Dimuat di Sesawi.Net/ 29 Oktober 2012
Judul: Hidup Itu Anugerah
Penulis: Laurent Prasetya Pr
Editor: Hendra Prabawa
Penerbit: Pohon Cahaya Yogyakarta
Cetakan: 1/ 2012
Tebal: 116 halaman
ISBN: 978-602-9485-14-1
Harga: Rp 13.000
Dalam ziarah kehidupan senantiasa
terpapar aneka peristiwa. Ada yang membahagiakan ataupun mengecewakan,
yang membanggakan dan membuat terpuruk, yang berhasil serta yang
gagal. Seluruh dinamika pasang-surut tersebut nyata dalam 24 jam
keseharian kita. Sehingga alangkah baiknya jika di tengah hiruk-pikuk
dan rutinitas manusia menyediakan waktu untuk menarik diri dan
berefleksi. Sebab, menurut petuah para bijak, hidup yang tak pernah
ditinjau ialah hidup yang tak layak dijalani.
Berdasar hasil introspeksi batin niscaya
terpatri sebuah keyakinan kuat. Pun dapat dijadikan pedoman saat
melangkah lebih lanjut. Ternyata hidup memang sebuah anugerah. Lewat
buku ini, pembaca diajak untuk mensyukuri dalam segala. Salah satu
wujud ungkapan terimakasih itu dengan berbagi pada sesama yang
menderita. Penulisnya, Laurent Prasetya Pr memperkenalkan akronim
baru. Yakni KLMTD, singkatan dari Kelompok orang kecil, Lemah, Miskin,
Tersingkir, dan Difabel (halaman 80).
Menurut analisis Pastor kepala Paroki
St. Aloysius Gonzaga Mlati, Yogyakarta ini sikap acuh dan
kecenderungan egosentrisme menumpulkan kepekaan nurani terhadap
sesama. Terutama bagi kaum KLMTD di sekitar lingkungan terdekat kita.
Secara lebih rinci, ketua Yayasan Lembaga Biblika Indonesia (YLBI) ini
memaparkan bahwa semangat berbagi (sharing spirit) tak melulu terkait
materi yang bisa disentuh (tangible). Seperti makanan, minuman, uang,
pakaian, dll tapi juga terkait dengan hal-hal yang bersifat rohani
tak kasat mata (intangible).
Dalam konteks ini, kerendahan hati dan
ketulusan menjadi prasyarat utama. Sehingga kita dapat meneguhkan
perjuangan, menyegarkan semangat, dan membela keadilan. Misalnya saat
terjadi bencana alam, berupa erupsi gunung berapi, gempa bumi, banjir
dan bahkan tsunami. Pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako)
begitu urgen pada masa darurat. Kendati demikian, kehadiran para
relawan untuk menyapa dan memerhatikan kondisi psikis para korban juga
penting. Dalam bahasa Jawa disebut ngrengkuh alias menerima mereka
apa-adanya (halaman 88).
Buku Hidup Itu Anugerah ibarat sebuah
manifesto. Tapi bukan terkait isu politik tertentu, melainkan lebih
sebagai tuntunan dalam memandang kehidupan dengan penuh syukur. Saat
terlahir ke dunia dari rahim ibu, manusia diberi nafas hingga
sepanjang hayat dikandung badan. Bayi boleh merasakan dekapan hangat
ibunda dan menikmati air susunya. Kemudian, balita mulai belajar
berkata-kata, merangkak, berjalan, dan berlari. Lewat pendampingan
orang tua dan para guru di sekolah kita bisa membaca, menulis,
berhitung, menyanyi, berdoa, dll.
Sistematikanya terdiri atas 12 subbab.
Masing-masing menguraikan satu pokok bahasan. Antara lain Inner
Beauty, Tersenyum, Bersahabat, Keseimbangan Hidup, dan Tidur Nyenyak.
Hidup Itu Anugerah merupakan sharing pengalaman penulis selama 10
tahun berkarya di Pastoran Sanjaya Muntilan (1 Agustus 2002 – 7
Januari 2012) sekaligus tanda syukur atas ulang tahun Imamat ke-22 (22
Februari 1990 – 22 Februari 2012).
Karya tulis ini relatif “njawani”. Dalam
arti, banyak menggunakan filosofi Kejawen untuk menerangkan satu
fenomena tertentu. Misalnya, orang yang sulit bersyukur cenderung
memaksakan diri (ngaya). Selain itu, mereka juga menjadikan
keserakahan sebagai berhala (ngangsa). Pun selalu memerhitungkan
untung dan rugi (petung). Bila ketiga kecenderungan tersebut
bersekutu maka muaranya ialah penderitaan hidup (nelangsa) (halaman
35). Contoh yang tak perlu ditiru ialah para koruptor. Mereka ibarat
meminum air laut, seberapa pun perutnya menggelembung tetap saja haus
dan serakah merampas uang rakyat.
Sebagai solusi, Romo Projo yang
mengawali pelayanannya di Paroki St. Fransiskus Xaverius Kidulloji,
Yogyakarta ini mengajak pembaca berterimakasih atas hal-hal sepele
yang ada dalam keseharian hidup. Ia mengutip Mazmur 79:13, “Maka kami
ini, umat-Mu, dan kawanan domba gembalaan-Mu akan bersyukur untuk
selama-lamanya, dan akan memberikan puji-pujian untuk-Mu
turun-temurun.”
Seruan tersebut sejalan dengan
penelitian ilmiah dr. Masaro Emoto, ungkapan cinta (love) dan syukur
(gratitude) juga membentuk kristal air heksagonal yang sangat indah.
Salah satu tolok ukurnya ialah pola tidur. Tak hanya dari aspek
kuantitas alias lamanya tidur, tapi lebih pada kualitas. Orang yang
penuh syukur, menjalani hidup dengan gembira, bahagia, dan sepenuh
hati. Alhasil, ketika tidur niscaya nyenyak dan bahkan nyenyak sekali
tanpa mimpi (deep sleep). Kenapa? Karena terbiasa pasrah pada
penyelenggaraan dan perlindungan-Nya (halaman 110).
Buku setebal 116 halaman ini ibarat
lentera. Isinya niscaya menyinari hati pembaca yang sudi membuka diri
dan berbagi pada sesama. Pilihan ada di tangan manusia, mau melihat
hidup sebagai anugerah atau serapah. Senada dengan pendapat para
bijak, “Manusia memang tak bisa menghentikan ombak, tapi kita bisa
belajar berselancar.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar