Dimuat di Majalah Tiro, Edisi 70/1 September 2012
Judul: Neo Spiritual Hypnotherapy, Seni Pemusatan Diri untuk Bebas dari Pengaruh Hipnosis Massal
Penulis: Anand Krishna Ph.D
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I/Mei 2012
Tebal: viii+302 halaman
ISBN: 978-979-22-8314-3
Harga: Rp55.000
Warren Buffet tercatat sebagai pengusaha terkaya sedunia versi majalah Forbes (2010). Total kekayaan Chairman dan CEO Berkshire Hathaway
ini mencapai US$ 62 miliar lebih. Pria kelahiran Omaha, Amerika Serikat
pada 30 Agustus 1930 silam ini memang seorang pekerja keras. Sejak
usia belia (11 tahun) tak malu berjualan permen karet, minuman bersoda
dan majalah di sekolah.
Selain itu, ia juga membantu kakeknya
menjaga toko kelontong di rumah. Buffet lulus kuliah S1 pada usia 19
tahun. Pun gelar S2 disabetnya tatkala masih berusia 21 tahun. Dalam
usia semuda itu, ia sudah menjadi seorang wajib pajak. Artinya, ia
sudah mandiri dan memiliki usaha yang memberi penghasilan tetap
(halaman 94).
Begitulah satu paparan Anand Krishna
dalam buku ini. Menurutnya, Warren Buffet merupakan sintesis kekayaan
dan kedermawanan. Senada dengan tesis Dr. Paul Leon Masters. Dekan University of Metaphysics, USA itu pun berpendapat, “The
Real-You is what builds success and fulfillment…The Real-You is the
lasting you-or, spiritually, the Eternal You-or, mystically, the
God-You.’ (Minister/Bachelors Degree Course Lesson 39, 2007:42).
Terjemahan bebasnya ialah bahwa (Penemuan) Diri yang sejati itulah
Keberhasilan Sejati, dan itulah Kepuasan Sejati…Dirimu yang sejati
adalah Dirimu yang Langgeng, Abadi—itulah Hakikat.
“Neo Spiritual Hypnotherapy, Seni Pemusatan Diri untuk Bebas dari Pengaruh Hipnosis Massal” merupakan perluasan Master Thesis Anand
Krishna Ph.D. Tokoh humanis lintas agama ini sempat terjerat kasus
hukum. Dugaannya akibat praktik hipnosis dan hipnoterapi di padepokan
Anand Ashram. Matroji Dian Swara meliputnya dalam Majalah Tiro. Bidikan
Utama edisi Oktober 2011 mengulas, “Skandal Busuk untuk Menghancurkan
Tokoh Pluralisme Anand Krishna”.
Oleh sebab itu, sembari menjalani proses
persidangan panjang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, ia
menyempatkan diri mengikuti kuliah jarak jauh di jurusan metafisika.
Pertanyaannya, kenapa mengambil
metafisika? Menurut pria keturunan India kelahiran Surakarta ini,
karena psikologi masih enggan menerima hipnoterapi dan hipnosis. Kedua
ilmu terapan tersebut belum diterima secara resmi dalam genre ilmu
kejiwaan. Untungya, sudah sejak dulu metafisika merangkul mereka
sebagai “perkakas” ampuh. Yakni untuk menyelami kondisi psikis
manusia. Sehingga dapat mengobati pelbagai penyakit neurotis.
Contoh konkritnya terkait kasus kurang
keterbukaan antara suami-istri (halaman 218). Ketidakterbukaan (baca:
dusta) antara sepasang anak manusia yang telah menikah dan memutuskan
hidup bersama di bawah satu atap ibarat bom waktu. Setiap saat bisa
meledak dan meluluhlantakkan bangunan rumah tangga mereka.
Alkisah, seorang profesional muda merasa
dibantu istrinya dalam meraih posisi penting. Ia sebenarnya tak
setuju dengan kebiasaan sang istri yang suka memakai baju model lama.
Keluhannya sepele namun selalu sama, “Istriku tak bisa membawa diri.
Dulu lain, saat itu status sosial kami masih kelas proletar. Uang tak
ada, pakai apa saja oke. Kini lain, uang melimpah. Tapi kenapa masih
pakai baju kolot begitu? Malu-maluin kalau kami datang ke pesta!”
Ironisnya, sang suami tak berani
berterus-terang. Alasannya terkesan moralis, takut menyinggung
perasaan. Akhirnya, ia terpaksa memendam saja di dalam hati. Dalam
istilah Kejawen disebut mendem jero.
Singkat cerita pasca memiliki anak,
suami tadi tak ingin buah hatinya mengikuti jejak si istri. Kemudian,
anaknya disekolahkan ke luar negeri. Anak yang notabene masih
membutuhkan perhatian orang tua dikirim ke negeri asing. Atensi ibu
kos di tanah seberang jelas tak sama dengan kasih sayang orang tua
kandung sendiri.
Alhasil, si anak malah “rusak” dan
mencemarkan pula nama baik keluarga. Lantas, siapa yang mesti
dipersalahkan? Pada hemat penulis, seyogianya, sang suami bersikap
terbuka sejak awal. Sebab, melarikan diri dari persoalan justru
terjerat dalam masalah lain. Ibarat kata pepatah, “Keluar dari mulut
buaya, masuk ke mulut harimau”. Dalam konteks ini, hipnoterapi dapat
memfasilitasi orang jadi berani berkata apa-adanya demi kebaikan
bersama.
Spiritualitas Timur
Lewat buku ini pula, penulis produktif 150 buku lebih sejak 1997 itu mempertemukan hipnoterapi, hipnosis, NLP (Neuro Linguistic Programming/Pattern) dengan
induknya, yakni spiritualitas timur. Carl G. Jung pun mengamini tesis
tersebut. Bapak Psikologi modern itu menulis, ‘Apa yang diketahui
oleh Timur tentang gugusan pikiran (mind) manusia, setidaknya 2000 tahun lebih maju ketimbang ilmu psikologi yang berkembang di Barat (Master Degree Level Lesson Vol. 1 Part 1, 1988:3).
Hipnosis, dalam bahasa Sansekerta disebut Vashikaran alias teknik untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Kembarannya ialah Sammohan. Sinonim dengan mempengaruhi orang lewat komunikasi dan penampilan (halaman 264).
Dahulu kala, seni Vashikaran dan Sammohan dipakai untuk menjinakkan binatang buas. Pawang penjinak ular (snake-charmer)
dapat membuat ular kobra meliuk-liuk dengan iringan musik tertentu.
Saat itu, penggunaan hipnosis pada manusia dianggap melecehkan derajat
makhluk nan berakal budi.
Swami Vivekananda menguraikan alasannya tanpa tedeng aling-aling (gamblang), “Mind
atau gugusan pikiran manusia ibarat kawanan kuda liar, yang semestinya
kau jinakkan sendiri. Tatkala kau meminta bantuan orang lain untuk
menjinakkan mereka, maka kau kehilangan kendali atas mereka. Pun, orang
yang membantumu juga mesti menghabiskan kekuatan mentalnya. Sesi
hipnosis yang diulang-ulang tidak memberdayakan dirimu, malahan
melemahkan jiwa. Mind menjadi tumpul, tidak berguna, dan dapat mengantarmu ke rumah sakit jiwa (halaman 87).”
Uniknya, para nomad – paguyuban yang
hobi jalan-jalan dan tak punya tempat tinggal tetap ini – mulai
menggunakannya pada sesama manusia. Kendati demikian, tujuan awal kaum
gypsy tersebut sekadar untuk hiburan dan bermain-main. Bukan untuk
agenda tertentu, apalagi menipu dan memanipulasi orang.
Adolf Hitler (1889-1945) mempelajari
juga teknik tersebuti. Ia menerapkan metode pengulangan yang acapkali
dipakai oleh industri periklanan. Pikiran manusia memang dapat
dimanipulasi dengan pengulangan intensif (intensive-repetitive). Pada
awalnya, pikiran masih mampu berkata tidak. Namun jika terus-menerus
dibombardir dengan data serupa, akhirnya takluk juga. NLP menyebutnya collapsing.
Dalam biografi Mein Kampt,
diktator Jerman tersebut menulis, “Teknik propaganda apapun tak akan
berhasil bila yang terpenting tidak diperhatikan, yaitu membatasi
kata-kata dan perbanyak pengulangan.” Analisis penulis ihwal topik ini
sempat dimuat di Kompas (15/8/2009). Kekuatan Hitler memang terletak pada kemampuannya memanipulasi pikiran.
Setiap kali hendak pergi berpidato, ia
menyewa beberapa penonton untuk bertepuk tangan pada kalimat-kalimat
tertentu. Tepuk tangan tersebut niscaya diikuti oleh seluruh peserta
lainnya. Dengan bertepuk tangan secara tidak sadar para hadirin sudah
membenarkan apa yang dikatakan Hitler.
Terlepas dari apakah ia suka atau tidak
suka, setuju atau tidak setuju. Hitler merupakan tokoh yang
menyalahgunakan hipnosis massal untuk kepentingan kekuasaan. Sungguh
miris, korbannya jutaan manusia tak berdosa.
Pun dalam lokus personal, fakta ini
menjadi ironi. Manusia tidak pernah bebas 100%. Setiap keputusan
bergantung pada stimuli luaran. Seseorang berkunjung ke counter telepon seluler. Semula ia hanya ingin melihat-lihat, tapi akhirnya tergoda membeli merk HP tertentu.
Padahal sejatinya, membeli HP bukan
kebutuhan mendesak. Sebab telepon seluler yang lama masih bagus dan
berfungsi dengan baik. Namun karena sugesti intensif si pedagang, ia
terpaksa merogok koceknya. Pada saat itu, ia sudah terhipnosis dalam
skala mikro.
Keunggulan buku ini tak hanya berisi
teori. Namun memuat pula teknik untuk membebaskan diri dari hipnosis
massal. Caranya dengan menarik diri dan menjaga jarak. Sehingga semua
keputusan bersumber dari kesadaran sendiri. Merdeka dalam pikiran,
kata dan tindakan (halaman 272-286).
Latihan-latihan tersebut merupakan hasil
riset selama 22 tahun terakhir di Yayasan Anand Ashram (berafiliasi
dengan PBB, 2006). Tak kurang dari 1 juta orang telah merasakan
manfaatnya. Berkat meditasi, mereka jadi lebih intuitif, kreatif dan
produktif.
Karena awalnya buku ini berupa Master Thesis,
sifatnya cenderung ilmiah. Banyak kutipan argumentasi para tokoh
dunia dan pakar ilmu kejiwaan. Di satu sisi, relatif memperkaya
khasanah pengetahuan. Namun di sisi lain, membuat alurnya
meloncat-loncat.
Terlepas dari kelemahan tersebut, buku
setebal 302 halaman ini menyadarkan sidang pembaca. Ternyata,
hipnoterapi perlu menyediakan ruang dialog antara terapis dan klien.
Bukan melulu komunikasi satu arah. Sepakat dengan pendapat Adi W.
Gunawan, “Hipnosis/hipnopterapi membutuhkan kesadaran, integritas, dan
kreativitas yang tinggi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
moral dan spiritualitas.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar