Januari 25, 2014

Gempa Buat Warga Berhamburan Keluar Rumah

Sabtu (25/1/2014) sekitar pukul 12.17 WIB kota Jogja dan sekitarnya digoyang gempa. Relatif lama dan besar goncangannya. Saat kejadian, saya sedang duduk di ruang tamu. Awalnya, saya kira lindu (gempa kecil) seperti yang acap terjadi. Tapi ternyata lama, lebih dari setengah menit, makin kencang pula goncangannya. Sampai-sampai kursi yang saya duduki bergoyang-goyang sendiri. Sontak, saya meloncat dan berlari keluar rumah.

Di pinggir jalan Kampung Nyutran para tetangga juga berhamburan keluar. Di samping rumah ada sebuah warnet. Menurut Mas Iwan penjaga warnet tersebut, tadi ia sedang bersandar di tembok. Lalu tiba-tiba temboknya bergoyang-goyang sendiri. Lampu di langit-langit dan meja komputer warnet pun  bergoyang-goyang. “Akhirnya kami semua berlari keluar warnet,” ujarnya.

Sampai beberapa menit sesudah gempa jantung masih berdegup kencang. Teringat pengalaman gempa Jogja pada tahun 2006 silam. Beberapa menit kemudian air kolam ikan di depan rumah masih bergoyang-goyang. Tampak seperti baru saja diaduk-aduk dengan keras. 

Menurut data dari BMKG, gempa tadi berkuatan 6,5 SR. Lokasi pusat gempa di 8.48 LS-109.17 BT. Kedalaman : 48 Km. Jaraknya 104 km Barat Daya Kebumen Jawa Tengah. Semoga semua baik-baik saja. Amin...

Warga Berhamburan Keluar Rumah
Warga Berhamburan Keluar Rumah

Januari 15, 2014

Merevitalisasi Semangat "Sego Segawe"

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Kamis/16 Januari 2014

”Sepuluh tahun mendatang tingkat kemacetan di Yogyakarta bisa mencapai 45 persen bila tak segera diatasi.” Begitulah prediksi pengamat transportasi UGM, Prof Dr Ing Ahmad Munawar, MSc. Dalam konteks ini, semangat ”sego segawe” kembali menemukan relevansinya.

Sego segawe alias sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe digagas oleh Herry Zudianto. Menurut Wali Kota Yogyakarta 2001-2011 tersebut tujuannya agar masyarakat sehat, polusi udara berkurang, hemat BBM, tingkat kemacetan menurun, dan kota gudeg tetap ”Berhati Nyaman”.

Penulis sepakat dengan tesis dasar Herry Zudianto. Sejatinya, ada filosofi mendalam di balik sego segawe. Yakni sebagai gerakan nilai untuk melatih diri bersikap sederhana, terutama untuk generasi muda. Artinya, orang bersepeda tidak identik dengan golongan yang tidak berpunya, namun justru mencerminkan ciri peradaban modern.

Karena orang beradab tidak akan menghabiskan sumber daya bumi untuk dieksploitasi secara berlebihan. Dalam konteks ini, modernisasi perlu sejalan dengan efisiensi dan efektivitas (penghematan energi), agar kita tetap mewariskan lingkungan yang sehat untuk generasi berikutnya.

Salut untuk proaktivitas komunitas pesepeda di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu, pada Minggu malam, 28 Oktober 2013, pelbagai komunitas sepeda sempat mengikrarkan ”Sumpah Pesepeda”. Mereka berkumpul di Museum Perjuangan dan bersama- sama mengayuh kereta angin menuju ”Titik Nol Km Malioboro”.

”Kegiatan ini untuk menggelorakan kembali kegiatan sego segawe di Yogyakarta. Akhir-akhir ini spirit itu seperti tak terawat,” ungkap Herman Dody dari Komunitas Sepeda JBC. Perwakilan komunitas pesepeda lain di antaranya Muntowil (Podjok), Simbah (Pory), Imam Syafi’I (JFB), dan Aryo Wikantomo (Federal Yogya).

Lebih lanjut, kota-kota di Jateng-DIY juga perlu belajar dari Kopenhagen di Denmark. Sebab Kopenhagen menyandang reputasi sebagai salah satu kota paling ramah sepeda di dunia. Berdasarkan data Pemerintah Kota Kopenhagen, sekitar 36% penduduk bersepeda menuju tempat kerja, universitas/sekolah, dan sekedar untuk berekreasi di kala senggang. Anak mudanya, walau lelaki, tak malu membawa sepeda dengan keranjang di depan stang.

Bahkan pada musim semi sampai awal musim gugur, yakni sekitar April hingga September, tersedia fasilitas peminjaman sepeda gratis untuk siapa saja (dengan jaminan setoran 30 krona atau setara dengan Rp 30.000). Fasilitas yang bernama ”Bycyklen Kobenhavn” ini ada pada zona di pusat kota Kopenhagen. Yakni mulai dari Indre By (Copenhagen Center) sampai ke Christianshavn (http://id.wikipedia.org/wiki/Bersepeda_di_Kopenhagen).

Selain itu, untuk membuat nyaman para pengendara sepeda, hampir setiap jalan di pusat kota memiliki jalur sepeda di kedua sisi jalan. Saat ini, sekitar 350 kilometer jalur khusus sepeda tersedia di Kopenhagen, dan tiap tahun angka pengayuh sepeda terus meningkat.

Ternyata tak hanya di belahan bumi Eropa, masih banyak kota-kota ramah pesepeda lain. Antara lain di Asia ada Beijing, China. Di Amerika Latin ada Bogot·, Kolombia. Di benua hitam ada Cape Town, Afrika Selatan. Keunikan Cape Town ialah pemerintah kota setempat berkomitmen menciptakan jalur bersepeda yang memadai. Mereka menyediakan pula parkiran khusus sepeda dan tempat mandi khusus bagi para pesepeda.

Manfaat utama bersepeda ialah sehat. Sebab aktivitas ini merupakan salah satu bentuk olahraga yang murah meriah. Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik ini bisa membuat tubuh lebih bugar. Selain itu, bersepeda juga bisa meningkatkan kekebalan tubuh terhadap sel kanker dan tumor.

Manusia juga memiliki beberapa ratus otot yang harus digunakan setiap hari. Kalau otot tak aktif selama satu minggu, bisa menurunkan kekuatan otot. Dalam jangka waktu panjang potensial menyebabkan kerusakan. Tatkala kita bersepeda, otot akan semakin aktif. Ini membuat otot tetap kuat dan berfungsi secara efisien.

Selanjutnya, kerangka tubuh manusia merupakan bagian yang menunjang organ lain. Bersepeda bisa menguatkan tulang dan menambah fleksibilitasnya untuk bergerak.

Bersepeda juga memiliki manfaat baik untuk kekuatan serta kepadatan tulang. Dari aspek mental, memberi efek ketenangan. Menurut para psikolog, aktivitas mengayuh kereta angin bisa menurunkan kadar kecemasan, depresi, dan masalah psikis lain.

Oksigen sangat penting untuk proses pernapasan manusia. Sistem respirasi biasanya terganggu karena aktivitas minim di balik meja kantor. Bersepeda bisa menguatkan otot pernapasan dan paru-paru, sehingga membuat sistem pernapasan lebih optimal. Sistem pernapasan yang baik niscaya meningkatkan kualitas energi dalam tubuh.

Salah satu organ penting dalam tubuh manusia ialah jantung. Bersepeda merupakan aktivitas paling baik untuk menjaga kekuatan dan kesehatan jantung. Rutin bersepeda setiap hari dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung hingga 50 persen.

Meski terlihat sederhana, sego segawe memiliki banyak manfaat. Selain bisa mengurangi kemacetan juga sehat dan ramah lingkungan. Mari biasakan untuk bersepeda ke sekolah/universitas, tempat kerja, atau sekedar mengisi waktu senggang. Salam gowes!

Sumber Foto: http://rentalsepeda.blogspot.com/2010/04/paket-wisata-sepeda-di-jogjakarta.html
Sumber Foto: http://rentalsepeda.blogspot.com/2010/04/paket-wisata-sepeda-di-jogjakarta.html

Januari 11, 2014

Petuah dalam Balutan Kisah

Dimuat di Jawa Pos, Minggu/12 Januari 2014

Judul: Revolution of Life, Kisah-kisah Inspiratif untuk Revolusi Hidup
Penulis: Sumono Liu
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Cetakan: 1/2013
Tebal: xvi + 260 halaman
ISBN: 978-602-249-371-6

Manusia tergolong makhluk sosial. Sebab ia tak bisa hidup sendiri. Sekadar memangkas rambut pun butuh jasa tukang cukur. Dalam pengertian makro, kolektivitas juga bisa dimaknai sebagai proses pembelajaran dari pengalaman orang lain. Sehingga manusia tak perlu mengulang kesalahan yang sama. Misalnya untuk mengetahui bahwa api itu panas, tiada berguna memegang bara api.

Buku “Revolutionof Life” ini memuat aneka kisah. Sumber referensinya dari biografi tokoh terkenal, sejarah dunia, fenomena alam, kata-kata mutiara, koleksi humor, dll. Misalnya cerita kehidupan Theodore Roosevelt.

Ternyata ia pernah sakit-sakitan saat masih kecil. Ia mengidap asma, penglihatan yang kurang baik, dan tubuhnya kurus kering. Di sekolah pun Roosevelt, Jr dikenal sebagai murid yang gugup dan penakut.

Tatkala Roosevelt, Jr berusia 12 tahun, ayahnya Theodore Roosevelt, Sr (salah satu pendiri American Museum of Nature History) mengucapkan kata-kata yang selalu terngiang di telinga Roosevelt, Jr sepanjang hidupnya, “Anakku, kamu memiliki tubuh yang payah. Namun, kamu memiliki otak yang hebat. Ingatlah! Tanpa tubuh yang kuat, otakmu tidak akan mencapai potensi maksimal. Nak, kau harus kuatkan tubuhmu!” (halaman 70). 

Apa istimewanya kata-kata tersebut? Setiap orang bisa mengucapkan petuah senada. Menurut Sumono Liu, untuk memotivasi seseorang kata-kata manis tak signifikan. Motivasi terungkap lewat kalimat tulus yang tak dibuat-buat. Tesis tersebut selaras dengan pendapat Erich Watson, “Mendengar dan berkata-kata adalah seni yang paling indah yang pernah dipelajari manusia selama ribuan tahun lamanya, tapi hanya sedikit orang yang berhasil menguasainya.”

Keunikan wejangan Roosevelt, Sr terletak pada nilai kejujuran (otentisitas). Sang ayah mengungkapkan kegundahannya secara terus terang seturut kondisi riil yang dialami putranya. Usai mendengar nasihat ayahnya, Roosevelt kecil bertekad memiliki tubuh sehat. Ia mengubah gaya hidupnya. Ia sering berolahraga, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi, istirahat secara teratur, serta disiplin menjaga kebugaran tubuh.

Selama bertahun-tahun, ia tekun melatih tubuh dan otaknya. Roosevelt, Jr melanjutkan studi di Universitas Harvard. Setelah lulus ia berkarir di dunia politik. Sebelum menjadi presiden Amerika Serikat ke-26, ia pernah bertugas di dinas kemiliteran. Ia dipercaya memimpin resimen kavaleri yang dikenal dengan julukan “Penunggang Kuda yang Gagah Berani”. Seorang anak yang di masa kecilnya lemah dan penakut berhasil menjadi pemimpin besar yang termasyur di seluruh dunia. Betapa kuat efek nasihat dari seorang ayah yang tulus.

Sistematika buku ini terdiri atas 13 bab. Pilihan temanya relatif bervariasi. Mulai dari perumpamaan, tubuh manusia, elemen alam, hingga Tuhan, agama, dan Anda. Penulisnya merupakan seorang sarjana manajemen. Pria kelahiran Pontianak tersebut kini bergerak di bidang properti.

Tujuan penulisan “Revolution of Life” untuk berbagi semangat dan inspirasi bagi orang-orang yang mungkin tak dikenalnya. Senada dengan pepatah lama, “Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, satu tulisan (baca: buku) bisa menembus 1000 kepala.”

Pada subbab bertajuk “Kehebatan Tanpa Karakter Baik = Bom Waktu”, penulis memaparkan hasil riset dari The Carnegie Institute of Technology. Ternyata, seseorang sukses karena 15% ilmu pengetahuan dan skill/keterampilan (berkaitan dengan kehebatan), sedangkan 85% ditentukan oleh bagaimana ia berhubungan dengan orang lain (berkaitan dengan karakter).

Secara lebih terperinci, Lao Tse, seorang bijak dari dataran China menguraikan karakter baik manusia ke dalam 3 kategori. Pertama adalah rasa belas kasihan yang dari padanya manusia menemukan keberanian. Kedua adalah pengendalian diri yang darinya manusia beroleh kekuatan. Ketiga ialah tidak berprasangka yang darinya orang bisa menancapkan pengaruh.

Artinya, sesuai teori berkebalikan (reverse theory), orang yang tidak mengenal rasa takut tapi tidak memiliki belas kasihan, kuat tetapi tanpa pengendalian diri, atau berpengaruh tapi suka berprasangka buruk, semuanya akan hancur dan binasa pada akhirnya. Karakter baik ibarat benih, perlu rutin dirawat, dipupuk, dan disirami setiap hari (halaman 21).

Keunikan buku ini terletak pada gaya penyampaiannya. Petuah bijak diutarakan lewat balutan kisah. Sehingga pembaca tak merasa digurui. Dengan membolak-balik halamannya, pembaca diajak menyelami sendiri dan memetik nilai adiluhung dari setiap cerita. Benang merahnya satu, pembaca diajak menyadari kehadiran-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Ignasius dari Loyola disebut menemukan Tuhan dalam segala. Bahkan di momen-momen “terburuk” sekalipun.

Misalnya kisah hidup seorang laki-laki baik hati yang selalu penuh kasih sayang kepada orang lain. Ketika ia wafat, semua orang yakin bahwa ia akan langsung masuk surga. Namun karena satu dan lain hal, malaikat di surga melakukan kekeliruan. Ia melewatkan nama orang baik tersebut dan melaporkan bahwa nama orang itu tidak terdaftar di surga. Malaikat maut pun langsung mengirimnya ke neraka.

Singkat cerita, arwah orang baik itu harus tinggal di neraka. Ia tidak membantah karena ia berpikir mungkin belum layak untuk tinggal di surga. Ia begitu yakin pada keputusan Tuhan yang Mahaadil. Seminggu kemudian, Raja Iblis datang ke surga dan langsung mencak-mencak. Ia menuduh Kerajaan Surga telah menyabotase.

“Kenapa kamu datang ke sini?” tanya malaikat penjaga surga. Raja Iblis itu menjawab dengan nada tinggi, ”Apa maksud kalian mengirim orang ini ke neraka? Ia benar-benar merusak tempatku. Sejak ia tinggal di neraka, ia tidak pernah membalas siapapun yang menyakitinya. Ia justru selalu mendengarkan, mengasihi, dan menghibur orang lain. Sekarang semua orang di neraka sudah saling memeluk dan mengasihi satu sama lain. Ini bukan neraka yang ideal. Nih, aku kembalikan orang ini kepada kalian!”

Sebagai gong penutup, penulis mengutip wejangan Ramesh, “Hiduplah dengan penuh cinta dan kasih dalam hatimu. Dengan begitu, apa pun yang terjadi pada dirimu, termasuk jika malaikat melakukan kesalahan dan mengirimmu ke neraka, Iblis akan mengantarmu ke surga.” (halaman 32).

Tiada gading yang tak retak, begitu pula buku ini. Pada sampul bagian belakang tertera total ada 12 tema berbeda. Tapi ternyata di bagian daftar isi tertera 13 tema cerita. Kekeliruan minor tersebut perlu diperbaiki ke depannya. 

Buku setebal 260 halaman ini ibarat sari tetes tebu. Sehari cukup menyelami satu cerita saja. Niscaya dapat memfasilitasi pembaca untuk melihat sisi lain kehidupan yang jarang disadari dan acap terlupakan. (T. Nugroho Angkasa, Editor dan penerjemah lepas)
 

Januari 09, 2014

Sepak Terjang Romo Carolus di Kampung Laut

Dimuat di Majalah Nuntius edisi Januari 2014, halaman 31

Judul: Mafia Irlandia di Kampung Laut, Jejak-jejak Romo Carolus OMI Memperjuangkan Kemanusiaan
Penulis: Anjar Anastasia, dkk
Penyunting: Andi Tarigan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/Juli 2013
Tebal: xxvi + 180 halaman
ISBN: 978-979-22-9739-3

Setiap Rabu minggu ketiga pihak Lembaga Permasyarakatan meminta Romo Charles "Charlie” Patrick Edward Burrows OMI datang Nusakambangan. Lapas Super Maximum Security (SMS) yang berlokasi di pedalaman Cilacap itu menahan 8 terpidana mati kasus narkoba. Dua diantaranya didampingi Romo Carolus sampai hari H eksekusi. Mereka berdua berasal dari Nigeria. “Macam-macam saja tingkah laku mereka. Pernah ada yang memberontak. Saya jadi pelerai antara sipir dan napi,” ujar Romo Carolus (halaman 106).

Bahkan Romo Carolus menemani keduanya hingga ke lokasi penembakan di bukit Nirbaya. Beliau mendoakan dengan sungguh-sungguh. “Malam ini kau akan bersama-Ku di Firdaus,” begitu bunyi doa dan penguatan Romo Carolus kepada para napi tervonis mati yang rata-rata masih berumur 30-35 tahun tersebut.

Satu di antara mereka mempunyai anak berumur 4 tahun. Satu lagi istrinya hamil 4 bulan. Keduanya dilanda ketakutan yang mencekam jelang ajal menjemput. Romo Carolus sendiri tak setuju dengan pada vonis mati. Sebab eksekusi mati dengan cara ditembak ialah penyiksaan. Pendapatnya itu bukan sekadar argumentasi pribadi berdasarkan dalil agama, tetapi karena ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana proses hukuman itu terjadi. “Saya saksi mata dari narapidana yang dieksekusi. Sampai sekitar 8 menit mereka belum mati juga,” ujarnya.

Begitulah salah satu kisah dalam buku ini. Ahmad Syafii Maarif dalam kata pengantar sampai menyebut Romo “Padat Karyono” Carolus sebagai sosok yang memiliki kecintaan mendalam dan tulus kepada kemanusiaan. Karena penerima Maarif Award 2012 tersebut mampu merefleksikan doktrin teologis menjadi karya kemanusiaan yang melampaui banyak sekat buatan manusia.

Pasca ditahbiskan menjadi Imam dari ordo OMI (Oblat Maria Immaculata) di Biltown, Irlandia, Romo Carolus ingin ditempatkan di Brazil. Karena di negara benua Amerika Latin tersebut masih banyak kemiskinan. Ia bertekad meringankan penderitaan kaum papa dengan apa yang ada di dalam dirinya. Tapi keputusan dari atasan menentukan lain, Romo Carolus justru ditempatkan di benua Australia untuk memperkuat Provinsi OMI di sana. Perasaan kecewa pastinya timbul dalam hati, tapi Romo Carolus taat dan meyakini itu sebagai bagian dari rencana Tuhan.

Awal perantauannya pada tahun 1971 sungguh unik. Romo Carolus tahu kalau biaya perjalanan dari Dublin ke Australia menyeberangi lautan luas dengan menaiki kapal sangat mahal. Ongkosnya mencapai Rp1.000.000 saat itu. Daripada pihak biara OMI mengeluarkan uang sebesar itu, Romo Carolus mendaftarkan diri sebagai imigran. Jadi ia hanya perlu membayar Rp30.000.

Lantas, tibalah pastor muda berusia 28 tahun tersebut di kota Seftron, Australia. Dalam waktu relatif singkat ia lebih dikenal dengan nama Father Patrick. Banyak kenangan manis yang sulit dilupakan selama berkarya di negeri kangguru tersebut. Salah satunya saat ia menjadi sopir bus untuk rekreasi para remaja dan kaum muda.

Kalau menyopir beliau suka menyerempet bahaya dan sedikit ngebut. Para penumpang memekik kecil ketakutan. Tetapi karena feeling dan kelihaian Father Patrick, bus Pink Flash yang menempuh rute dari Miorwera Street, Old Ford, dan belok melewati Chester Hioll, Pipe kemudian turun ke Bas Hill, menyeberang ke Yogoana, melewati Birrong, dan akhirnya ke Sefron Hall selalu tiba dengan selamat sampai tujuan. Setelah Father Patrik dipindahtugaskan ke Indonesia, Pink Flash tetap beroperasi dan baru pensiun setelah 17 tahun, tepatnya pada 1988.

Terhitung sejak 9 September 1973, beliau mulai ditempatkan di Paroki St. Stephanus, Cilacap, Jawa Tengah. Hari kedua setelah tiba di sana, Romo Carolus langsung berangkat ke Kampung Laut. Ia tertegun menyaksikan kondisi lingkungan, tempat tinggal, sarana prasarana, dan gaya hidup masyarakat nelayan di daerah pessisir yang masih jauh dari kata layak tersebut. Rumah-rumah reyot didirikan di atas lantai dari kayu-kayu bakau. Sarana air untuk mandi cukup dengan air laut, sedangkan air minum diambil dari sebuah gua di Pulau Nusakambangan. Air minum itu dibawa dengan perahu mancung yang jarang dicuci. Kaki pendayungnya terpaksa direndam di dalam air yang akan diminum (halaman 144).

Hebatnya, 30 tahun berselang situasi itu berubah 180 derajat. Kampung Laut menjadi identik dengan Romo Carolus. Bahkan nama Romo Carolus di sana lebih terkenal ketimbang camat atau bupati. Saking cintanya masyarakat setempat beliau dijuluki Bupati Cilacap di Kampung Laut. Kendati demikian, Romo Carolus selalu merendah, “Saya adalah inisiator yang “kurang ajar”. Sebab seorang inisiator punya filosofi 3 D yakni: Decide (memutuskan), Delegate (mendelegasikan), dan Dissapear (menghilang).” (halaman 158).

Buku setebal 180 halaman ini sebuah oase segar di tengah krisis keteladanan para pejabat publik dan pemuka agama. Senada dengan pendapat Merry Riana, “Menelusuri kembali kiprah Romo Carolus OMI melalui lembaran buku ini membantu Anda memahami serta mendalami nilai-nilai humanis yang diperjuangkannya. Baca buku ini, perjuangkan mimpi Anda, dan berkaryalah untuk negara tercinta, Indonesia pasti bisa!” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Privat Bahasa Inggris, Editor, dan Penerjemah Lepas. Tinggal di Kampung Nyutran, Yogyakarta)

Januari 06, 2014

Merefleksikan Kurikulum 2013

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/7 Januari 2014

Tatkala berlangsung rapat sejumlah guru mata pelajaran (mapel) dengan kepala sekolah (kepsek), syahdan terdengar suara angin yang dibarengi aroma tak sedap. Bunyinya ”dut” dan para guru yang hadir pun mulai saling berkomentar. Guru matematika: Itu sesuatu yang tidak bisa dikali namun baunya bisa dibagi-bagi.

Guru kesenian: Bunyi nadanya terletak pada kunci K. Guru fisika: Inilah yang disebut inner power, tenaga yang digunakan kecil namun hasilnya luar biasa. Guru biologi: Sisa-sisa dari proses metabolisme dalam tubuh manusia.

Guru agama: Ini salah satu penyebab batalnya wudhu dan shalat. Guru geografi: Posisi keberadaannya selalu mengikuti arah angin. Guru sosiologi: Perilaku menyimpang pada sikap manusia. Guru sejarah: Salah satu penyebab terjadinya perang mulut. Guru bahasa: Kalimat yang bisa ditulis namun aromanya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kepala sekolah: Saya yang kentut, kenapa? Ada yang tidak terima?

Kisah humor segar tersebut beredar luas di dunia maya. Penulis mendapatkan di status Facebook seorang kawan. Intinya, sebuah fenomena dapat disikapi dari berbagai sudut pandang (angle). Kiranya semangat itu pula yang melambari pemberlakukan Kurikulum 2013 sejak pertengahan tahun silam. Tujuannya agar segenap sivitas akademika dapat berpikir secara tematik-integratif. Senada dengan pendapat Prof Dr M Amin Abdullah, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menurutnya ada 4 tingkatan tematik-integratif dari aspek keilmuan. Yakni intradisiplin, multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin.

Pertanyaan kritisnya ialah tema apa yang hendak diintegrasikan dalam Kurikulum 2013? Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut menilai Depdikbud sekarang baru berada pada level 1 dan 2, tapi belum masuk ke tahap 3-4. Kembali ke banyolan di awal tulisan ini. Kentara sekali dikotomi antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Guru mapel hanya ahli di satu bidang tertentu.

Tapi dia tidak memahami disiplin ilmu lainnya. Bisa jadi hubungan sosial mengalami kebuntuan misalnya relasi anak dan orang tua, relasi guru dan murid, atasan dan bawahan, pemerintah dan rakyat, dan seterusnya karena model pembelajaran yang terkotak-kotak semacam itu.

Kotak-kotak pemisah dalam aspek keilmuan tersebut pernah hendak dijebol oleh Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Karena selama ini sejak dini hingga perguruan tinggi, siswa/mahasiswa dididik dalam kotak-kotak ilmu yang saling terpisah satu sama lain.

Mendiang Romo Mangun pun menekankan di SD Mangunan agar siswa terus berlatih untuk bisa berpikir secara integral, kreatif, komunikatif, dan eksploratif. Pada Selasa (28/5/2013) penulis mengikuti diskusi Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Gejayan Affandi, Gang Kuwera 14 Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta. Acara tersebut digelar rutin setiap dua bulan sekali. Hasil kerja sama DED dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).

Saat itu tema yang diangkat masih hangat, ”Membedah Landasan Filosofis Kurikulum 2013”. Salah satu peserta, Pak Gunawan, seorang guru Bahasa Indonesia turut berbagi pengalaman dalam sesi tanya jawab dan sharing. Ia pernah mencoba model pembelajaran lintas disiplin ilmu seperti yang (akan) dianjurkan oleh Kurikulum 2013.

Tatkala menyampaikan materi tema puisi ”Panggilan Minggu Pagi” di kelas, dia berkolaborasi dengan guru Fisika untuk menjelaskan mekanisme gelombang suara mengalun dari lonceng hingga sampai ke telinga pendengarnya. Bahkan, dia juga sampai melibatkan guru Agama untuk menjelaskan pentingnya ibadah. Sedangkan dia sendiri menjelaskan tema tersebut dari aspek tata bahasa (gramatikal). Artinya, para guru se Indonesia memang harus kreatif menyikapi Kurikulum 2013. Sebab kurikulum hanyalah sebuah guide line (panduan).

Bagaimana menyampaikan materi pelajaran di kelas semua tergantung kepada para guru. Cara berinteraksi kita dengan siswa juga sangat penting. Kendati demikian, pemerintah tak boleh lepas tangan membiarkan begitu saja. Depdikbud perlu belajar dari Kaisar Jepang. Pascakekalahan Dai Nippon dalam Perang Dunia II (PD II), banyak petinggi negara yang melakukan hara kiri, bunuh diri karena mereka merasa malu sekali.

Lantas Pemerintah Jepang melakukan inventarisasi terhadap aset dan sumber daya yang masih mereka miliki. Sementara yang terpikir oleh Kaisar Jepang hanya satu. Berapa guru yang masih kita miliki? Hebat, demikianlah cara berpikir seorang negarawan sejati. ”Self Empowerment, Seni Memberdaya Diri bagi para Pendidik dan Pemimpin, Mengajar Tanpa Dihajar Stres, Berkarya Tanpa Beban Stres” (Anand Krishna dkk, PT One Earth Media, 2005).

Oleh sebab itu, pelatihan berkala bagi para guru sangatlah penting. Setidaknya minimal setiap satu semester sekali. Yakni untuk menyegarkan kembali semangat berkarya demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Salam pendidikan!

Sumber Foto: http://bundapenolongabadi.blogspot.com/2012/01/malam-saat-lonceng-berdentang.html
Sumber Foto: http://bundapenolongabadi.blogspot.com/2012/01/malam-saat-lonceng-berdentang.html

Megawati dan Jokowi Hadiri Seminar Nasional di USD

Dimuat di Targetabloid.co.id, Senin/6 Januari 2013

Sabtu (28/12/2013) pukul 09.00-13.30 WIB Universitas Sanata Dharma (USD)  menggelar seminar nasional “Revitalisasi Paham Kebangsaaan di Tengah Budaya Politik Pragmatis” di Ruang Koendjono, Kampus Mrican, Jln. Affandi, Yogyakarta.

Acara tersebut merupakan puncak Reuni Akbar USD dan perayaan Seabad Prof. Dr. Nicolaus Drijarkara, SJ. Ratusan alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Sastra, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teologi, Fakultas Psikologi, Fakultas Farmasi, dan Fakultas Teknik dari seluruh Indonesia memadati ruang di lantai IV Gedung Pusat. Tema reuni kali ini bertajuk “Bertemu Mempererat Persaudaraan dan Menggelorakan Semangat Berkarya untuk Kemanusiaan.”

T. Sarkim, Ketua Panitia Reuni Akbar 2013 mengatakan bahwa sejak didirikan pada 1955 sampai saat ini, hampir empat puluh ribu orang muda dari berbagai wilayah di tanah air pernah mengalami pendidikan di USD.  Setelah rampung menempuh pendidikan di sini, mereka berkarya di berbagai wilayah Indonesia dalam beragam bidang prosesi. Baik di instansi pemerintah maupun lembaga pendidikan, perusahaan, industri, instansi sosial, dan instansi-instansi lainnya.

“Para alumni USD hendak berkontribusi secara positif terhadap pembangunan bangsa Indonesia yang bermartabat. Karena situasi bangsa Indonesia dewasa ini dalam banyak aspek masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. “Reuni ini bukan sekadar untuk melepas rasa kangen, tapi lebih dari itu untuk menyerap kembali energi dan merevitalisasi semangat seperti saat masih belajar di sini dulu,“ imbuhnya.

Selanjutnya, Romo Rektor USD, Dr. Ir. P. Wiryono Priyotamtama, SJ menguraikan alasan pihak Universitas mengumpulkan dan mengorganisasikan para alumninya. Salah satunya, karena pendirian Perguruan Tinggi Pendirikan Guru (PTPG) Sanata Dharma terkait erat dengan kebutuhan bangsa untuk memiliki tenaga-tenaga guru yang andal.  Kebutuhan tersebut dikemukakan oleh Prof. Dr. Mohammad Yamin dan ditanggapi secara positif oleh Prof. Dr. N. Drijarkara SJ dan teman-teman Jesuitnya dengan mendirikan PTPG Sanata Dharma.

“Jadi bisa disimpulkan bahwa kelahiran USD  pun diusahakan demi tujuan yang sama. Yakni menjawab kepentingan-kepentingan bangsa melalui pengabdian-pengabdian yang nyata. Ketika kepentingan-kepentingan bangsa menjadi semakin luas dan besar, USD perlu mengajak para alumninya untuk dapat menjawab kepentingan-kepentingan tersebut melalui pengabdian-pengabdian yang lebih nyata, lebih luas, dan lebih terasakan oleh masyarakat di seluruh pelosok tanah air,” jelasnya.

Pada sesi panel, Darmanto (Alumni Fakultas Sejarah USD) selaku moderator mengundang dua panelis ke atas panggung. Yakni Emanuel Melkiades Laka Lena (Alumni Fakultas Farmasi USD) dan Haryatmoko (Dosen USD). Narasumber pertama Emanuel Melkiades Laka Lena lebih berbicara hal-hal yang praktis. Menurutnya selama masih berbangsa, isu kebangsaan selalu tetap aktual.

Melkiades menceritakan pengalamannya bersama Franky Sahilatua. Mereka pernah membagikan fotokopian lagu “Pancasila Rumah Kita” dalam acara pertemuan politisi muda lintas partai se-Indonesia pada Desember 2005 silam. “Saat itu banyak yang kaget, Pancasila yang pasca reformasi sudah masuk laci meja penguasa dan rakyat, dibuka kembali ke publik dengan cara yang berbeda,” kenangnya.

Dalam makalahnya Melkiades juga membandingkan cara membumikan Pancasila tersebut dengan yang pernah dilakukan Bung Karno ketika dibuang ke Ende pada 1934-1938. Bung Karno juga mendidik rakyat dengan politik kebudayaan. Karena ia dilarang untuk berpidato politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Caranya dengan membentuk kelompok tonil (drama) Kelimutu. Anggotanya terdiri dari rakyat kecil dengan beragam pekerjaan. Setelah dilatih mereka pun bisa menyampaikan pesan kemerdekaan Bung Karno lewat kesenian tonil.

“Cara ini serupa pemikiran Drijarkara yang juga menggunakan istilah membudaya dan membudayakan dalam melaksanakan Pancasila. Berpikir sesuai pengalaman keseharian, membatinkan Pancasila dan menjalankan Pancasila secara dialektis,” paparnya. 

Panelis selanjutnya Haryatmoko menyoroti tantangan global berupa budaya kapitalisme baru. Antara lain menguatnya individualisme, melemahnya struktur kolektif, menjamurnya budaya urgensi dan hedonisme, antipati terhadap komitmen, aktivisme yang mengabaikan makna, dan kepribadian ekstrim yang menyuburkan radikalisme.

Menurut alumni Fakultas Teologi USD tersebut, gagasan kebangsaan Drijarkara tetap relevan untuk diterapkan untuk menjawab tantangan zaman. Dalam makalahnya ia menulis, “Untuk praktek sehari-hari kami sarankan agar orang sadar bahwa dengan pekerjaan sehari-hari orang ikut serta menghayu-hayu seluruh bangsa. Demikian pula halnya dengan tiap-tiap pekerjaan. (…) Demikian juga jika kita menganjurkan kepada mahasiswa dan siswa supaya kerja keras supaya belajar sebaik-baiknya, akhirnya semua ini mempunyai pengaruh kepada seluruh bangsa.” (Sudiarja dkk., 2006: 899).

“Gagasan Drijarkara itu menyiratkan bahwa latihan dan kebiasaan itu harus dimulai dengan masalah-maslah nyata di lingkungan mereka. Dewasa ini, bisa ditawarkan bentuk-bentuk kerja sosial sukarela atau pengabdian masyarakat, kepada mahasiswa dan pelajar SMU, untuk diorganisir dan diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan karakter. Bentuk-bentuk kerja relawan lain bisa beragam: untuk kepentingan umum (bangunan publik, taman publik, lapangan, sekolah, hutan); demi pendidikan pluralitas (aktivitas lintas agama, rumah ibadat, kegiatan dialog, membantu kegiatan agama lain); untuk solidaritas dan peduli lingkungan: bekerja untuk orang miskin, rumah jompo, bencana alam, keanggotaan dalam kegiatan pramuka, olahraga, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan,” paparnya.

Sekitar pukul 11.00 WIB rombongan Megawati Soekarnoputri memasuki ruangan. Presiden ke-5 Republik Indonesia tersebut ditemani Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo yang kebetulan sedang mudik ke Solo. Tampak pula Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sidarto Danusubroto.

Dalam pidatonya, Ketua Umum PDIP tersebut menceritakan bahwa Bung Karno bersahabat karib dengan Romo Drijarkara walau usianya terpaut 12 tahun (lebih muda Drijarkara). Persahabatan tersebut sedemikian erat karena keduanya sama-sama mencintai Pancasila. “Sebab Pancasila ialah falsafah sekaligus dasar. Bukan falsafah atau dasar saja. Jadi Pancasila merupakan ideal di awang-awang tapi sekaligus dasar yang membumi,” ujarnya.

Megawati juga mengaitkan perayaan hari Ibu setiap 22 Desember dengan perjuangan kaum perempuan. Ia sering bertanya kepada orang Aceh, bagaimana Islam di sana sebelum masuknya Snouck Hurgronje. Menurut Megawati, tokoh tersebut sengaja dikirim untuk memanipulasi dan mengadu domba. Sebab sebelumnya ketika rakyat Aceh dipimpin Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati, mereka tak terkalahkan oleh Belanda.
“Kalau membaca sejarah kehidupan Laksamana Malahayati, saya ngefans sekali kepadanya. Ia memiliki kapal, anak buah, dan pernah memenangi pertarungan  satu lawan satu dengan seorang Gubernur Jenderal Belanda,”  tuturnya.

Sebagai seorang nenek, Megawati pun menceritakan pengalaman dengan cucu-cucunya. Suatu ketika ia meminta salah satu cucunya beteriak tapi pelan. Menurut sang cucu, rasanya tidak plong. Lalu, Mega meminta cucunya berteriak sekeras-kerasnya. Menurut sang cucu, rasanya bebas lepas. “Itulah suara kemanusiaan kita yang terpendam dan menanti untuk tertarik keluar. “Oleh sebab itu, dulu saya pun mempopulerkan kembali pekik: Merdeka!” pungkasnya.

Untuk mengobati kerinduan kaum muda, Darmanto selaku moderator meminta Joko Widodo untuk juga angkat suara. Gubernur DKI Jakarta itu menceritakan pengalamannya saat mengeluarkan KJS (Kartu Jakarta Sehat).
Menurut pria yang akrab disapa Jokowi tersebut, saat ia blusukan dari satu kampung ke kampung lainnya di Jakarta, banyak dijumpai warga yang tergeletak lemah di rumah karena sakit. Mereka tak bisa berobat ke rumah sakit karena tak punya uang.

“Total ada sekitar 510.000 warga tergeletak bertahun-tahun dan tak ada kebijakan apa-apa dari pemerintah. Padahal ada APBD sebesar Rp1,2 trilyun untuk anggaran kesehatan. Tapi karena sistem tidak dibangun, warga yang sakit tersebut tetap tak tersentuh. Kami pertama kali mengeluarkan KJS pada 15 November 2012, lalu pada Februari 2013 puskesmas dan rumah sakit di Jakarta kebanjiran pasien,” kisahnya.

“Karena itu, anggota dewan sempat mengatakan bahwa kita belum siap, tapi apa kita akan terus membiarkan warga yang tergeletak bertahun-tahun tak bisa berobat tersebut? Dulu Bung Karno pun tak membiarkan penjajah terus menindas kita, beliau bersama Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dengan segala resikonya,” ujarnya.

“Karena KJS tersebut, dewan hendak memasygulkan kita karena dianggap gagal. Kok baru mulai sudah dianggap gagal. Kalau saya dimasygulkan karena mengeluarkan KJS untuk warga yang sakit, saya bersyukur sekali. Tapi ternyata sampai sekarang tidak ada pemasygulan,” imbuhnya.

Setelah Megawati dan Jokowi menyampaikan paparannya dalam seminar nasional dan konferensi pers, panitia mengajak keduanya untuk mengunjungi Beringin Soekarno. Pada kesempatan itu, Megawati juga membubuhkan tandatangan pada sebuah prasasti. Menurut Rektor USD Paulus Wiryono, SJ pohon beringin yang kini menjulang tinggi di tengah-tengah halaman kompleks kampus Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya tersebut dulu bibitnya ditanam oleh Presiden RI pertama, Soekarno pada 8 April 1960.

Januari 05, 2014

Ki Slamet Gundono Dalang Wayang Suket Wafat

Dimuat di Targetabloid.co.id, Minggu/5 Januari 2014

Ki Slamet Gundono, dalang yang terkenal lewat wayangnya suket menghembuskan nafas terakhir pada Minggu pagi 5 Desember 2014 di ruang ICU Rumah Sakit Yarsis, Pabelan Kartasura, Sukoharjo. Seniman yang lahir di Slawi, Tegal,  19 Juni 1966 itu meninggal karena penyakit yang dideritanya.

Landung Simatupang, seniman asal Yogyakarta meneruskan SMS Anto dari Balai Sudjatmoko, Solo, “Warta singkat yang pedih menghunjam, menikam kami serumah di Jogja pukul delapan empat puluh satu menit empat puluh tiga detik: 'Slamet Gundono baru saja menutup mata - RSI YARSI SOLO'. “Saya menangis. Selamat jalan, seniman besar! Lebih dari segalanya, dalam kenangan saya Anda hidup terus sebagai manusia yang penuh cinta dan kepedulian kepada sesama,” tulis Landung di status facebook-nya.

Kabar meninggalnya Ki Slamet Gundono cepat menyebar lewat jejaring sosial dan BlackBerry Messenger (BBM). Leyloor Why Lah X memasang foto bergambar dalang nyentrik berbadan tambun tersebut. "In Memoriam Slamet Gundono", tulis Leyloor dalam status FB-nya pada Minggu (5/1/2013).

Sementara itu, dalam akun facebook musikus asal Yogyakarta, Djaduk Ferianto yang diunggah Minggu (5/1/2014) juga menyampaikan kabar dukacita tersebut. "Telah meninggal dunia sahabatku seniman besar Slamet Gundono....selamat jalan sobat," tulisnya.

Sunu Purnama, seorang penyair dari Yogyakarta yang kini berdomisili di One Earth, Ciawi, Bogor mempersembahkan doa dan puisi di dinding FB-nya, "Nok...aku pergi untuk melanjutkan perjalanan kehidupan ini. Mungkin ragaku yang besar ini sudah saatnya menyatu kembali dengan Ibu Pertiwi Indonesia yang aku cintai. Jadilah suket yang cerdas menyuarakan cinta dan kasih sayang seperti yang telah aku ajarkan kepadamu.

Hapuslah air matamu, jadikan sebagai air kehidupan yang memberi arti bagi napas yang masih engkau hirup. Kutinggalkan padamu wayang suketku. Hidupilah dengan jiwa kasihmu...Di ujung titik puncak kehidupan manusia kita akan bertemu kembali. Selamat Jalan Ki Slamet Gundono...”

Sementara itu, Hairus Salim dari Yayasan LKiS Yogyakarta menulis di status FB-nya, "Menghaturkan duka yang mendalam atas kepergian Ki Slamet Gundono. Semoga husnul khatimah. Saya akan selalu mengenang kepiawaiannya memainkan okulele, mendalang, berkasidah, dan menyentil para penguasa dan kaum agama yang keras kepala, serta kesediaannya untuk ngobrol dengan siapapun. Alfatihah!"

"In Memoriam Slamet Gundono, sumber foto dari akun FB
Leyloor Why Lah X"
"In Memoriam Slamet Gundono, sumber foto dari akun FB Leyloor Why Lah X"

Januari 03, 2014

Agama, Manifestasi Pembebasan Manusia

Dimuat di Majalah Utusan, edisi Januari 2014

Judul: Pencerahan, Kebenaran, Cinta, dan Kearifan Melampaui Dogma
Penulis: J. Sudrijanta, S.J
Penerbit: Kanisius
Cetakan: 1/2013
Tebal: 167 halaman
ISBN: 978-979-21-3492-6

Benang merah buku ini ialah kesadaran non-dualistik (awareness). Secara jeli, Romo Sudri, penulis buku ini, membedakannya dengan kesadaran dualistik (consciousness). Menurut imam Jesuit dan praktisi meditasi Zen tersebut, dalam kesadaran dualistik masih ada dikotomi antara subjek-objek. Sedangkan, pengetahuan mistikal justru terjadi tatkala dualisme telah terlampaui.

Secara lebih mendalam, Kebenaran mistikal (dengan K besar) perlu ditemukan secara aktual. Dalam konteks ini, diskusi intelektual tak bisa memuaskan dahaga jiwa. Sama halnya dengan Cinta dan Kearifan, nilai keutamaan tersebut tertutup bagi mereka yang masih terbelenggu oleh kepicikan intelek. Tapi terbuka bagi kita yang siap sedia menerima fakta universal Yang Tak Dikenal (halaman 12).

Alhasil, keraguan yang notabene selama ini dianggap sebagai musuh utama kepercayaan justru menjadi teman setia para pencari iman yang tulus. Sebab, entrepreneur sosial tersebut berpendapat bahwa batin yang sudah menemukan kepastian dan kenyamanan tidak akan mampu melihat Kebenaran. Selain itu, mata yang memandang lewat pikiran hanya akan menghasilkan pengamatan parsial. Pengamatan total hanya mungkin terjadi jika otak diam (halaman 20).
Buku yang terdiri atas 20 bab ini kaya inspirasi dan sarat makna. Layak dibaca dan dilakoni oleh semua orang. Terlepas dari latar belakang agama dan kepercayaan apa pun, lewat praktik kesadaran dari saat ke saat niscaya Kebenaran, Cinta, dan Kearifan akan menunjukkan wajah aslinya. Dengan demikian agama sungguh menjadi manifestasi pembebasan manusia.