November 06, 2012

Atasi Trauma Anak Korban Konflik SARA


Dimuat di The Globe Journal, Selasa/6 November 2012

Pertikaian antarwarga di Kecamatan Way Panji, Lampung Selatan menyisakan trauma mendalam. Terutama dalam diri anak-anak. Mereka tak seceria dulu lagi. Anak-anak enggan berada jauh dari orangtuanya. Mereka ingin selalu ditemani. Ekspresi ketakutan tergurat di wajah mereka tatkala mendengar suara barang jatuh.

Begitulah penuturan Komang Ar (29), salah satu warga Balinuraga, di Lampung Selatan pada Sabtu (3/11/2012). Kerusuhan yang terjadi beberapa waktu silam memang membuat cemas kaum perempuan dan anak-anak.

Padahal menurut Komang, ia tidak  tahu penyebab bentrok berdarah yang menelan puluhan korban tewas dan ratusan rumah hancur terbakar tersebut. "Yang kami tahu, pada Minggu malam (5/11/2012) tiba-tiba terdengar bunyi kentongan bertalu-talu. Lantas, kami diperintahkan segera meninggalkan desa," ujarnya.

Belakangan rentetan kekerasan terus bertubi-tubi mendera bumi Nusantara. Antara lain terjadi pada masyarakat Muslim di Ambon, kelompok Ahmadiyah di Mataram, umat Kristen di Poso, warga Syiah di Sampang, penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah dan terakhir penganut Hindu-Bali di Lampung Selatan.

Menurut Wayan Sayoga, seyogianya tragedi kemanusiaan tersebut dapat dicegah. Caranya dengan memandang perbedaan sebagai rahmat-Nya. Walau berbeda suku, agama, ras, antar golongan (SARA) toh kita semua anak bangsa yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi. “Dan…kita semua adalah orang Indonesia,” tegas koordinator National Integration Movement (NIM) tersebut.

Selain itu, anak-anak di daerah konflik rentan gangguan psikis. Memori-memori traumatis mengendap di alam bawah sadar mereka. Bahkan, bila tak segera diterapi bisa terbawa hingga generasi penerus bangsa itu beranjak dewasa.

Dalam konteks ini, saran Seto Mulyadi menjadi relevan. Ada 3 teknik permainan untuk mengatasi trauma anak. Yakni, bermain pasif, bermain aktif motorik halus, dan bermain aktif motorik kasar.

Bermain pasif misalnya seperti melihat sulap dan mendengarkan dongeng. Bermain aktif motorik halus antara lain menulis, menggambar, menari, berpuisi, menyanyi, berteater, dll. "Bermain motorik kasar dengan berteriak ekspresif. Tujuannya agar dapat mengeluarkan perasaan sedih di alam bawah sadar mereka," ujar Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Republik Indonesia (RI) tersebut.

Lebih lanjut, menurut Kak Seto, pendampingan langsung ke anak memang penting. Tapi bimbingan konseling untuk atasi trauma orang tua mereka juga sangat dibutuhkan. Kenapa? Karena orang tua yang depresi niscaya berimbas pada anak-anaknya juga.

Aksi Nyata


Dua acungan jempol untuk Komunitas Dongeng (Dakocan) Lampung. Mereka langsung datang ke lokasi pengungsian dan menghibur anak-anak korban konflik antarwarga di Balinuraga dan sekitarnya. Para relawan menyajikan dongeng dan mengajak anak-anak bernyanyi bersama.

"Anak-anak harus selalu diajak bergembira. Pasca kejadian bentrokan antarwarga yang menimpa keluarga mereka beberapa waktu lalu banyak yang trauma," ujar Ivan Bonang, salah seorang aktivis Dakocan di pengungsian Sekolah Polisi Negara (SPN) Bandar Lampung, Jumat (2/11/2012).

Menurut Ivan, salah satu upaya pemulihan mental anak ialah dengan memunculkan keceriaan. Walau mereka sedang berada di aula penampungan yang serba terbatas dan minim fasilitas. "Ke depan akan kita adakan kegiatan membuat layang-layang yang diterbangkan bersama. Tujuannya sekadar memberikan kenyamanan bagi mereka selama mengungsi," imbuh Ivan.

Putu Arini, siswi kelas dua SD mengaku merasa terhibur. "Senang bisa bermain dengan teman-teman, apalagi ada dongeng dan kegiatan nyanyi bersama," ujarnya seraya berharap bisa cepat pulang ke rumah dan sekolah lagi, karena sudah 5 hari di tempat penampungan pasca rumahnya dilalap api.

Agal lebih efektif dan masif, kiranya pemerintah setempat, akademisi dan pihak swasta perlu bersinergi dengan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam program pemulihan trauma (trauma healing) tersebut.

Sedikit sharing pengalaman, penulis pernah menjadi relawan PPSTK (Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling) yang digagas oleh Anand Krishna di Yogyakarta. Saat itu bukan konflik SARA yang terjadi tapi bencana alam berupa gempa (2006) dan erupsi gunung Merapi (2010).

Salah satu programnya ialah lomba menulis (SMA), melukis (SMP) dan pidato kebangsaan (TK-SD). Anak-anak korban yang mengungsi di titik-titik pengungsian mengikuti kegiatan tersebut di gedung UC Universitas Gadjah Mada (UGM). Para jurinya ialah kaum akademisi, praktisi pendidikan dan budayawan antara lain St. Kartono, Guru Bahasa Indonesia di SMA Kolese De Britto. Ia penulis terkenal, buah penanya kerap menghiasi lembaran media cetak, baik lokal maupun nasional.

Tujuannya tak lain untuk menyalurkan energi trauma menjadi daya kreatifitas. Ibarat saluran yang mampat, bila tersumbat alirannya justru berbahaya.  Pun berdampak pada masa depan mereka.

Bintang Cesario dari SMAN 8 Yogyakarta - yang kebetulan menjadi juara I lomba menulis - bercita-cita sederhana untuk memulihkan keadaan bangsa ini. Yakni dengan menjadi pengusaha restoran. Tapi kinerja perusahaan harus profesional ala counter fastfood. Uniknya, ia tak akan menjual produk impor, yang ia jual masakan-masakan tradisional dari pelbagai penjuru Indonesia. Seperti soto, gado-gado, lotek, dll. Ia pun hendak melebarkan wilayah pemasarannya sampai ke negeri manca.

Kembali ke topik awal opini ini, sejatinya para anak-anak korban konflik SARA tersebut tak berdosa dan tak tahu apa-apa. Ironisnya, mereka terpaksa menelan pil pahit dan mengungsi akibat keberingasan orang-orang dewasa yang membabi buta merusak, membakar, menjarah, dan bahkan menghilangkan nyawa sesama umat manusia.  Semoga Ibu Pertiwi tak lagi bersimbah darah dan berlinang air mata. Damailah Sang Bumi Ruwa Jurai...Damailah Indonesia…Walau beda, kita semua bersaudara...

Tidak ada komentar: