November 14, 2012

“Tegak Berjalan” dalam Kelumpuhan

Dimuat di Koran Jakarta versi Cetak, Kamis/15 November 2012

1352953457571580890


Judul: 2 Detik Mengubah Hidup
Penulis: Mulyanto Utomo
Kata Pengantar: Ferrasta “Pepeng” Soebardi
Penerbit: Metagraf Tiga Serangkai
Cetakan: 1/ 2012
Tebal: xx + 148 halaman
ISBN: 978-602-9212-35-8

“Pernahkah Anda berpikir bahwa ketika Anda bisa menggerakkan kaki untuk berjalan itu adalah anugerah? Persis dengan ketika bernafas. Betapa manusia, setidaknya saya, dahulu tidak pernah memikirkan bahwa bisa menghirup oksigen (O2) lantas mengeluarkan karbondioksida (CO2) itu juga sejatinya adalah anugerah yang tiada tara dari-Nya. Jalan … ya berjalan saja … bernafas saja … manusia tak pernah memikirkannya. Semuanya sudah serbaotomatis…” (halaman 126).

Begitulah renungan sederhana tapi mendalam dari Mulyanto Utomo. Pasca kunduran (tertabrak) mobil berbobot lebih dari 2 ton dan terseret sejauh 3 meter pada 4 April 2008 silam, jurnalis dari Solo tersebut patah tulang belakangnya. Walhasil, organ tubuh dari pinggang sampai ujung jempol kaki mati rasa dan tak bisa digerakkan sama sekali. Ia musti duduk di atas kursi roda. Saat itu baru penulis menyadari betapa dapat berlari-lari ke sana kemari mengejar bola tenis sungguh sebuah mukzijat.

Anak ke-5 dari delapan bersaudara ini bersepakat dengan pendapat Dr. Albert M. Hutapea MPH (Keajaiban-Keajaiban dalam Tubuh Manusia, 2008). Dalam alam raya memang banyak hal yang mengagumkan. Tapi, dari semua hal yang menakjubkan tersebut, sejatinya tubuh manusialah yang paling membuat orang berdecak kagum. “Badan seseorang terdiri atas kelompok besar makhluk hidup berupa 100.000.000.000 (seratus miliar) sel.” (halaman 56).

Patah tulang punggung yang mendera penulis bukan perkara sepele. Dalam dunia medis disebut CMS (Cedera Modula Spinalis) atau CSJ (Spinal Cord Injury) alias cedera sum-sum tulang belakang. Saat dilarikan ke rumah sakit (RS), satu gerakan kecil saja mengakibatkan sekujur tubuhnya terasa dicabik-cabik. Seperti ada sepotong besi panas ditusukkan dari tubuh bagian bawah sampai menembus ubun-ubun.

Pasca operasi penampilan luar penulis begitu tegar, tapi sejatinya ayah 4 anak tersebut dihantui rasa cemas. Terutama terkait masa depan anak istri, pekerjaan, biaya perawatan rumah sakit, dan segala ketakutan duniawi akibat menjadi seorang paraplegia inferi. Eufimisme dari penyandang difabel lumpuh total.

Untungnya, ia berkenalan via BBM (BlackBerry Messenger) dengan Pepeng Ferrasta Soebardi, artis ibukota yang mengidap multiple sclerosis. Cak Pepeng kehilangan fungsi saraf motorik, sensorik, dan otonom akibat terserang spesies virus langka. Dari gua Cinere, Cak Pepeng berbagi insight (pemahaman yang menyejukkan).

Pelawak kondang tersebut membedakan antara pain dan sick. “Rasa nyeri alias pain tidak akan membuat manusia sakit atau sick, sakit secara kejiwaan. Asalkan manusia mampu mengatasi penderitaan dengan selalu mengingat Allah…” (halaman x). Pepeng memang menolak minum pain killer, karena menurutnya di masa depan dosis berlebihan bisa menyebabkan kerusakan pada ginjal.

Sistematikanya, buku 2 Detik Mengubah Hidup terdiri atas 12 bab. Dari “Dia Antara Hidup dan Mati” sampai “Pasti Ada Jalan Keluar.” Kata pengantar ditulis oleh Cak Pepeng. Sedangkan “Sekapur Sirih” memuat paparan dr. Pamudji Utomo, Sp.OT, dokter yang mengoperasi dan merawat penulis.

Tak hanya lewat upaya medis, Cak Mul (panggilan akrabnya) juga berupaya menempuh jalur alternatif agar bisa sembuh seperti sedia kala. Dari kakaknya yang tinggal di pelosok Madiun, ada resep rahasia seorang tetua. Yakni, dengan mengumpulkan puluhan bekicot untuk diambil cairannya yang berada di pucuk cangkang. Setelah terkumpul, sang kakak membawa langsung ke Solo. Cara lainnya dengan disetrum. Penulis duduk di kursi. Telapak kakinya menginjak lempengan besi yang dihubungkan dengan steker listik.

Namun akhirnya, Cak Mul mengambil satu kesimpulan. Tak ada yang bisa mengembalikan fungsi saraf utama di tulang punggungnya. Ia menerima dengan lapang dada dan pasrah sumarah pada Sang Pencipta. Hebatnya, penulis tetap “tegak berjalan” dalam kelumpuhan. Terutama lewat guratan-guratan pena-nya. Walhasil, pada perayaan Hari Pers Nasional dan HUT ke-64 PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tahun 2010, Mulyanto Utomo dianugerahi predikat sebagai tokoh yang menginspirasi masyarakat.

Buku setebal 148 halaman ini ditulis berdasarkan kisah nyata (true story). Sosok yang walau diterjang musibah pantang menyerah. Kelumpuhan tak bisa merampas semangat untuk terus berkarya bagi sesama. Sepakat dengan tesis Cak Mul, “Rasa senang, bahagia, sedih, dan duka terkait dengan hati. Ketika manusia telah menemukan sandaran hati yang diilhamkan Tuhan, semuanya akan lebih mudah. Tuhanlah sandaran terkuat!” Selamat membaca!

Tidak ada komentar: