September 07, 2011

Membangkitkan Ruh Kepemimpinan

Dimuat di Rubrik Gagasan, Koran Jakarta, Senin/5 September 2011

http://m.koran-jakarta.com/index.php?id=70437&mode_beritadetail=1

Leluhur kita tak menyelewengkan kekuasaan untuk menindas rakyat. Saat penjajahan Jepang, almarhum Ngarso Dalem HB IX sengaja memerintahkan penggalian Selokan Mataram. Agar aliran Progo bisa mengairi lahan pertanian di Kulon Progo-Kalasan secara merata. Pun warga desa setempat terhindar dari kerja rodi yang tak kenal peri kemanusiaan.

Sepakat dengan pendapat Anand Krishna, sebelum menjadi pejabat publik pemimpin seyogianya terlebih dahulu membangkitkan jiwa kepemimpinan dalam diri (Self Leadership, 2004). Tokoh humanis lintas agama tersebut mengingatkan tanggung jawab pejabat publik. Yakni pelayanan terhadap bangsa dan negara.

Bagi yang belum terpilih toh tetap bisa melayani. Sehingga tidak perlu mengamuk bila kalah. Sektor pelayanan sosial bukan monopoli para pejabat ataupun wakil rakyat. Pelayanan terhadap sesama anak bangsa menjadi tanggung jawab setiap warga negara. Tentu sesuai kompetensi individu di lingkar pengaruh masing-masing.

Dalam catatan sejarah, ada sebuah versi Asta Brata dari Kitab Pedoman Hukum Manusia gubahan Manu. Judulnya Manusmriti atau Manawardharma Shastra. Asalnya dari India dan berusia 5.000 tahun lebih. Rumusan Mpu Yogishwara dianggap lebih muda. Wejangan tersebut dikemas dalam Kakawin Ramayana. Usia karya klasik itu sekitar 1.000 tahun.

Yang teraktual ialah Asta Brata versi Keraton Surakarta. Karya ini diadaptasi dari kedua Kitab terdahulu. Namun sudah di-update sesuai perubahan zaman. Versi ini dipopulerkan oleh almarhum Sri Paku Buwono III sekitar 125 tahun silam. Nilai-nilai luhur tersebut dianalogikan ibarat 8 kelopak bunga teratai. Setiap helai kelopak mengandung sebuah pesan.

Kelopak pertama, matahari. Ia memberikan cahaya kepada semua makhluk. Matahari menjadi sumber energi utama segenap titah ciptaan. Kendati demikian, ia tidak pernah menyombongkan diri. Setiap pagi matahari selalu terbit di ufuk timur. Para pemimpin perlu belajar setia mengasihi dan sharing tanpa diskriminasi dari matahari.

Kelopak kedua, bulan. Ia bersinar menerangi gulita malam. Meski terjadi krisis, dan konflik seorang pemimpin tetap bersinar dan melayani masyarakat. Kelopak ketiga, bintang. Ibarat bintang kutub (pole star), ia menjadi pandu bagi pelaut yang tersesat. Pemimpin perlu tegas membubarkan ormas pemuja kekerasan berkedok agama yang acapkali menghakimi keyakinan orang lain dan mengganggu ketertiban umum.

Kelopak keempat, api. Ia membakar ego dan sederet sifat destruktif lain. Inilah laku akbar seumur hidup. Api dapat membakar pula ketidakadilan dan ilalang fanatisme. Harmoni dalam keberagaman niscaya dapat terwujud. Kerendahan hati dan sikap apresiatif menjadi kata kunci di sini.

Kelopak kelima, angin. Ia bersifat halus, lembut, tak terlihat, tetapi kuat dan berada di mana saja. Tak ada yang bisa menghalangi penetrasi Sang Bayu. Walau dibatasi tembok beton sekalipun. Seorang pemimpin trengginas, lincah, dan mampu bergerak bebas. Ia tidak terlalu diproteksi oleh para pembantu di istana megahnya. Sungguh ironis menyaksikan gaya hidup mewah para pejabat tatkala para petani gagal panen akibat terjangan hama wereng.

Kelopak keenam, bumi. Walau diinjak-injak, dieksploitasi, dan dilecehkan Ibu Bumi terus memberi dan memaafkan. Sebagai pelayan publik, seorang pemimpin bersedia menerima segala macam kritikan. Dalam konteks ini, tidak perlu terlalu emosional menyikapi kekritisan kelompok madani.

Kelopak ketujuh, air. Ia mengingatkan kita akan aliran yang konsisten. Air berbagi hidup dan penghidupan dengan semua. Bahkan ketika aliran terhambat oleh sebuah bukit, ia tak akan kemrungsung menabrak, justru dengan sabar mengitari dan tetap mengalir meneruskan perjalanan.

Air juga tidak pilih kasih. Saat mengalir di Timur Tengah, ia tak menjadi Arab dan memberi kehidupan pada orang Muslim saja. Ketika mengalir di India, ia tidak menjadi Hindu dan menjadi sumber kehidupan bagi orang Hindu saja. Tatkala mengalir di Barat, ia tidak menjadi Kristen dan menganggap dirinya lebih beradab ketimbang leluhur kita yang tinggal di kepulauan Nusantara ini.

Kelopak kedelapan, samudera. Ia melambangkan keluasan dan kedalaman. Ia juga memiliki kemampuan untuk menyerap, membersihkan dan mempersiapkan air kotor untuk diuapkan menjadi awan. Kemudian mengembalikan air tersebut dalam bentuk tetes air hujan pemberi kehidupan.

Seorang pemimpin seperti lautan. Dalam arti luas pengetahuannya dan pecinta buku. Konkretnya, seperti para bapa bangsa. Terutama Dwi Tunggal: Sukarno-Hatta. Mereka berdua pembaca ulung. Menurut Maya Safira, BUKU atau BOOK dalam bahasa Inggris singkatan dari Broad Ocean of Knowledge (Pengetahuan luas laksana samudera).

Demikianlah Asta Brata, praksis kepemimpinan ala Nusantara. Leluhur kita tidak mengimpor kearifan lokal tersebut dari luar, tapi titen mengamati lingkungan alam sekitar. Selamat membangkitkan ruh kepemimpinan dalam diri dan melakoninya dalam keseharian ziarah hidup ini.

T. Nugroho Angkasa S.Pd
Penulis adalah, Guru Bahasa Inggris SMA Budya Wacana Yogyakarta


Tidak ada komentar: