November 05, 2012

Pendidikan Sosial nan Humanis


Dimuat di Bebas Bicara, Bernas Jogja, Senin-Selasa/5-6 November 2012

Pada akhir pekan silam Tasha (11) berkunjung ke Panti Asuhan Santa Maria Ganjuran, Bantul. Berbeda dengan teman-teman lain yang menghabiskan waktu liburan dengan berjalan-jalan di Mall, siswi yang baru memasuki jenjang SMP di Joannes don Bosco Baciro, Yogyakarta tersebut meluangkan liburan bersama teman-teman sebaya yang tak lagi memiliki orang tua.

Menurut Ika Suwoto Yuniarka, ibundanya, lewat acara bhakti sosial tersebut anaknya memiliki kesempatan berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Sehingga dapat belajar bersyukur atas karunia Tuhan selama ini. “Kalau sekadar diberitahu kurang efektif, jadi saya ajak langsung saja ke panti asuhan,” ujarnya.

Dalam konteks di atas, pendapat Hans Kahija menjadi relevan. Dosen Psikologi Transpersonal Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang tersebut melihat pola pikir lama yang egosentris tak lagi sesuai. Kecenderungan ini justru menjauhkan manusia dari kebahagiaan sejati (Karma Yoga Bagi Orang Modern, Anand Krishna: 2011).

Menurut Abraham Maslow pun dengan berbagi kita mengalami “Peak Experience” alias pengalaman puncak. Manfaatnya antara lain daya tahan tubuh meningkat, kesehatan mental/emosional dan rohani menjadi lebih berkembang.

Bhakti sosial semacam itu dalam tradisi India disebut Seva. Sai Baba yang memperkenalkan dan mempraktekkan bersama para muridnya. Menurut aktivis spiritual lintas agama tersebut, kita bisa merubah holiday (hari libur) menjadi holy day (hari suci). Kebahagiaan yang diperoleh ibarat manisnya gula. Tak terjelaskan namun sungguh terasa. Di daerah pedesaan masih ada tradisi Kenduren. Semangatnya sama, yakni untuk berbagi berkah dengan tetangga dan lingkungan sekitar.

Dalam konteks ini, senada dengan tesis Stephen R Covey, kegiatan semacam itu masuk ke kebiasaan ke-7. Yakni Sharpen the Saw alias mengasah gergaji.  Misalnya dengan, “….spending time in nature, expanding spiritual self through meditation, music, art, prayer, or social service (sumber: https://www.stephencovey.com/7habits/7habits-habit7.php).” Berada di tengah alam, latihan meditasi, bermain musik, aktivitas seni, berdoa atau pelayanan sosial dapat menghubungkan kita dengan Tuhan yang bersemayam dalam diri.

Menurut kesaksian ibunda Tasha, semenjak pulang dari panti asuhan, anaknya jadi lebih rajin, suka menolong, dan menabung. Ia ingin berkunjung lagi ke Panti Asuhan untuk berbagi keceriaan. Semoga acara positif semacam ini kian meluas. Tak hanya pada saat liburan panjang, tetapi juga ketika akhir pekan. Sehingga semakin banyak anak didik yang sadar bahwa dengan memberi pun menerima.

Humanis

Kotor merupakan bagian dari proses belajar. Dalam bahasa Inggris istilah kerennya, “It’s ok to be dirty.” Prinsip ini menjadi salah satu code of conduct (pedoman kerja) di PKBM (Sekolah Alam) Angon, Yogyakarta. Misal saat acara liburan Kite Making (Membuat Layangan). Awalnya Chrisna (5), Ellen (5), dan Fikri (6) enggan menggoreskan cat air di atas lembaran kertas A3. Karena takut jari-jemari dan pakaian mereka terkena cat.

Untungnya, pasca diberi penjelasan bahwa cat air tidak permanen. Pun bisa hilang hanya dengan dibilas guruyan air bersih, mereka langsung penuh semangat melukis aneka warna di atas layangan masing-masing.

Dalam konteks ini, tesis Paul MacLean menjadi relevan. Ia menjelaskan pengaruh cara kerja otak dalam proses pembelajaran. Peneliti Triune Ethics Theory (TET) tersebut mengklasifikasikan kinerja otak manusia menjadi tiga kategori.

Pertama, otak besar (neokorteks); kedua, otak tengah (sistem limbik); dan ketiga, otak kecil (reptile brain). Otak besar berfungsi untuk kegiatan berbicara, membaca, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta. Otak tengah terkait dengan fungsi sosial, emosional, dan ingatan jangka panjang (long term memory). Sedangkan, otak kecil berfungsi untuk reaksi spontan dan mempertahankan diri (Principles of Brain Evolution, Georg F. Striedter: 2005).

Kembali ke pengalaman proses belajar. Rasa takut kotor karena terkena cat air merupakan stimuli dari reptile brain. Di sini, peran guru sangat signifikan. Yakni untuk memberi penjelasan (clarification) dan sharing pengalaman. Sehingga dapat memicu optimalisasi otak besar dan otak tengah anak didik.

Interaksi di atas membuka ruang bagi eksplorasi potensi diri siswa yang esensial. Terbukti pada akhirnya, trio cilik pembuat layangan - Chrisna, Ellen dan Fikri - melukis dengan bagus sekali. Mereka piawai memadukan aneka bentuk dan komposisi warna secara otentik.

Secara lebih makro, sistem pendidikan nasional pun perlu mentransformasikan diri. Caranya dengan mengoptimalkan ketiga fungsi otak di atas. Metode menghapal dan model pilihan ganda hanya mengaktifkan fungsi otak reptil. Sehingga perlu ada pendekatan secara lebih holistik. Aspek sosio-emosional dan kreasi juga perlu dikembangkan. Inilah model pendidikan yang lebih humanis. (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM (Sekolah Alam) Angon http://www.angon.org/, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: