Tulisan aslinya berjudul “Multi-Religious Cooperation: Myth, Reality, or Possibility for Indonesia?”
Versi bahasa Inggris dimuat di The website of the Journal of Inter-Religious Dialogue
“Kerjasama Antar Agama: Mitos, Realitas, atau Kemungkinan untuk Indonesia?"
*Anand Krishna
Ada pepatah Sufi yang indah, awalnya "Sufi" tidak ada sebagai suatu istilah, tapi banyak orang mempraktekkan Sufi di mana-mana. Sekarang ada istilah "Sufi", tapi hampir tidak ada praktisi yang sesungguhnya.
Sama halnya dapat dikatakan ihwal "kerjasama antar agama" dan "dialog lintas iman". Istilah seperti itu tidak populer sebelumnya, tapi kita memiliki kerjasama yang tulus antara orang-orang dari keyakinan yang berbeda, dan tetap ada harmoni di dalam masyarakat.
Sekarang, istilah-istilah tersebut begitu populer, banyak organisasi antar agama dan lintas iman, tapi kerjasama dan harmoni yang sesungguhnya justru hilang.
Apa yang Salah?
Saya meng-google kata "cinta", dan menemukan 1.400.000.000 entri, melawan 178.000.000 entri untuk kata "benci".
Demikian pula dengan kata "perdamaian", ada 215.000.000 entri, melawan 89.100.000 entri untuk kata "konflik”, dan hanya 3.520.000 entri untuk kata "perselisihan" (semua hasil tersebut tertanggal 18 Januari 2010, sekitar jam 09.25 waktu Jakarta).
Apa makna angka-angka tersebut bagi kita? Berdasarkan angka-angka itu, kita dapat menyimpulkan bahwa cinta dan perdamaian memang lebih populer ketimbang konflik dan perselisihan?
Sebagai "kata" ya, sebagai "istilah" ya, sebagai "ide" ya, sebagai "konsep" ya - cinta dan perdamaian tentu lebih populer daripada benci, konflik, dan perselisihan. Tapi realitas kehidupan ini mengisahkan kepada kita cerita yang berbeda.
Cinta sebagai sebuah ide memang mulia, namun masih lebih mulia cinta dalam tindakan, melalui berbagi dan peduli. Gagasan Indonesia ihwal cinta dalam praktek ialah:
Gotong-Royong
Banyak orang akan menterjemahkannya ini sebagai "kerjasama". Tapi makna harfiahnya ialah “memikul beban bersama".
Ini merupakan konsep asli Indonesia ihwal kerjasama. Sampai beberapa dekade yang lalu, tak dapat dihindarkan untuk menambah "antar agama" sebelum kerjasama.
Dalam bahasa di kepulauan Nusantara, istilah "Gotong-Royong Antar Agama", memang terdengar absurd. Kerjasama ialah kerjasama. Gotong-royong adalah gotong-royong.Mengapa menambahkan "antar agama"?
Apa perlu?
Yesus dan Muhammad tidak menyuruh kita memeriksa dulu apa agama tetangga kita sebelum mengulurkan tangan kepada mereka.
Cinta "Tak bersyarat"
Ini adalah semangat gotong-royong. Gotong-royong adalah kontribusi bersama dari semua orang, bekerja saling bahu-membahu untuk kepentingan umum.
Tidak ada aturan, tidak ada peraturan, dan tentunya tak ada organisasi khusus yang diperlukan untuk melaksanakan gotong-royong dalam masyarakat. Gagasan tentang memikul beban bersama itu telah menjadi bagian dari budaya kita, dan peradaban kita.
Kita melakukannya, karena kita tahu itu baik untuk membantu, untuk saling berbagi dengan mereka yang lebih lemah dari kita.
Sampai beberapa waktu lalu – untuk orang biasa yang tinggal di Indonesia - menjadi baik ialah menjadi saleh. Mempraktekkan kebaikan adalah mempraktekkan kesalehan.
Kebaikan, kesalehan ini ialah:
Fondasi untuk Gotong-Royong
Di atasnya, pada platform kebaikan, dan kesalehan, kita berdiri bersama-sama.
Dengan lebih dari 16.000 pulau-pulau, dan penduduk lebih dari 70 juta; ratusan etnis dan bahasa yang dipakai - itu adalah tugas besar bagi para pendiri bangsa Indonesia modern untuk mempersatukan kita semua sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tapi, mereka bisa melakukannya. Dan, mereka melakukannya tanpa menggunakan akidah agama, sanksi, janji surga, atau ancaman api neraka.
Mereka tahu bahwa tidak mungkin untuk menyatukan bangsa yang beragam dengan seperangkat doktrin agama tertentu, atau dogma. Sebuah platform nasional yang dibangun di atas landasan seperti itu sangatlah rapuh, lemah, dan tidak cukup kuat untuk menahan berat sebuah bangsa yang besar.
Oleh karena itu, mereka membangun kerjasama nasional di atas dasar warisan budaya bangsanya sendiri, nilai-nilai, sejarah, dan kearifan lokal.
Bhinneka Tunggal Ika
Pertama dan utama ialah mengetahui ihwal keanekaragaman bangsa di segala bidang dan pada semua tingkatan:
- Kepulauan terbesar: Kepulauan 17.508 kepulauan (6.000 yang dihuni)
- Perekonomian terbesar di Asia Tenggara
- Populasi Muslim terbesar, dan Rumah untuk Penganut hampir Semua Agama-agama Besar di Dunia, dan beberapa Kepercayaan Lokal
- Pulau yang paling padat penduduknya: Jawa
- Peringkat ke-2 Keanekaragaman Hayatinya
- Peringkat ke-4 Negara terpadat populasinya: 237 juta orang
- Peringkat ke-16 Negara terluas (Luas Tanah): 1.919.440 km ²
- 300 etnis asli dan 742 Bahasa / Dialek
Berikutnya adalah menemukan suatu rumusan asli untuk menyatukan rakyat yang beragam. Dan, ini adalah Bhinneka Tunggal Ika - biasanya diterjemahkan, atau lebih tepatnya, keliru diterjemahkan sebagai "Persatuan dalam Keberagaman", frase yang sebenarnya berarti:
"Tampak Beragam, tapi Intinya Satu”
"Persatuan dalam Keberagaman" merayakan Keanekaragaman, tapi tetap sekedar ideologi, atau sebuah konsep belaka, ketika perlu menyatukan orang. Mengapa mereka musti bersatu?
Di sisi lain "Tampak Beragam, tapi Intinya Satu," berfokus pada landasan dan kesatuan yang esensial. Kita semua adalah satu. Perbedaan di antara kita sekedar ada di permukaan. Mereka memang tampak, tapi bukan laten.
Kita semua datang dari satu sumber yang sama, baik secara spiritual maupun fisik. Pemetaan DNA manusia telah membuktikan fakta ini yang dulu diragukan. Para pendiri bangsa kita, kendati demikian, tidak berhenti pada pemahaman itu saja. Mereka lebih lanjut merumuskan cara untuk mengimplementasikannya.
Pancasila
Diabadikan dalam "Lima Prinsip" merupakan inti dari semua nilai kemanusiaan:
- Religiusitas atau nilai-nilai ketuhanan
- Kemanusiaan
- Kebangsaan
- Demokrasi, Dipandu oleh Hati Nurani
- Keadilan Sosial bagi Semua
Prinsip pertama tidak berbicara tentang Tuhan, tetapi nilai-nilai ketuhanan. Ini bukan mengenai agama tertentu, tetapi tentang esensi dari semua agama, religiusitas. Dengan cara ini mereka bisa merangkul satu dan semua, termasuk mereka yang mengikuti sistem kepercayaan yang berbeda sama sekali dari kelompok agama mainstream.
Indonesia Masa Lalu
Mengunjungi India, sekitar 60 tahun yang lalu, salah satu bapa pendiri bangsa kami, juga presiden pertama, Sukarno, mengejek penjaga toko India yang bangga menampilkan agama mereka pada papan nama, "Kedai Teh Hindu", "Restoran Muslim", dan seterusnya dan sebagainya.
Sekitar waktu yang sama, presiden India Radhakrishnan merasa takjub bagaimana kita di kepulauan ini bisa mempertahankan budaya dan tradisi, yang berakar dari peradaban kuno Lembah Indus, terlepas dari afiliasi keagamaan kita apa.
Indonesia Sekarang
Sayangnya, situasi saat ini berubah. Apa yang terjadi di India itu, justru terjadi di Indonesia sekarang, hari ini.
Budaya telah menyatukan kita, kemudian agama justru mengkotak-kotakkan kita, sekarang. Kita dulu tidak memiliki organisasi antar agama, dan lintas iman, tapi sudah sudah mempunyai harmoni antar agama. Kita memiliki banyak organisasi antar agama dan lintas iman sekarang, namun tidak ada keharmonisan antar agama.
Fanatisme Agama
Hal ini jelas meningkat, dan sebenarnya sudah terjadi dalam dua dekade terakhir. Sayangnya, para pemegang otoritas kita, tidak bisa membaca pesan-pesan di dinding, atau barangkali mereka memiliki kepentingan pribadi, dan karenanya sengaja membiarkan hal itu terjadi.
Beberapa tahun yang lalu ketika saya membahas masalah tersebut dengan salah seorang menteri dan memintanya untuk belajar dari pengalaman Pakistan - seperti diakui oleh mantan Presiden Musharraf dalam otobiografinya In the Line of Fire ia menanggapinya dengan enteng saja. "Tapi, saya melihat tidak ada yang salah jika seseorang fanatik dengan agamanya.
"Terorisme dan kekerasan tidak ada hubungannya dengan agama -." Klise memang kalimat teresebut, tapi masih sering digunakan dan disalahgunakan oleh banyak orang, termasuk oleh banyak ulama-moderat.
Saya mengingatkannya tentang apa yang Mahatma Gandhi katakan berkaitan dengan hal itu, "Sebuah fanatisme yang menolak perbedaan melenceng dari semua ideal."
Dia bersikukuh pada pendapatnya, dan saya menyadari bahwa tak ada gunanya berbicara dengan tembok.
Fanatisme, Ekstremisme, Radikalisme, dan Terorisme
Mereka tak terpisahkan. Fanatisme adalah rahim yang melahirkan terorisme. Ekstrimisme dan radikalisme adalah tahapan sebelum kelahiran tersebut.
Saya ingat pernyataan yang dibuat oleh Wakil Presiden terdahulu Hamzah Haz, tidak lama sebelum bom Bali meledak pada tahun 2002. Ia tidak mengakui bahwa ada sel-sel teroris dan kamp-kamp pelatihan di negara ini.
Dia salah.
Bom Bali hanyalah permulaan.
Kita sudah, sejak saat itu, dibom beberapa kali. Sebagian besar eksekutornya ialah orang kita sendiri, orang Indonesia. Dan lagi-lagi, saat berbicara di forum internasional, para pemimpin lembaga keagamaan kita enggan untuk mengakui bahwa fanatisme dan radikalisme yang berkembang telah memecah-belah masyarakat kita.
Suka atau tidak, agama telah digunakan, atau lebih tepatnya disalahgunakan, untuk membenarkan tindakan teror. Agama telah disajikan sedemikian rupa, dan oleh pengikutnya sendiri, bahwa ia telah kehilangan keduanya, arti dan kegunaan sebagai kekuatan yang mempersatukan.
Mendefinisikan kembali Peran Agama
Ini adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh semua agama, dan kelompok-kelompok keagamaan. Tidak akan ada kerjasama antar agama, jika makna hakiki dan definisi agama, dan perannya tetap belum jelas.
Semua teks agama kita mengandung keduanya, kebenaran universal yang relevan untuk setiap waktu, dan kebenaran kontekstual untuk menangani masalah aktual dalam jangka waktu tertentu. Para pengikut dari semua agama harus cukup bijak untuk bisa membedakan antara keduanya.
Ketika yang kontekstual tersebut disajikan sebagai universal - agama tidak lagi menjadi kekuatan yang mengikat. Sampai dan kecuali hal ini dipahami dan diselesaikan secara gamblang, maka tidak akan ada kerjasama antara kelompok-kelompok agama yang berbeda.
Misalnya berbagai masalah di Timur Tengah sebenarnya dimotivasi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Itu bukan masalah agama. Dengan membawa masalah agama ke dalam isu-isu tersebut, mereka tidak hanya memperumit, tetapi juga membahayakan seluruh dunia.
Teroris yang Tumbuh di Tanah Indonesia
Indonesia tidak ada hubungannya dengan konflik di Timur Tengah. Namun, teroris yang tumbuh di tanah kita, dan para pendukung mereka, mereka membenarkan tindakan kekerasan dan teror dengan mengutip konflik di sana sebagai penyebabnya.
Mengapa?
Hal ini karena sifat alami dari agama, yang luas, dan merangkul semua. Agama dan ajaran agama melampaui batas-batas nasional kita dan lokasi geografis.
Dengan demikian, “kekuatan” agama dapat dimanfaatkan maupun disalahgunakan. Kita bisa menggunakan agama untuk mengikat kita bersama sebagai satu keluarga dunia. Kita juga dapat menggunakan agama untuk menciptakan sub-keluarga dalam keluarga, sub-suku dalam satu suku manusia.
Sayangnya, banyak dari kita telah, dan menggunakan agama untuk memecah-belah, dan tidak untuk bersatu. Kita telah menciptakan kotak-kotak pada semua tingkatan, dengan hasil akhir bahwa saat ini bahkan satu dan agama yang sama dapat terbagi menjadi begitu banyak sekte.
Sektarianisme
Dalam Parliament of Religions pertama di Chicago (1893), Swami Vivekananda (1863-1902) dari India pernah berkata:
"Sektarianisme, kefanatikan, dan keturunannya yang mengerikan, fanatisme, telah lama menguasai bumi yang indah ini. Mereka mengisi bumi dengan kekerasan, sering dan sering basah kuyup dengan darah manusia, menghancurkan peradaban dan membuat seluruh bangsa merasa putus asa. Kalau bukan karena setan-setan mengerikan itu, masyarakat manusia akan jauh lebih maju daripada sekarang.
"Tapi waktu mereka telah tiba, dan aku sungguh-sungguh berharap bahwa lonceng yang berdentang pagi ini untuk menghormati konvensi ini bisa menjadi tanda kematian dari semua fanatisme, dari semua penganiayaan dengan pedang atau dengan pena, dan semua perasaan tak kenal belas kasihan antara orang-orang yang sedang menempuh perjalanan ke tujuan yang sama. "
Sayangnya, harapannya tetap sekedar harapan sampai hari ini. Harapan yang belum terpenuhi, dan impian yang belum terealisasikan ini menantangi kita untuk memenuhinya, untuk mewujudkan hal itu.
Sampai dan kecuali fanatisme agama dapat diakhiri, tidak ada kerjasama antar agama yang mungkin.
Pemasangan Fondasi untuk Kerjasama Antar Agama
Pertama, kita harus berurusan dengan gagasan fanatik seperti, "agama saya adalah yang terbaik," "agama saya adalah yang tertua”, “agama saya yang terbaru”, “agama saya yang paling sempurna" dan sejenisnya.
Kita harus menyiapkan landasan yang kokoh, sebuah platform yang kuat di mana semua agama, dan semua praktisi agama dapat berdiri dan bekerja bersama. Tanpa platform semacam itu, bagaimana kita bisa melakukannya?
Platform yang saya maksud adalah platform "Apresiasi".
Toleransi saja tidak Cukup
Kata "toleransi" memiliki konsep "lebih suci dari kamu" yang tersembunyi di antara 9 huruf tersebut. Ini berarti, "Aku lebih baik daripada kamu, tetapi, aku mentolerir kamu."
Kita telah saling mentoleransi selama lebih dari seribu tahun. Apa hasil akhirnya? Kita tidak pergi pun jauh dari tempat kita dulu memulainya.
Jika kita serius untuk mengakhiri konflik yang berbasis agama, maka pertama-tama, kita harus menghindari kata "toleransi".
Mari kita menggantinya dengan "apresiasi". Marilah kita mengapresiasi, dan tidak hanya mentolerir perbedaan di antara kita.
Apresiasi berarti:
1. Memahami, saya tidak hanya menerima perbedaan antara kita, tetapi saya memahaminya. Saya memahami mengapa Muhammad melakukan apa yang Ia lakukan, dan mengapa Ia tidak melakukan apa yang Yesus lakukan. Saya memahami mengapa Krishna begitu penuh warna, dan mengapa Buddha berada di ekstrim lain dengan jubahnya. Saya memahami mengapa Mahavira begitu dekat dengan Siddhartha, walau berjauhan.
2. Pertemuan Pikiran dan Hati, yang merupakan produk alami pemahaman. Dan, yang merupakan prasyarat untuk segala macam kerjasama, yaitu, sebuah kerjasama yang tulus.
3. Tidak ada Konversi, karena "agama saya tidak lebih baik dari agama Anda." Saya pernah menantang kepala lembaga keagamaan kita untuk mengucapkan perkataan ini, untuk mengulang-ulang kalimat tersebut. Tak ada, tidak satupun dari mereka yang mau mengatakannya di depan publik. Jenis pluralisme yang mereka percayai tidak membebaskan mereka dari kompleks mental. "Punyakulah yang terbaik”, masih banyak menjadi bagian dari sistem kepercayaan masing-masing. Jenis kerjasama seperti apa yang kita harapkan dari jenis pikiran semacam itu.
Setelah meletakkan dasar (apresiasi) untuk kerjasama yang tulus, sekarang mari kita mendirikan pilar untuk membangun struktur kerjasama yang tulus, bukan hanya antar agama, tapi antar gender, antar bangsa, antar di semua tingkatan.
Ini adalah pilar-pilarnya:
Harmoni Lintas Iman
Empat pilar utama Harmoni Lintas Iman adalah:
1. Kebenaran Sejati, kita harus jujur dengan kondisi kita. Jika kita sakit, katakan kita sakit. Kita tidak dapat menyembuhkan diri kita sendiri dengan hanya berpikir positif tanpa meminum obat, atau melakukan beberapa terapi, baik secara konvensional atau non-konvensional.
Sebagian besar para pemimpin kita tidak jujur ketika mereka mengatakan, "Oh, kami telah menyelesaikan konflik etnis dan agama yang terjadi. Kita baik-baik saja.” "Tidak, kita tidak.
Para radikal telah menyusup ke sebagian besar kelompok keagamaan moderat kita. Pada akar rumput mereka tidak lagi solid, dan moderat seperti dulu. Sangat disayangkan bahwa para elit dari kelompok-kelompok itu memilih untuk tetap diam, karena takut kehilangan dukungan dari mereka.
Para radikal telah menyusup ke dewan perwakilan rakyat, dan kabinet kita. Mereka ada di mana-mana. Menteri yang merasa lebih perlu dan penting untuk mengunjungi kaum radikal dipenjara daripada menjenguk para korban kekejaman mereka, kok bisa dipilih kembali sebagai menteri dalam kabinet sekarang.
Para pemimpin Indonesia tidak jujur kepada diri mereka sendiri, dan tidak benar kepada sesama warga negara.
2. Loyalitas, kepada bangsa, kepada profesi, kepada sesama warga negara, dan kepada seluruh keluarga dunia.
Kita, Orang Indonesia, memerangi virus korupsi di semua tingkatan, di setiap departemen, dan setiap aspek kehidupan.
Mengapa dan bagaimana kita bisa menjadi korup? Apa yang membuat kita merampok Ibu Pertiwi kita sendiri? Keserakahan.
Ini adalah virus yang paling mematikan dari semua virus. Ini adalah virus yang paling fatal dari semua virus. Keserakahan dapat membuat kita merosot dari tingkatan manapun. Keserakahan membuat kita lupa akan kemanusiaan kita, dan kemanusiawiannya.
Ini adalah keserakahan yang membuat kita tidak setia terhadap Ibu Pertiwi. Dan, jika kita tidak setia terhadap Ibu Pertiwi, bagaimana kita bisa setia terhadap keluarga dunia?
Bangsa adalah tanah ujian untuk integritas dan loyalitas kita. Jika kita gagal sini, maka kita akan gagal sana juga. Jika kita tidak bisa merawat bangsa kita, maka kita tidak bisa mengurus dunia. Ini sesederhana itu.
3. Keterampilan, menjadi terampil berarti menjadi orang yang sepenuhnya terintegrasi, dengan intelektualnya, emosionalnya, dan semua fakultas lainnya berkembang sepenuhnya.
Orang yang terampil adalah orang yang holistik. Kita tidak dapat memberikan kontribusi terhadap kerjasama global kalau tidak terampil.
4. Bekerja keras, ini sama pentingnya. Kebenaran, loyalitas, dan keterampilan mungkin tak berarti tanpa adanya kerja keras. Selanjutnya, "Harmoni", bagi saya, adalah bagian dari trinitas suci, bersama dengan Perdamaian dan Cinta.
Perdamaian, Cinta, dan Harmoni
Perdamaian adalah kualitas yang musti kita kembangkan dari dalam diri. Kalau saya tidak damai, jika saya tidak berdamai dengan diri sendiri, saya tidak pernah bisa berdamai dengan Anda, atau dengan orang lain.
Hanya bila aku merasa damai dengan diri saya sendiri, dan dengan Anda - saya mungkin bisa berbagi cinta. Tanpa kedamaian, tidak ada cinta.
Terakhir, harmoni ... Ini adalah kombinasi, jumlah total dari perdamaian dan cinta. Memang, harmoni tidak memerlukan upaya khusus untuk menciptakan.
Ini adalah hasil langsung dari orang yang damai dan penuh cinta, komunitas yang damai dan penuh cinta, dunia yang damai dan penuh kasih.
Tahapan Kerjasama Antar Agama
Ini didasarkan pada eksperimen dan pengalaman kami sendiri, yang menurut saya adalah secara alami empiris. Kami bukan orang yang "terpilih", atau unik dalam arti lain. Apa berhasil kami kerjakan, berlaku juga pada Anda, dan dengan orang lain, yang tinggal di planet ini.
Tahap-tahap, seperti yang dibahas sebelumnya ialah:
1. Memasang Fondasi: Apresiasi, dan Perayaan Perbedaan; Melihat yang Esensial, dan Persatuan Laten di balik semua Perbedaan Bentuk.
2. Mendirikan Pilar (i) Kebenaran Sejati, (ii) Loyalitas, (iii) Keterampilan,dan (iv) Kerja keras. Dalam keempat nilai utama tersebut digabungkan sub-sub nilai seperti integritas, profesionalisme, efisiensi, kreativitas, produktivitas, dan seterusnya, dan sebagainya.
3. Mengisi Rumah dengan Perdamaian, Cinta, dan Harmoni
4. Diawali dari sebuah Kerjasama Global yang Tulus (bukan saja Antar Agama, tetapi juga Antar Etnis, Antar Bangsa, dan semua tingkatan lainnya)
Sebuah Model Kerjasama
Pertama dan utama ialah model kompleks perumahan di pinggiran kota Jakarta (Ciawi, Bogor, Jawa Barat). Lebih dari 26 keluarga yang memiliki agama, afiliasi keagamaan, dan etnis berbeda tinggal di sini dalam perdamaian, cinta, dan harmoni.
Kompleks ini tepatnya bernama: "One Earth One Sky One Humankind". Di sini, di kompleks ini, umat Islam mempersiapkan kue Natal untuk orang-orang Kristen dan merayakan malam Natal dengan mereka. Dan, orang-orang Kristiani mempersiapkan ketupat lebaran untuk Perayaan Idul Fitri umat Muslim. Demikian pula, dengan penganut Hindu, Buddha, Khonghucu, dan aliran kepercayaan lokal - semua berdampingan merayakan perbedaan mereka.
Tahun 2010 ini, 2010, kami merayakan ulang tahun ke-10 kompleks tersebut.
Menteri Pertahanan Indonesia terdahulu Juwono Sudarsono mengakui usaha tersebut dan mengapresiasinya sebagai bagian dari program pemerintah untuk membangun jembatan dan "pertahanan budaya non-militer".
Komunitas ini juga telah mendirikan sebuah sekolah, sekolah lintas agama pertama di Bali, di sana anak-anak dari latar belakang agama yang berbeda diajarkan untuk tidak hanya tahu, dan menghargai perbedaan, tetapi juga merayakannya. Tahun ini ialah tahun kedua sekolah tersebut.
Masyarakat kerjasama di Jakarta, Bali, Yogyakarta dan kota-kota lainnya menjadi saksi keberhasilan tersebut, sebuah eksperimen yang empiris.
Ini, kemudian menjadi visi dunia masa depan: Satu Bumi, Satu Langit, Satu Umat Manusia. Dan, cara untuk mewujudkannya ialah membangun masyarakat di atas prinsip Apresiasi, dan nilai-nilai seperti Perdamaian, Cinta, dan Harmoni.
*Aktivis Interfaith dan pengarang lebih dari 130 buku, Bapak Anand Krishna ialah pendiri Yayasan Anand Ashram (1991), organisasi intefaith yang sekarang berafiliasai dengan UNDPI-PBB, dan telah menginspirasi beberapa organisasi, termasuk sekolah interfaith pertama di Indonesia, tepatnya di pulau Bali.
Terjemahaan oleh : Nugroho Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar