Dimuat di Koran Jakarta, Sabtu/13 Oktober 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102975
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102975
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaksi
Judul: Patriotisme dan Nasionalisme para Pejuang
Katolik
Penulis: J.B. Soedarmanta
Penerbit: Pohon Cahaya
Cetakan: 1/September 2012T
ebal: 116 halaman
ISBN: 978-602-9485-53-0
Penerbit: Pohon Cahaya
Cetakan: 1/September 2012T
ebal: 116 halaman
ISBN: 978-602-9485-53-0
Nama bandara Adisutjipto Yogyakarta dipilih untuk
mengenang keberanian pilot pesawat Dakota VT-CLA yang tertembak jatuh
di Dusun Ngoto pada 29 Juli 1947 (halaman 13). Kisah heroik ini tak
banyak diketahui publik. Tatkala tentara Belanda menyerbu pulau Jawa
dan Sumatra pada 21 Juli-5 Agustus 1947, Agustinus Adisutjipto dan Abdurahman
Saleh ditugaskan terbang ke India. Misi mereka menerima bantuan obat-obatan
dari negara sahabat yang notabene sejak perjuangan kemerdekaan konsisten
mendukung Indonesia. Keduanya menerobos blokade udara pasukan Belanda.
Ironisnya, ketika berangkat lolos, namun saat kembali maut menjemput.
Saat itu, di beberapa landasan pacu seperti Maguwo
(Yogya), Maospati (Madiun), dan Bugis (Malang) terdapat beberapa peninggalan
pesawat Jepang. Namun jangan dibayangkan kondisinya secanggih sekarang.
Karena kesulitan suku cadang, hanya 70 persen yang bisa terbang. Antara
lain Ki-43 Hayabusha “Oscar”, A6M “Zero”, dan Ki-60 “Tony”.
Pesawat Hayabusha pun hanya bisa mengangkasa tapi tak bisa menyerang.
Kenapa? Karena alat sinchcronize antara senapan mesin dan baling-baling
rusak. Sehingga jika dipaksakan untuk menembak bisa terjadi dog fight alias badan pesawat terkena
peluru sendiri (halaman 9).
Sejak masih belia, Adisutjipto sudah bercita-cita
jadi pilot. Pria kelahiran Salatiga, 4 Juli 1916 ini sempat dilarang
orang tua karena penerbangan udara dipandang beresiko tinggi. Ia mengalah
dan melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School (GHS). Kendati demikian, obsesi
menjadi penerbang tak pernah surut. Lantas, ia berpindah ke Sekolah
Penerbangan Militaire Luchtvaart di Kalijati. Setamat dari situ,
Adisutjipto bekerja sebagai pilot pengintai udara (Luchvaart Afdeling).
Pasukan Dai Nippon mendarat di Indonesia pada 1942.
Kekuasaan Jepang seumur jagung, hanya 3,5 tahun, tapi derita rakyat
sampai ke sum-sum tulang. Kemudian, pasca Hirosima dan Nagasaki dibom
atom, mereka menyerah. Adisutjipto pun bergabung dengan TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) yang merupakan cikal-bakal TNI. Pada 9 April 1946,
Jawatan Penerbangan dibentuk. Tujuannya menguasai, mempertahankan, dan
mendayagunakan ruang udara di wilayah RI yang baru saja diproklamasikan.
Lewat Penetapan Pemerintah No 6/SD statusnya dinaikkan menjadi Tentara
Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI-AU) per 7 Juni 1947. Ibarat gayung
bersambut, Adisutjipto mendapat tempatnya kembali di kokpit pesawat.
Ia menjadi salah satu perintis TNI AU Republik Indonesia (RI).
Buku karya J.B Soedarmanta ini menyiratkan determinasi
dan kepiawaian diplomasi para tokoh Nasionalis Katolik. Antara lain
Romo Kanjeng Soegijapranata SJ (bab 2), Laksamana Madya TNI (Anumerta)
Yosaphat Soedarso yang biasa dipanggil Yos Soedarso (bab 3), Brigadir
Jenderal TNI (Anumerta) Ignatius Slamet Riyadi (bab 4), dan pelopor
Partai Katolik, Ignatius Joseph Kasimo Endrawahjana yang dikenal sebagai
politisi pejuang salus populi suprema lex (bab 5).
Romo Kanjeng seorang diplomat ulung, kisahnya dibuat film Soegija. Beliau berhasil
menembus barikade ketat pemerintah kolonial Belanda lewat kritik tajamnya
di Majalah Commonwealth. Pembaca dari seluruh penjuru
dunia, baik di Amerika Serikat maupun di benua biru Eropa terkesima.
Buah pena tersebut membuka mata komunitas internasional ihwal kekejaman
agresi militer Belanda. Penulis juga mengutip petikan "Catatan
Revolusioner Uskup Soegija" yang dilansir di Harian Merdeka (17
Mei 1949), “Aksi-aksi itu telah diadakan untuk merebut kembali apa
yang sudah hilang, melakukan pembalasan buat suatu kekalahan, menghidupkan
kembali apa yang sudah tidak ada….” (Halaman 24).
Buku Patriotisme dan Nasionalisme
para Pejuang Katolik mengungkap pula keakraban Uskup
Pribumi I di Indonesia tersebut dengan Presiden I RI, Bung Karno. Pendidikan
Tinggi Tenaga Pendidik - yang kemudian bernama IKIP (sekarang Universitas)
Sanata Dharma Yogyakarta - merupakan lembaga pendidikan tinggi swasta
satu-satunya yang diresmikan oleh seorang kepala negara.
Pertemuan terakhir kedua tokoh tersebut terjadi di
Roma pada 1963. Monsiegneur Soegijapranata hendak berobat ke negeri
Belanda sekaligus menghadiri Konsili Vatikan II, sedangkan Presiden
Soekarno hendak terbang ke Prancis. Bung Karno berkata, “Rama Agung, kula bade dateng
Presiden de Gaule. Pramilo kula nyuwun donga pangetunipun Rama Agung…” (Romo Agung, saya hendak
ke Paris untuk mengadakan pembicaraan penting sekali dengan Presiden
de Gaulle. Untuk itu saya minta doa Romo Agung…) (halaman 30). Mgr.
Soegjapranata menjawab dengan bahasa Jawa kromo inggil juga, “Kulo bade memuji mugi-mugi
pepanggihan kaliyan Presiden de Gaulle mangke sukses ingkang murakabi
kita sedaya.” (Saya mendoakan semoga pembicaraan
dengan Presiden de Gaulle berhasil dan dapat bermafaat bagi kita semua).
(Bdk. Richardus Djokopranoto et al, 2010)
Buku setebal 116 halaman ini ibarat ayakan. Dengan
mengkaji dan menyaring kisah para tokoh Nasionalis Katolik tersebut,
niscaya pembaca temukan saripati nilai-nilai keutamaan nan adiluhung.
Ajaran Kristiani memang berbanding lurus dengan perjuangan kebangsaan
dan kemanusiaan. Pun wejangan Romo Kanjeng tetap relevan, “100% Katolik
100% Indonesia.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru
bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) , Ekskul English Club di
SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air, dan TK Pangudi Luhur Yogyakarta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar