Oktober 31, 2012

Inspirasi Alam, Tak Ada Perbaikan Tanpa Perubahan


Dimuat di Koran Jakarta, Kamis/1 November 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/104466

Burung rajawali memiliki usia relatif panjang dibanding spesies lain. Burung pemburu tersebut hidup sampai 70 tahun. Perjuangan untuk mencapai usia setua itu tak mudah. Ketika berumur 40 tahun, terjadi perubahan fisiologis pada tubuh rajawali.

Cakarnya yang semula mampu mencengkeram mangsa dengan kuat menjadi bengkok karena terlampau panjang. Paruh yang dulu bisa merobek hewan buruan sekarang melengkung dan justru menyulitkannya untuk makan. Begitu pula dengan bulu-bulu di tubuhnya, kini menebal di satu sisi, tak rata lagi. Burung rajawali itu masih tampak memancarkan sorot mata tajam, gagah perkasa, dan berwibawa, tapi sejatinya tak sehebat dulu lagi.

Dalam konteks ini, dia dihadapkan pada pilihan mati atau menyongsong perubahan atas inisiatif sendiri. Dalam bahasa mendiang Stephen R Covey, disebut proaktif. Ini sungguh sebuah pilihan sulit. Tapi kalau tak memilih, risikonya berhadapan dengan maut dalam waktu yang tak terlalu lama.

Akhirnya, rajawali memutuskan untuk tetap hidup. Caranya dengan terbang ke puncak gunung terjal. Ia pun “bersemedi” selama 150 hari (lima bulan) demi proses tranformasi. Ia memukul-mukulkan paruh bengkoknya ke batu cadas agar terlepas. Tak hanya tragis, proses mencopot paruh itu juga sangat menyakitkan. Darah pun muncrat bercucuran. Namun, setelah paruh lama terlepas, tumbuhlah paruh baru yang proporsional lengkungannya.

Dia lalu mencabuti setiap ruas kukunya satu per satu. Proses pencabutan itu lebih lama ketimbang mencopot paruh. Sakitnya pun tak terperikan. Setiap kali satu kuku dicabut, darah menyembur. Lalu, rajawali menunggu lagi agar seluruh kuku di cakarnya tumbuh kembali dengan sempurna.

Terakhir tapi penting, sang burung juga mesti mencabuti bulu-bulu di sayap dan punggungnya. Bulu tersebut terlalu tebal dan tak merata sehingga menyulitkan terbang dan membuatnya tak lincah menyergap mangsa. Setelah transformasi lima bulan (150 hari) di puncak gunung, dia memiliki tubuh baru. Ia siap untuk hidup 30 tahun lagi.

Lewat kisah ini, Parlindungan Marpaung menandaskan bahwa perubahan memang acap kali tak mengenakkan, namun tak ada perbaikan tanpa perubahan (halaman 190). Setengah Pecah Setengah Utuh merupakan buku ketiganya. Judul tersebut terinspirasi penggunaan telur dalam racikan kue. Telur terlebih dulu dipecah dan dikocok bersama tepung sampai jadi adonan.

Sistematikanya terdiri atas 58 subbab, antara lain bertajuk “Menanam Ucapan, Menuai Tindakan”, “Pohon Pir di Empat Musim”, “Sebuah Kursi Kosong”, “Lalat Serakah dan Semut Merah”, dan “Pria Buta Menatap Tembok”.

Tak hanya dari dunia burung, penulis juga menimba inspirasi dari pergantian musim. Pengamatan pria kelahiran Jambi, 13 November 1968, ini jeli terhadap lingkungan sekitar. Seorang ayah meminta anak-anaknya yang masih duduk di SD untuk mengobservasi pohon buah pir di empat musim.

Si sulung mengamati di musim dingin. Anak kedua dan ketiga mengamati pada musim semi dan musim panas. Terakhir, anak bungsu mengamati pohon pir di musim gugur. Dalam setahun penuh, mereka mengamati dengan pandangan beragam.

Kemudian mereka menjelaskan hasil observasi tersebut kepada ayah. Anak sulung mengatakan pohon pir itu tidak ada daunnya, sekilas tampak sudah mati. Pernyataan itu dibantah dengan keras anak kedua yang mengatakan pohon pir itu justru ditumbuhi tunas-tunas muda dan kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran.

Lantas, anak ketiga mengatakan pohon pir berbuah banyak. Daunnya pun hijau lebat. Namun, anak bungsu membantah pernyataan kakak-kakaknya. “Tidak ada pohon yang berdaun hijau. Semuanya berdaun cokelat kekuning-kuningan dan tidak ada buahnya sama sekali,” ujar dia.

Sembari tersenyum simpul, ayah menengahi, “Yang kalian lihat semuanya benar. Tidak ada yang salah. Tiap-tiap kalian melihat dalam satu musim saja. Seandainya kalian melihat secara keseluruhan, pasti mengatakan betapa indah pohon pir itu. Dia beradaptasi mengikuti musim agar tetap bertahan, tumbuh, dan berbuah” (halaman 189).

Ada juga singkatan yang mudah diingat, misalnya HERO. Seorang pahlawan memiliki beberapa karakteristik, seperti honesty (kejujuran, integritas, satu kata dan perbuatan), enthusiastic (semangat menyala-nyala untuk menegakkan kebenaran dan keadilan), responsibility (bertanggung jawab atas setiap ucapan dan tindakannya), dan open minded (tak merasa paling benar, lapang dada menerima masukan).

Buku setebal 330 halaman ini bisa menyadarkan pembaca bahwa sikap terhadap tantangan berbanding lurus dengan kualitas hidup. Senada dengan tesis John C Maxwell, “Sikap adalah barisan depan dari jati diri. Akarnya masuk ke dalam, tapi buahnya keluar. Sikap adalah kostum yang dikenakan.”

Diresensi T Nugroho Angkasa, guru SMP Kanisius Sleman

Judul : Setengah Pecah Setengah Utuh
Penulis : Parlindungan Marpaung
Penerbit: Esensi Erlangga Group
Cetakan : 1/ Juni 2012
Tebal : xxii 330 halaman
ISBN : 9786027596030
Harga : Rp69.000


135173125047051747

Tidak ada komentar: