Oktober 23, 2012

Mempertemukan Hipnoterapi dengan Induknya

13509759611905791325

Dimuat di Majalah Tiro, Edisi 70/1 September 2012

Judul: Neo Spiritual Hypnotherapy, Seni Pemusatan Diri untuk Bebas dari Pengaruh Hipnosis Massal
Penulis: Anand Krishna Ph.D
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I/Mei 2012
Tebal: viii+302 halaman
ISBN: 978-979-22-8314-3
Harga: Rp55.000

Warren Buffet tercatat sebagai pengusaha terkaya sedunia versi majalah Forbes (2010). Total kekayaan Chairman dan CEO Berkshire Hathaway ini mencapai US$ 62 miliar lebih. Pria kelahiran Omaha, Amerika Serikat pada 30 Agustus 1930 silam ini memang seorang pekerja keras. Sejak usia belia (11 tahun) tak malu berjualan permen karet, minuman bersoda dan majalah di sekolah.

Selain itu, ia juga membantu kakeknya menjaga toko kelontong di rumah. Buffet lulus kuliah S1 pada usia 19 tahun. Pun gelar S2 disabetnya tatkala masih berusia 21 tahun. Dalam usia semuda itu, ia sudah menjadi seorang wajib pajak. Artinya, ia sudah mandiri dan memiliki usaha yang memberi penghasilan tetap (halaman 94).

Begitulah satu paparan Anand Krishna dalam buku ini. Menurutnya, Warren Buffet merupakan sintesis kekayaan dan kedermawanan. Senada dengan tesis Dr. Paul Leon Masters. Dekan University of Metaphysics, USA itu pun berpendapat, “The Real-You is what builds success and fulfillment…The Real-You is the lasting you-or, spiritually, the Eternal You-or, mystically, the God-You.’ (Minister/Bachelors Degree Course Lesson 39, 2007:42). Terjemahan bebasnya ialah bahwa (Penemuan) Diri yang sejati itulah Keberhasilan Sejati, dan itulah Kepuasan Sejati…Dirimu yang sejati adalah Dirimu yang Langgeng, Abadi—itulah Hakikat.

“Neo Spiritual Hypnotherapy, Seni Pemusatan Diri untuk Bebas dari Pengaruh Hipnosis Massal” merupakan perluasan Master Thesis Anand Krishna Ph.D. Tokoh humanis lintas agama ini sempat terjerat kasus hukum. Dugaannya akibat praktik hipnosis dan hipnoterapi di padepokan Anand Ashram. Matroji Dian Swara meliputnya dalam Majalah Tiro. Bidikan Utama edisi Oktober 2011 mengulas, “Skandal Busuk untuk Menghancurkan Tokoh Pluralisme Anand Krishna”.

Oleh sebab itu, sembari menjalani proses persidangan panjang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, ia menyempatkan diri mengikuti kuliah jarak jauh di jurusan metafisika.

Pertanyaannya, kenapa mengambil metafisika? Menurut pria keturunan India kelahiran Surakarta ini, karena psikologi masih enggan menerima hipnoterapi dan hipnosis. Kedua ilmu terapan tersebut belum diterima secara resmi dalam genre ilmu kejiwaan. Untungya, sudah sejak dulu metafisika merangkul mereka sebagai “perkakas” ampuh. Yakni untuk menyelami kondisi psikis manusia. Sehingga dapat mengobati pelbagai penyakit neurotis.

Contoh konkritnya terkait kasus kurang keterbukaan antara suami-istri (halaman 218). Ketidakterbukaan (baca: dusta) antara sepasang anak manusia yang telah menikah dan memutuskan hidup bersama di bawah satu atap ibarat bom waktu. Setiap saat bisa meledak dan meluluhlantakkan bangunan rumah tangga mereka.

Alkisah, seorang profesional muda merasa dibantu istrinya dalam meraih posisi penting. Ia sebenarnya tak setuju dengan kebiasaan sang istri yang suka memakai baju model lama. Keluhannya sepele namun selalu sama, “Istriku tak bisa membawa diri. Dulu lain, saat itu status sosial kami masih kelas proletar. Uang tak ada, pakai apa saja oke. Kini lain, uang melimpah. Tapi kenapa masih pakai baju kolot begitu? Malu-maluin kalau kami datang ke pesta!”

Ironisnya, sang suami tak berani berterus-terang. Alasannya terkesan moralis, takut menyinggung perasaan. Akhirnya, ia terpaksa memendam saja di dalam hati. Dalam istilah Kejawen disebut mendem jero.

Singkat cerita pasca memiliki anak, suami tadi tak ingin buah hatinya mengikuti jejak si istri. Kemudian, anaknya disekolahkan ke luar negeri. Anak yang notabene masih membutuhkan perhatian orang tua dikirim ke negeri asing. Atensi ibu kos di tanah seberang jelas tak sama dengan kasih sayang orang tua kandung sendiri.

Alhasil, si anak malah “rusak” dan mencemarkan pula nama baik keluarga. Lantas, siapa yang mesti dipersalahkan? Pada hemat penulis, seyogianya, sang suami bersikap terbuka sejak awal. Sebab,  melarikan diri dari persoalan justru terjerat dalam masalah lain. Ibarat kata pepatah, “Keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau”. Dalam konteks ini, hipnoterapi dapat memfasilitasi orang jadi berani berkata apa-adanya demi kebaikan bersama.

Spiritualitas Timur

Lewat buku ini pula, penulis produktif 150 buku lebih sejak 1997 itu mempertemukan hipnoterapi, hipnosis, NLP (Neuro Linguistic Programming/Pattern) dengan induknya, yakni spiritualitas timur. Carl G. Jung pun mengamini tesis tersebut. Bapak Psikologi modern itu menulis, ‘Apa yang diketahui oleh Timur tentang gugusan pikiran (mind) manusia, setidaknya 2000 tahun lebih maju ketimbang ilmu psikologi yang berkembang di Barat (Master Degree Level Lesson Vol. 1 Part 1, 1988:3).

Hipnosis, dalam bahasa Sansekerta disebut Vashikaran alias teknik untuk mempengaruhi pikiran seseorang. Kembarannya ialah Sammohan. Sinonim dengan mempengaruhi orang lewat komunikasi dan penampilan (halaman 264).

Dahulu kala, seni Vashikaran dan Sammohan dipakai untuk menjinakkan binatang buas. Pawang penjinak ular (snake-charmer) dapat membuat ular kobra meliuk-liuk dengan iringan musik tertentu. Saat itu, penggunaan hipnosis pada manusia dianggap melecehkan derajat makhluk nan berakal budi.

Swami Vivekananda menguraikan alasannya tanpa tedeng aling-aling (gamblang), “Mind atau gugusan pikiran manusia ibarat kawanan kuda liar, yang semestinya kau jinakkan sendiri. Tatkala kau meminta bantuan orang lain untuk menjinakkan mereka, maka kau kehilangan kendali atas mereka. Pun, orang yang membantumu juga mesti menghabiskan kekuatan mentalnya. Sesi hipnosis yang diulang-ulang tidak memberdayakan dirimu, malahan melemahkan jiwa. Mind menjadi tumpul, tidak berguna, dan dapat mengantarmu ke rumah sakit jiwa (halaman 87).”

Uniknya, para nomad – paguyuban yang hobi jalan-jalan dan tak punya tempat tinggal tetap ini – mulai menggunakannya pada sesama manusia. Kendati demikian, tujuan awal kaum gypsy tersebut sekadar untuk hiburan dan bermain-main. Bukan untuk agenda tertentu, apalagi menipu dan memanipulasi orang.

Adolf Hitler (1889-1945) mempelajari juga teknik tersebuti. Ia menerapkan metode pengulangan yang acapkali dipakai oleh industri periklanan. Pikiran manusia memang dapat dimanipulasi dengan pengulangan intensif (intensive-repetitive). Pada awalnya, pikiran masih mampu berkata tidak. Namun jika terus-menerus dibombardir dengan data serupa, akhirnya takluk juga. NLP menyebutnya collapsing.

Dalam biografi Mein Kampt, diktator Jerman tersebut menulis, “Teknik propaganda apapun tak akan berhasil bila yang terpenting tidak diperhatikan, yaitu membatasi kata-kata dan perbanyak pengulangan.” Analisis penulis ihwal topik ini sempat dimuat di Kompas (15/8/2009). Kekuatan Hitler memang terletak pada kemampuannya memanipulasi pikiran.

Setiap kali hendak pergi berpidato, ia menyewa beberapa penonton untuk bertepuk tangan pada kalimat-kalimat tertentu. Tepuk tangan tersebut niscaya diikuti oleh seluruh peserta lainnya. Dengan bertepuk tangan secara tidak sadar para hadirin sudah membenarkan apa yang dikatakan Hitler.

Terlepas dari apakah ia suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Hitler merupakan tokoh yang menyalahgunakan hipnosis massal untuk kepentingan kekuasaan. Sungguh miris, korbannya jutaan manusia tak berdosa.

Pun dalam lokus personal, fakta ini menjadi ironi. Manusia tidak pernah bebas 100%. Setiap keputusan bergantung pada stimuli luaran. Seseorang berkunjung ke counter telepon seluler. Semula ia hanya ingin melihat-lihat, tapi akhirnya tergoda membeli merk HP tertentu.

Padahal sejatinya, membeli HP bukan kebutuhan mendesak. Sebab telepon seluler yang lama masih bagus dan berfungsi dengan baik. Namun karena sugesti intensif si pedagang, ia terpaksa merogok koceknya. Pada saat itu, ia sudah terhipnosis dalam skala mikro.

Keunggulan buku ini tak hanya berisi teori. Namun memuat pula teknik untuk membebaskan diri dari hipnosis massal. Caranya dengan menarik diri dan menjaga jarak. Sehingga semua keputusan bersumber dari kesadaran sendiri. Merdeka dalam pikiran, kata dan tindakan (halaman 272-286).

Latihan-latihan tersebut merupakan hasil riset selama 22 tahun terakhir di Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006). Tak kurang dari 1 juta orang telah merasakan manfaatnya. Berkat meditasi, mereka jadi lebih intuitif, kreatif dan produktif.

Karena awalnya buku ini berupa Master Thesis, sifatnya cenderung ilmiah. Banyak kutipan argumentasi para tokoh dunia dan pakar ilmu kejiwaan. Di satu sisi, relatif memperkaya khasanah pengetahuan. Namun di sisi lain, membuat alurnya meloncat-loncat.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal 302 halaman ini menyadarkan sidang pembaca. Ternyata, hipnoterapi perlu menyediakan ruang dialog antara terapis dan klien. Bukan melulu komunikasi satu arah. Sepakat dengan pendapat Adi W. Gunawan, “Hipnosis/hipnopterapi membutuhkan kesadaran, integritas, dan kreativitas yang tinggi dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritualitas.” Selamat membaca!

Tidak ada komentar: