Dimuat di Malang Post, Minggu/4 November 2012
Judul: Indonesia Mengajar 2
Subjudul: Kisah para Penyala Harapan Bangsa Mengajar di Pelosok Tanah Air
Penulis: 72 Pengajar Muda Angkatan 2
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: 1/ Juni 2012
Tebal: xviii + 435 halaman
ISBN: 978-602-8811-82-8
Harga: Rp59.000
“Setiap pagi kau ayunkan langkahmu /
Tiada rasa keluh meski kau banjir peluh / Semangatmu kalahkan
rintangan di hadapmu / Cita-cita tinggimu membebaskan
jiwamu…”(Marintha Eky Wulandari, halaman 89). Sumber inspirasi petikan
lagu tersebut ialah sosok Ijah. Siswi kelas 6 SD Inpres Arguni di
Kokas, Fakfak, Papua Barat. Ia bedeterminasi tinggi walau kondisi
fisik tak sesempurna rekan-rekan sebayanya. Hadijah, begitu nama
lengkapnya, terlahir dengan kedua tungkai kaki memelintir ke belakang.
Sehingga ia musti berjalan menggunakan punggung telapak kaki.
Tentu rasanya tak nyaman tatkala
melangkah. Apalagi jalanan di Kokas jarang ada yang datar. Sebagian
besar konturnya naik-turun dan berbatuan terjal. Alhasil, ia lebih
sering berjalan sendirian. Kenapa? Karena teman-teman lain kurang
sabar menunggu jalannya yang relatif pelan. Namun dua acungan jempol
untuk semangat Ijah. Ia tetap rajin setiap pagi datang ke sekolah.
Bahkan, sore harinya pun Ijah mengikuti les tambahan di rumah pengajar
muda yang dulu aktif di Komunitas AKSARA Malang-Alief Foundation.
Setiap kali sampai di rumah Ibu Guru, baju Ijah basah kuyup bersimbah
peluh. Kendati demikian, ia tetap antusias mengikuti pelajaran dari
awal sampai kata penutup.
Pada suatu Senin, pengajar muda yang semula bekerja sebagai Trainer Outbond Grak System Management Consultant tersebut
meminta Ijah jadi petugas pembaca doa dalam upacara bendera di
sekolah. Di tengah-tengah prosesi pembacaan doa, suara Ijah tiba-tiba
bergetar dan air matanya menetes basahi pipi. Ternyata, ia terlalu
terharu karena sebelumnya yang ditunjuk menjadi petugas upacara selalu
murid yang fisiknya prima. Kenapa? Karena mereka bisa melakukan PBB
(Praktik Baris-Berbaris) dengan baik. Ijah sungguh beterimakasih banyak
karena telah diberi kesempatan.
Titik Balik
Peristiwa tersebut menjadi titik balik (turning point) bagi
Ijah. Ia tampak lebih ceria, percaya diri (PD) dan aktif di kelas.
Ijah sering bertanya dan menjawab soal-soal yang diberikan. Untuk
lebih mendukung Ijah, pemilik usaha Roselly Healthy Food Co itu memutarkan video tentang orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, tetapi masih dapat berbuat banyak.
Dari surat pena yang ditulis Ijah, Ibu
Guru Eky jadi tahu bahwa telah terjadi perubahan cara pandang dalam
diri anak didiknya. Berikut ini isi surat yang ditulis kepada seorang
sahabat pena Ijah di Jawa, “….perkenalkan nama saya Ijah, aku tinggal
di kampung baru Kokas, di Papua Barat… Ibu Guru saya juga dari Jawa,
namanya Ibu Eky. Aku dulu hampir putus asa, tapi Ibu Eky terus memberi
semangat. Jadi sekarang saya bersemangat lagi. Nanti kalau saya sudah
besar saya ingin jagi pegawai…” (halaman 88).
Dari pengalaman tersebut, aktivis Ashoka Innovators for The Public-Indonesia Representative ini
belajar bahwa setiap anak harus diberi kesempatan. Terlepas dari
keterbatasan yang ada. Kenapa? Karena dengan memberikan mereka ruang
berekspresi, mereka niscaya merasa diri sama berharganya dengan
anak-anak lain. Selain itu, menjadi guru ibarat seorang Ibu. Dalam arti
mampu mengenali potensi anak-anaknya. Sehingga dapat mendidik dengan
hati dan mendorong mereka terus maju, “Kamu pasti bisa / Aku yakin kau
bisa / Jadi apa yang kau cita / Ku’kan selalu mendukungmu / Sahabat
kecilku…” Begitulah petikan refrain penutup lagu untuk Ijah-Ijah lainnya.
Masih banyak kisah-kisah menggetarkan lainnya yang termaktub dalam buku Indonesia Mengajar 2 ini.
Total ada 72 penulis. Mereka para pengajar muda yang terjun setahun
penuh di sekolah-sekolah daerah terpencil dari Aceh sampai Papua.
Generasi muda terbaik bangsa itu rela meninggalkan kenyamanan kota dan
kehangatan keluarga demi menunaikan janji kemerdekaaan, yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, tanggung jawab setiap orang
terdidik untuk berbagi ilmu dengan sesama anak bangsa.
Banyak orang bertanya pada Anies
Baswedan, Pendiri sekaligus Ketua Gerakan Indonesia Mengajar,
“Bagaimana mungkin ribuan anak muda mau bersusah-susah untuk mengabdi
di tempat sulit dengan tugas berat?” Memang bagi sebagian kalangan,
fenomena ini terkesan aneh. Namun baginya, itu bukan hal baru. “Anak
muda Indonesia memang sejatinya seperti ini! Lihatlah sejarah.
Republik ini didirikan oleh orang-orang yang pada dasarnya punya
kesempatan untuk menikmati hidup bagi dirinya sendiri, tetapi mereka
memilih mengabdi dan berbuat untuk bangsanya (hal xv).”
Misalnya Soekarno, ia lulus sebagai
insinyur saat 95% bangsa kita masih buta huruf. Mohammad Hatta ialah
doktorandus dari Rotterdam. Hebatnya, mereka berdua memilih
bersusah-susah menjadi pejuang. Padahal keduanya bisa hidup enak, jadi
pegawai pemerintahan Belanda atau korporasi lain di dunia pada masa
itu. Sejarah juga mencatat bahwa negeri ini memiliki jutaan pahlawan
tak dikenal (anonim). Berkunjunglah ke taman makam pahlawan terdekat.
Begitu banyak pusara tanpa nama. Kanvas lukisan bangsa ini diwarnai
tetesan darah dan air mata para leluhur tercinta.
Menurut Rektor Universitas Paramadina
tersebut, anak muda dan seluruh bangsa Indonesia memiliki DNA
sederhana: berjuang. Dalam konteks ini, ada 2 pilihan, mau turun
tangan atau lipat tangan. Buku ini mendokumentasikan pilihan
putra-putri Ibu Pertiwi yang memilih mengabdi turun tangan (blusukan) terjun langsung di akar rumput (grassroot).
Indonesia Mengajar 2 terdiri atas 4 bab:
“Cinta dan Pengabdian,” “Cerita Anak-anak Kami,” “Memupuk Optimisme,”
dan “Buah Manis dari Usaha.”
Doa
Jaka Arya Sakti, sebelum menjadi
pengajar muda bekerja sebagai marketing manager di sebuah perusahaan
besar. Alumnus Jurusan Teknik Elektro ITB (2004) ini ditempatkan di
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Tepatnya di SDN 12 Semalah,
Selimbau. Lewat buku ini, ia berkisah tentang seorang muridnya, Rojol
yang rajin shalat. Nama asli Jol ialah Hari Yuwono. “Begitu mendengar
suara azan berkumandang, Rojol selalu bersiap mengenakan baju koko dan
kopiahnya untuk berangkat ke masjid. Tak jarang ia masuk ke rumah
saya tinggal, berdiri di depan pintu, dan menunggu saya sedang
bersiap-siap.” (halaman 140).
Di surau Istiqomah, desa Semalah
generator listrik hanya menyala dari jam 17.30-23.00 WITA. Sehingga
saat shalat Magrib dan Isya-lah yang mendapat jatah aliran listrik.
Surau masih bisa menyala terang dan azan berkumandang nyaring. Tapi
selebihnya, ketika Subuh desa sunyi senyap dan gelap gulita. Kendati
demikian, Rojol tetap menyibakkan selimut dan mengambil air wudu yang
dingin pada dini hari. Rojol selalu khusyuk dalam shalat Subuh-nya.
Ketika anak-anak lain masih terlelap, pandangan Jol lurus ke tempat
sujudnya. Mulutnya sibuk membaca ayat suci. Serius, penuh kesungguhan.
Rojol mengatakan bahwa ia hendak menjadi
“Ustads Turun dari Jamban.” Kenapa begitu? Tanyakan saja kepada
imajinasi kreatif Jol. Yang jelas, Rojol mengajarkan satu hal, “Selalu
ada hak Sang Pencipta dalam waktu manusia. Sesibuk apa pun, sebanyak
apa pun pekerjaan, luangkan waktu untuk mengingat-Nya.” (halaman 144).
Karena awalnya berupa jurnal di blog Indonesia Mengajar,
materi dalam buku ini jauh dari kesan formal. Ada yang ditulis dengan
ponsel di bawah temaram cahaya pelita. Bahasanya mengalir lancar dan
dibumbui dialek-dialek lokal setempat. Namun ada baiknya bila dilengkapi
dengan penjelasan ihwal istilah-istilah itu.
Terlepas dari kelemahan tersebut, buku
setebal 435 halaman ini layak dibaca siapa saja yang hendak berbakti
bagi negeri lewat jalur edukasi. Kisah-kisah didalamnya niscaya
mengingatkan pembaca bahwa sekarang bukan saat untuk mengeluh. Sebab,
begitu banyak daftar anugerah yang patut disyukuri. Para pengajar muda
telah memberi teladan nyata dari seantero pelosok Nusantara. Senada
dengan petuah bijak, “Ketimbang mengutuki kegelapan lebih baik
menyalakan lilin.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa S. Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) http://www.angon.org/ Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar