demikianlah cara berpikir seorang negarawan sejati. ”Self Empowerment, Seni Memberdaya Diri bagi para Pendidik dan Pemimpin, Mengajar Tanpa Dihajar Stres, Berkarya Tanpa Beban Stres” (Anand Krishna dkk, PT One Earth Media, 2005).

Oleh sebab itu, pelatihan berkala bagi para guru sangatlah penting. Setidaknya minimal setiap satu semester sekali. Yakni untuk menyegarkan kembali semangat berkarya demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Salam pendidikan!

Sumber Foto: http://bundapenolongabadi.blogspot.com/2012/01/malam-saat-lonceng-berdentang.html
Sumber Foto: http://bundapenolongabadi.blogspot.com/2012/01/malam-saat-lonceng-berdentang.html

Tidak ada komentar: