Dimuat di Koran Jakarta, Kamis/1 November 2012
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/104466
Burung rajawali memiliki usia relatif
panjang dibanding spesies lain. Burung pemburu tersebut hidup sampai 70
tahun. Perjuangan untuk mencapai usia setua itu tak mudah. Ketika
berumur 40 tahun, terjadi perubahan fisiologis pada tubuh rajawali.
Cakarnya yang semula mampu mencengkeram
mangsa dengan kuat menjadi bengkok karena terlampau panjang. Paruh
yang dulu bisa merobek hewan buruan sekarang melengkung dan justru
menyulitkannya untuk makan. Begitu pula dengan bulu-bulu di tubuhnya,
kini menebal di satu sisi, tak rata lagi. Burung rajawali itu masih
tampak memancarkan sorot mata tajam, gagah perkasa, dan berwibawa, tapi
sejatinya tak sehebat dulu lagi.
Dalam konteks ini, dia dihadapkan pada
pilihan mati atau menyongsong perubahan atas inisiatif sendiri. Dalam
bahasa mendiang Stephen R Covey, disebut proaktif. Ini sungguh sebuah
pilihan sulit. Tapi kalau tak memilih, risikonya berhadapan dengan maut
dalam waktu yang tak terlalu lama.
Akhirnya, rajawali memutuskan untuk
tetap hidup. Caranya dengan terbang ke puncak gunung terjal. Ia pun
“bersemedi” selama 150 hari (lima bulan) demi proses tranformasi. Ia
memukul-mukulkan paruh bengkoknya ke batu cadas agar terlepas. Tak
hanya tragis, proses mencopot paruh itu juga sangat menyakitkan. Darah
pun muncrat bercucuran. Namun, setelah paruh lama terlepas, tumbuhlah
paruh baru yang proporsional lengkungannya.
Dia lalu mencabuti setiap ruas kukunya
satu per satu. Proses pencabutan itu lebih lama ketimbang mencopot
paruh. Sakitnya pun tak terperikan. Setiap kali satu kuku dicabut,
darah menyembur. Lalu, rajawali menunggu lagi agar seluruh kuku di
cakarnya tumbuh kembali dengan sempurna.
Terakhir tapi penting, sang burung juga
mesti mencabuti bulu-bulu di sayap dan punggungnya. Bulu tersebut
terlalu tebal dan tak merata sehingga menyulitkan terbang dan
membuatnya tak lincah menyergap mangsa. Setelah transformasi lima bulan
(150 hari) di puncak gunung, dia memiliki tubuh baru. Ia siap untuk
hidup 30 tahun lagi.
Lewat kisah ini, Parlindungan Marpaung
menandaskan bahwa perubahan memang acap kali tak mengenakkan, namun tak
ada perbaikan tanpa perubahan (halaman 190). Setengah Pecah Setengah
Utuh merupakan buku ketiganya. Judul tersebut terinspirasi penggunaan
telur dalam racikan kue. Telur terlebih dulu dipecah dan dikocok
bersama tepung sampai jadi adonan.
Sistematikanya terdiri atas 58 subbab,
antara lain bertajuk “Menanam Ucapan, Menuai Tindakan”, “Pohon Pir di
Empat Musim”, “Sebuah Kursi Kosong”, “Lalat Serakah dan Semut Merah”,
dan “Pria Buta Menatap Tembok”.
Tak hanya dari dunia burung, penulis
juga menimba inspirasi dari pergantian musim. Pengamatan pria kelahiran
Jambi, 13 November 1968, ini jeli terhadap lingkungan sekitar. Seorang
ayah meminta anak-anaknya yang masih duduk di SD untuk mengobservasi
pohon buah pir di empat musim.
Si sulung mengamati di musim dingin.
Anak kedua dan ketiga mengamati pada musim semi dan musim panas.
Terakhir, anak bungsu mengamati pohon pir di musim gugur. Dalam setahun
penuh, mereka mengamati dengan pandangan beragam.
Kemudian mereka menjelaskan hasil
observasi tersebut kepada ayah. Anak sulung mengatakan pohon pir itu
tidak ada daunnya, sekilas tampak sudah mati. Pernyataan itu dibantah
dengan keras anak kedua yang mengatakan pohon pir itu justru ditumbuhi
tunas-tunas muda dan kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran.
Lantas, anak ketiga mengatakan pohon
pir berbuah banyak. Daunnya pun hijau lebat. Namun, anak bungsu
membantah pernyataan kakak-kakaknya. “Tidak ada pohon yang berdaun
hijau. Semuanya berdaun cokelat kekuning-kuningan dan tidak ada buahnya
sama sekali,” ujar dia.
Sembari tersenyum simpul, ayah
menengahi, “Yang kalian lihat semuanya benar. Tidak ada yang salah.
Tiap-tiap kalian melihat dalam satu musim saja. Seandainya kalian
melihat secara keseluruhan, pasti mengatakan betapa indah pohon pir itu.
Dia beradaptasi mengikuti musim agar tetap bertahan, tumbuh, dan
berbuah” (halaman 189).
Ada juga singkatan yang mudah diingat,
misalnya HERO. Seorang pahlawan memiliki beberapa karakteristik, seperti
honesty (kejujuran, integritas, satu kata dan perbuatan), enthusiastic
(semangat menyala-nyala untuk menegakkan kebenaran dan keadilan),
responsibility (bertanggung jawab atas setiap ucapan dan tindakannya),
dan open minded (tak merasa paling benar, lapang dada menerima masukan).
Buku setebal 330 halaman ini bisa
menyadarkan pembaca bahwa sikap terhadap tantangan berbanding lurus
dengan kualitas hidup. Senada dengan tesis John C Maxwell, “Sikap
adalah barisan depan dari jati diri. Akarnya masuk ke dalam, tapi
buahnya keluar. Sikap adalah kostum yang dikenakan.”
Diresensi T Nugroho Angkasa, guru SMP Kanisius Sleman
Judul : Setengah Pecah Setengah Utuh
Penulis : Parlindungan Marpaung
Penerbit: Esensi Erlangga Group
Cetakan : 1/ Juni 2012
Tebal : xxii 330 halaman
ISBN : 9786027596030
Harga : Rp69.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar