Januari 09, 2014

Sepak Terjang Romo Carolus di Kampung Laut

Dimuat di Majalah Nuntius edisi Januari 2014, halaman 31

Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia, dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3

Setiap Rabu minggu ketiga pihak Lembaga Permasyarakatan meminta Romo Charles "Charlie” Patrick Edward Burrows OMI datang Nusakambangan. Lapas Super Maximum Security (SMS) yang berlokasi di pedalaman Cilacap itu menahan 8 terpidana mati kasus narkoba. Dua diantaranya didampingi Romo Carolus sampai hari H eksekusi. Mereka berdua berasal dari Nigeria. “Macam-macam saja tingkah laku mereka. Pernah ada yang memberontak. Saya jadi pelerai antara sipir dan napi,” ujar Romo Carolus (halaman 106).

Bahkan Romo Carolus menemani keduanya hingga ke lokasi penembakan di bukit Nirbaya. Beliau mendoakan dengan sungguh-sungguh. “Malam ini kau akan bersama-Ku di Firdaus,” begitu bunyi doa dan penguatan Romo Carolus kepada para napi tervonis mati yang rata-rata masih berumur 30-35 tahun tersebut.

Satu di antara mereka mempunyai anak berumur 4 tahun. Satu lagi istrinya hamil 4 bulan. Keduanya dilanda ketakutan yang mencekam jelang ajal menjemput. Romo Carolus sendiri tak setuju dengan pada vonis mati. Sebab eksekusi mati dengan cara ditembak ialah penyiksaan. Pendapatnya itu bukan sekadar argumentasi pribadi berdasarkan dalil agama, tetapi karena ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana proses hukuman itu terjadi. “Saya saksi mata dari narapidana yang dieksekusi. Sampai sekitar 8 menit mereka belum mati juga,” ujarnya.

Begitulah salah satu kisah dalam buku ini. Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantar sampai menyebut Romo “Padat Karyono” Carolus sebagai sosok yang memiliki kecintaan mendalam dan tulus kepada kemanusiaan. Karena penerima Maarif Award 2012 tersebut mampu merefleksikan doktrin teologis menjadi karya kemanusiaan yang melampaui banyak sekat buatan manusia.

Pasca ditahbiskan menjadi Imam dari ordo OMI (Oblat Maria Immaculata) di Biltown, Irlandia, Romo Carolus ingin ditempatkan di Brazil. Karena di negara benua Amerika Latin tersebut masih banyak kemiskinan. Ia bertekad meringankan penderitaan kaum papa dengan apa yang ada di dalam dirinya. Tapi keputusan dari atasan menentukan lain, Romo Carolus justru ditempatkan di benua Australia untuk memperkuat Provinsi OMI di sana. Perasaan kecewa pastinya timbul dalam hati, tapi Romo Carolus taat dan meyakini itu sebagai bagian dari rencana Tuhan.

Awal perantauannya pada tahun 1971 sungguh unik. Romo Carolus tahu kalau biaya perjalanan dari Dublin ke Australia menyeberangi lautan luas dengan menaiki kapal sangat mahal. Ongkosnya mencapai Rp1.000.000 saat itu. Daripada pihak biara OMI mengeluarkan uang sebesar itu, Romo Carolus mendaftarkan diri sebagai imigran. Jadi ia hanya perlu membayar Rp30.000.

Lantas, tibalah pastor muda berusia 28 tahun tersebut di kota Seftron, Australia. Dalam waktu relatif singkat ia lebih dikenal dengan nama Father Patrick. Banyak kenangan manis yang sulit dilupakan selama berkarya di negeri kangguru tersebut. Salah satunya saat ia menjadi sopir bus untuk rekreasi para remaja dan kaum muda.

Kalau menyopir beliau suka menyerempet bahaya dan sedikit ngebut. Para penumpang memekik kecil ketakutan. Tetapi karena feeling dan kelihaian Father Patrick, bus Pink Flash yang menempuh rute dari Miorwera Street, Old Ford, dan belok melewati Chester Hioll, Pipe kemudian turun ke Bas Hill, menyeberang ke Yogoana, melewati Birrong, dan akhirnya ke Sefron Hall selalu tiba dengan selamat sampai tujuan. Setelah Father Patrik dipindahtugaskan ke Indonesia, Pink Flash tetap beroperasi dan baru pensiun setelah 17 tahun, tepatnya pada 1988.

Terhitung sejak 9 September 1973, beliau mulai ditempatkan di Paroki St. Stephanus, Cilacap, Jawa Tengah. Hari kedua setelah tiba di sana, Romo Carolus langsung berangkat ke Kampung Laut. Ia tertegun menyaksikan kondisi lingkungan, tempat tinggal, sarana prasarana, dan gaya hidup masyarakat nelayan di daerah pessisir yang masih jauh dari kata layak tersebut. Rumah-rumah reyot didirikan di atas lantai dari kayu-kayu bakau. Sarana air untuk mandi cukup dengan air laut, sedangkan air minum diambil dari sebuah gua di Pulau Nusakambangan. Air minum itu dibawa dengan perahu mancung yang jarang dicuci. Kaki pendayungnya terpaksa direndam di dalam air yang akan diminum (halaman 144).

Hebatnya, 30 tahun berselang situasi itu berubah 180 derajat. Kampung Laut menjadi identik dengan Romo Carolus. Bahkan nama Romo Carolus di sana lebih terkenal ketimbang camat atau bupati. Saking cintanya masyarakat setempat beliau dijuluki Bupati Cilacap di Kampung Laut. Kendati demikian, Romo Carolus selalu merendah, “Saya adalah inisiator yang “kurang ajar”. Sebab seorang inisiator punya filosofi 3 D yakni: Decide (memutuskan), Delegate (mendelegasikan), dan Dissapear (menghilang).” (halaman 158).

Buku setebal 180 halaman ini sebuah oase segar di tengah krisis keteladanan para pejabat publik dan pemuka agama. Senada dengan pendapat Merry Riana, “Menelusuri kembali kiprah Romo Carolus OMI melalui lembaran buku ini membantu Anda memahami serta mendalami nilai-nilai humanis yang diperjuangkannya. Baca buku ini, perjuangkan mimpi Anda, dan berkaryalah untuk negara tercinta, Indonesia pasti bisa!” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor, dan Penerjemah Lepas. Tinggal di Kampung Nyutran, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: