Dimuat di The Globe Journal, Senin/15 Oktober 2012
http://theglobejournal.com/opini/seberapa-amankah-anda/index.php
http://theglobejournal.com/opini/seberapa-amankah-anda/index.php
Seberapakah aman Anda? Jawabnya
sederhana, hanya satu baris, tapi sekaligus tragis, pun begitu
memilukan, yaitu: “Seaman mendiang Duta Besar Amerika Serikat di
Libya.” Ya, pembunuhan yang menimpa John Christopher Stevens di Benghazi
pada Selasa malam (11/09/2012) membuktikan bahwa dunia tempat tinggal
kita tak seaman dulu.
Bepergian ke Eropa dan Amerika Serikat,
terutama bagi warga berkebangsaan tertentu, tak semudah dulu. Visa tak
lagi dikeluarkan secepat biasanya, dan pihak imigrasi di negara tujuan
acapkali membuat anda merasa kedatangan anda tak diharapkan. Situasi ini
berlaku pula bagi masyarakat Barat yang bepergian ke Timur. Mereka pun
merasa tak seaman dulu.
Terorisme itu nyata, serangan teroris
memang ada, dan bisa terjadi kapan saja. Tak peduli anda berada di udara
atau di atas tanah, bepergian tak lagi semengasyikkan dulu.
Lantas, apa akar penyebab terorisme?
Sangat mudah langsung meloncat ke kesimpulan umum, masalah “ekonomi”.
Menjadikan “materi” sebagai biang keladi. Seolah jika anda tak punya
cukup uang otomatis tumbuh tanduk dan menjadi teroris.
Ekonomi - kemiskinan dan kelaparan,
lebih tepatnya ketidakmerataan distribusi kekayaan dapat, toh pada
ujungnya maksimal menjadi pemicu. Tapi, itu bukan akar penyebab
terorisme dan aktifitas teroris. Itu bisa memunculkan ke permukaan
kekerasan dalam diri, itu bisa mengungkapkan kecenderungan teroris dalam
diri, tapi tetap bukan akar penyebabnya.
Kendati demikian, kita tidak membenarkan
adanya kemiskinan, kelaparan, dan ketidakmerataan distribusi kekayaan.
Tidak. Itu semua berbahaya. Dunia yang beradab harus berupaya sungguh
menghapuskan kondisi yang tak dimaui tersebut. Tapi, sekali lagi,
dengan menghapuskan kondisi-kondisi tersebut saja, anda tak dapat
mengakhiri terorisme dan aktifitas teroris.
Terorisme tumbuh dalam pikiran. Dan,
kekerasan ialah sebuah “kondisi mental”. Oleh sebab itu, untuk
mengakhiri terorisme dan kegiatan teroris, pikiran manusialah yang harus
“pertama” diolah. Tanpa mengolah pikiran manusia, tanpa mengoreksinya
terorisme akan terus menghantui.
Mereka yang meragukan tesis ini silakan
memelajari kehidupan Osama bin Laden. Apakah ia miskin, berkekurangan,
atau seorang pria yang tak punya apa-apa? Bagaimana dengan pelaku bom
Bali? Mereka tak melilit kelaparan perutnya sehingga terpaksa melakukan
kekerasan untuk mendapat sekeping uang recehan untuk makan.
Rekrutan “umum” Osama memang ada yang
berasal dari golongan orang miskin. Tapi, para pentolannya, termasuk,
para eksekutor rencana paling mematikannya, tak sebegitu miskin dan
berada di bawah tekanan ekonomi sehingga terpaksa melakukan aksi bunuh
diri.
Banyak dari para eksekutornya ternyata
golongan kaya dan terdidik. Mereka tak “menjadi” teroris untuk uang atau
perolehan materi semata. Ya, mereka memang “menggunakan” uang - materi -
untuk memfasilitasi misi mereka. Uang dibutuhkan untuk merencanakan dan
mengeksekusi misi, tapi, sekali lagi, mereka tak melakukannya melulu
untuk uang.
Mereka digerakkan oleh ideologi yang
mereka percayai. Saya mendengar dari pejabat tinggi, ketika ia menemui
pelaku bom Bali, salah satu dari mereka meludahi wajahnya dan
memanggilnya kafir. Apakah akar penyebab, sumber dari keyakinan yang
sedemikian membatu tersebut?
Otak manusia bisa diibaratkan sebuah
komputer, dengan pikiran sebagai sistem operasinya. Beberapa programnya
sudah bawaan, tertanam di DNA, dan beberapa lainnya ditambahkan oleh
keluarga, masyarakat, sistem pendidikan, dan tentu saja pengalaman dan
eksperimen dalam kehidupan.
Sekarang, sistem dasar operasinya
“hampir” selalu ramah untuk para penggunanya. “Hampir” selalu ramah
dengan kehidupan. Saya mengatakan “hampir”, karena kekerasan ialah salah
satu kecenderungan dasar. Hampir selalu ada, kurang di satu kelompok,
lebih di kelompok yang lainnya.
Beberapa anak bisa jadi menunjukkan
kegelisahannya dari masa awal kanak-kanak. Ada anak yang “suka” merusak
mainannnya. Kita tak akan masuk ke “kenapa” nya - kenapa beberapa anak
tak begitu kasar dibanding lainnya - karena itu akan membawa kita ke
ranah metafisika, sosial dan parapsikologi, yang melangkahi ruang dari
pendapat ini.
Tapi, faktanya ialah, dan saya
mengatakan ini dari pengamatan pribadi dan penemuan selama
bertahun-tahun, anak-anak yang menunjukkan kecenderungan kekerasan dari
masa kecilnya “lebih mudah” diprogram menjadi seorang fanatik, ektrimis,
radikal, dan akhirnya teroris. Dengan kata lain, ini tergantung pada
kemampuan sistem pemrogramannya, bahkan anak yang lugu dan sangat lembut
tutur katanya dapat pula diprogram menjadi orang dewasa yang keras.
“Program” Penting
Dalam konteks ini, sistem pendidikan
menjadi penting. Jika seorang anak “dididik” untuk mempercayai kemurnian
kepercayaannya “saja”, dan kekafiran pihak lainnya. Sehingga dibenarkan
membela orang yang hanya sealiran denganmu, bahkan jika ia salah
sekalipun. Bukan justru membela orang yang benar yang memiliki keyakinan
berbeda.
Alhasil, orang dewasa semacam apa yang
bisa kita harapkan? Barangkali, ini menjelaskan pembatalan putusan bebas
aktifis lintas agama Anand Krishna oleh tiga Hakim Mahkamah Agung,
bernama Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie, dan Sofyan Sitompul cacat
hukum dan tidak konstitusional; menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan,
dan melanggar HAM.
Itu bisa jadi karena mereka mendapat
sistem pendidikan yang keliru, sehingga masa dewasa mereka saat harusnya
menegakkan keadilan, mereka malah tak bisa melampaui conditioning masa
kecil yang salah dan tak tepat tersebut. Juga karena kondisi semacam
itu, mereka bersikukuh untuk membuktikan kesalahan putusan yang dibuat
oleh hakim paling jujur di negeri ini sekaliber Albertina Ho?
Barangkali, karena alasan yang sama pula
pengacara pelapor Agung Mattauch menyatakan kepada publik dan secara
bangga pula mengakui bahwa tuntutan pelecehan seksual (yang tak pernah
terbukti, sebaliknya, justru pelapor yang terbukti berbohong di
persidangan hukum, “hanyalah pintu masuk ke masalah yang lebih serius.
Ini (akan menjadi) penyesatan agama.”
Ini jelas menunjukkan bahwa kebebasan
beragama sedang diserang! Anand Krishna selama ini memang lantang
bersuara lewat tulisan demi memangkas tumbuhnya ilalang radikalisme di
Indonesia.
Tentu saja kaum radikal, kroni mereka,
dan beberapa anasir dalam tubuh pemerintahan atau partai politik, yang
sering mencari perlindungan demi agenda tertentu, tak menyukai aktifitas
inklusifnya.
Sekarang, tatkala kita berbicara tentang
kebebasan beragama di wilayah teritori seperti Indonesia, kita
sesungguhnya memperjuangkan nilai universal demokrasi, pluralisme, dll
yang notabene membuat kaum radikal alergi.
Barangkali, komunitas internasional
sudah merasakan hal itu, dan ini menjelaskan kejatuhan nilai saham
perusahaan Indonesia dan penurunan riil angka investasi.
Dengan adanya anasir radikal yang
menyusup ke kantor pemerintahan, termasuk Mahkamah Agung (MA), lumrah
kalau para investor harus berpikir dua kali sebelum menginvestasikan
dana mereka di sini.
Pertanyaan 1 juta dolarnya ialah
bagaimana masa depan Indonesia, baik dalam jangka waktu dekat maupun
panjang? Apakah kita sedang menyaksikan 10 negara Pakistan sedang dalam
proses menjadi di negeri ini? Wahai Tuhan lindungilah kami!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar