November 05, 2012

Mengabdi Negeri lewat Jalur Edukasi


Dimuat di Malang Post, Minggu/4 November 2012

13521162811549884922

Judul: Indonesia Mengajar 2
Subjudul: Kisah para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air
Penulis: 72 Pengajar Muda Angkatan 2
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: xviii + 435 halaman
ISBN: 978-602-8811-82-8
Harga: Rp59.000

“Setiap pagi kau ayunkan langkahmu / Tiada rasa keluh meski kau banjir peluh / Semangatmu kalahkan rintangan di hadapmu / Cita-cita tinggimu membebaskan jiwamu…”(Marintha Eky Wulandari, halaman 89). Sumber inspirasi petikan lagu tersebut ialah sosok Ijah. Siswi kelas 6 SD Inpres Arguni di Kokas, Fakfak, Papua Barat. Ia bedeterminasi tinggi walau kondisi fisik tak sesempurna rekan-rekan sebayanya. Hadijah, begitu nama lengkapnya, terlahir dengan kedua tungkai kaki memelintir ke belakang. Sehingga ia musti berjalan menggunakan punggung telapak kaki.

Tentu rasanya tak nyaman tatkala melangkah. Apalagi jalanan di Kokas jarang ada yang datar. Sebagian besar konturnya naik-turun dan berbatuan terjal. Alhasil, ia lebih sering berjalan sendirian. Kenapa? Karena teman-teman lain kurang sabar menunggu jalannya yang relatif pelan. Namun dua acungan jempol untuk semangat Ijah. Ia tetap rajin setiap pagi datang ke sekolah. Bahkan, sore harinya pun Ijah mengikuti les tambahan di rumah pengajar muda yang dulu aktif di Komunitas AKSARA Malang-Alief Foundation. Setiap kali sampai di rumah Ibu Guru, baju Ijah basah kuyup bersimbah peluh. Kendati demikian, ia tetap antusias mengikuti pelajaran dari awal sampai kata penutup.

Pada suatu Senin, pengajar muda yang semula bekerja sebagai Trainer Outbond Grak System Management Consultant tersebut meminta Ijah jadi petugas pembaca doa dalam upacara bendera di sekolah. Di tengah-tengah prosesi pembacaan doa, suara Ijah tiba-tiba bergetar dan air matanya menetes basahi pipi. Ternyata, ia terlalu terharu karena sebelumnya yang ditunjuk menjadi petugas upacara selalu murid yang fisiknya prima. Kenapa? Karena mereka bisa melakukan PBB (Praktik Baris-Berbaris) dengan baik. Ijah sungguh beterimakasih banyak karena telah diberi kesempatan.

Titik Balik

Peristiwa tersebut menjadi titik balik (turning point) bagi Ijah. Ia tampak lebih ceria, percaya diri (PD) dan aktif di kelas. Ijah sering bertanya dan menjawab soal-soal yang diberikan. Untuk lebih mendukung Ijah, pemilik usaha Roselly Healthy Food Co itu memutarkan video tentang orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi masih dapat berbuat banyak.

Dari surat pena yang ditulis Ijah, Ibu Guru Eky jadi tahu bahwa telah terjadi perubahan cara pandang dalam diri anak didiknya. Berikut ini isi surat yang ditulis kepada seorang sahabat pena Ijah di Jawa, “….perkenalkan nama saya Ijah, aku tinggal di kampung baru Kokas, di Papua Barat… Ibu Guru saya juga dari Jawa, namanya Ibu Eky. Aku dulu hampir putus asa, tapi Ibu Eky terus memberi semangat. Jadi sekarang saya bersemangat lagi. Nanti kalau saya sudah besar saya ingin jagi pegawai…” (halaman 88).

Dari pengalaman tersebut, aktivis Ashoka Innovators for The Public-Indonesia Representative ini belajar bahwa setiap anak harus diberi kesempatan. Terlepas dari keterbatasan yang ada. Kenapa? Karena dengan memberikan mereka ruang berekspresi, mereka niscaya merasa diri sama berharganya dengan anak-anak lain. Selain itu, menjadi guru ibarat seorang Ibu. Dalam arti mampu mengenali potensi anak-anaknya. Sehingga dapat mendidik dengan hati dan mendorong mereka terus maju, “Kamu pasti bisa / Aku yakin kau bisa / Jadi apa yang kau cita / Ku’kan selalu mendukungmu / Sahabat kecilku…” Begitulah petikan refrain penutup lagu untuk Ijah-Ijah lainnya.

Masih banyak kisah-kisah menggetarkan lainnya yang termaktub dalam buku Indonesia Mengajar 2 ini. Total ada 72 penulis. Mereka para pengajar muda yang terjun setahun penuh di sekolah-sekolah daerah terpencil dari Aceh sampai Papua. Generasi muda terbaik bangsa itu rela meninggalkan kenyamanan kota dan kehangatan keluarga demi menunaikan janji kemerdekaaan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, tanggung jawab setiap orang terdidik untuk berbagi ilmu dengan sesama anak bangsa.

Banyak orang bertanya pada Anies Baswedan, Pendiri sekaligus Ketua Gerakan Indonesia Mengajar, “Bagaimana mungkin ribuan anak muda mau bersusah-susah untuk mengabdi di tempat sulit dengan tugas berat?” Memang bagi sebagian kalangan, fenomena ini terkesan aneh. Namun baginya, itu bukan hal baru. “Anak muda Indonesia memang sejatinya seperti ini! Lihatlah sejarah. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang pada dasarnya punya kesempatan untuk menikmati hidup bagi dirinya sendiri, tetapi mereka memilih mengabdi dan berbuat untuk bangsanya (hal xv).”

Misalnya Soekarno, ia lulus sebagai insinyur saat 95% bangsa kita masih buta huruf. Mohammad Hatta ialah doktorandus dari Rotterdam. Hebatnya, mereka berdua  memilih bersusah-susah menjadi pejuang. Padahal keduanya bisa hidup enak, jadi pegawai pemerintahan Belanda atau korporasi lain di dunia pada masa itu. Sejarah juga mencatat bahwa negeri ini memiliki jutaan pahlawan tak dikenal (anonim). Berkunjunglah ke taman makam pahlawan terdekat. Begitu banyak pusara tanpa nama. Kanvas lukisan bangsa ini diwarnai tetesan darah dan air mata para leluhur tercinta.

Menurut Rektor Universitas Paramadina tersebut, anak muda dan seluruh bangsa Indonesia memiliki DNA sederhana: berjuang. Dalam konteks ini, ada 2 pilihan, mau turun tangan atau lipat tangan. Buku ini mendokumentasikan pilihan putra-putri Ibu Pertiwi yang memilih mengabdi turun tangan (blusukan) terjun langsung di akar rumput (grassroot).

Indonesia Mengajar 2 terdiri atas 4 bab: “Cinta dan Pengabdian,” “Cerita Anak-anak Kami,” “Memupuk Optimisme,” dan “Buah Manis dari Usaha.”

Doa

Jaka Arya Sakti, sebelum menjadi pengajar muda bekerja sebagai marketing manager di sebuah perusahaan besar. Alumnus Jurusan Teknik Elektro ITB (2004) ini ditempatkan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tepatnya di SDN 12 Semalah, Selimbau. Lewat buku ini, ia berkisah tentang seorang muridnya, Rojol yang rajin shalat. Nama asli Jol ialah Hari Yuwono. “Begitu mendengar suara azan berkumandang, Rojol selalu bersiap mengenakan baju koko dan kopiahnya untuk berangkat ke masjid. Tak jarang ia masuk ke rumah saya tinggal, berdiri di depan pintu, dan menunggu saya sedang bersiap-siap.” (halaman 140).

Di surau Istiqomah, desa Semalah generator listrik hanya menyala dari jam 17.30-23.00 WITA. Sehingga  saat shalat Magrib dan Isya-lah yang mendapat jatah aliran listrik. Surau masih bisa menyala terang dan azan berkumandang nyaring. Tapi selebihnya, ketika Subuh desa sunyi senyap dan gelap gulita. Kendati demikian, Rojol tetap menyibakkan selimut dan mengambil air wudu yang dingin pada dini hari. Rojol selalu khusyuk dalam shalat Subuh-nya. Ketika anak-anak lain masih terlelap, pandangan Jol lurus ke tempat sujudnya. Mulutnya sibuk membaca ayat suci. Serius, penuh kesungguhan.

Rojol mengatakan bahwa ia hendak menjadi “Ustads Turun dari Jamban.” Kenapa begitu? Tanyakan saja kepada imajinasi kreatif Jol. Yang jelas, Rojol mengajarkan satu hal, “Selalu ada hak Sang Pencipta dalam waktu manusia. Sesibuk apa pun, sebanyak apa pun pekerjaan, luangkan waktu untuk mengingat-Nya.” (halaman 144).

Karena awalnya berupa jurnal di blog Indonesia Mengajar, materi dalam buku ini jauh dari kesan formal. Ada yang ditulis dengan ponsel di bawah temaram cahaya pelita. Bahasanya mengalir lancar dan dibumbui dialek-dialek lokal setempat. Namun ada baiknya bila dilengkapi dengan penjelasan ihwal istilah-istilah itu.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal  435 halaman ini layak dibaca siapa saja yang hendak berbakti bagi negeri lewat jalur edukasi. Kisah-kisah didalamnya niscaya mengingatkan pembaca bahwa sekarang bukan saat untuk mengeluh. Sebab, begitu banyak daftar anugerah yang patut disyukuri. Para pengajar muda telah memberi teladan nyata dari seantero pelosok Nusantara. Senada dengan petuah bijak, “Ketimbang mengutuki kegelapan lebih baik menyalakan lilin.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S. Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/ Yogyakarta)

Tidak ada komentar: