Februari 10, 2011

Antara "Caper", Tontonan dan Ketegasan

Badannya relatif mungil. Kalau membawa komputer jinjing ke kantor guru sering mengeluh bahunya pegal karena keberatan memikul beban. Mejanya tepat berada di sebelah meja penulis. Dialah Ibu Apri pengampu pelajaran Bahasa Lampung di sekolah.

Namun tampilan fisik tersebut berbanding terbalik dengan ketegasannya. Terlebih saat mengajar di depan kelas. Suaranya lantang melafalkan dialek khas sanak Lappung (Orang Lampung). Selain itu, bila ada murid indisipliner, misalnya terlambat mengumpulkan PR, ia tak segan memarahi anak didiknya itu.

Tentu kemarahan ini bukan karena benci, melainkan lebih sebagai cara menanamkan nilai ketertiban. Sebab mereka sudah diberi waktu mengerjakan selama seminggu. Pada saat yang sama, Bu Apri juga pengertian, pernah ada murid terserang cacar sehingga terlambat mengumpulkan tugas. Ia toh bisa memaklumi dan memberikan toleransi waktu.

Kisah di atas layak menjadi cermin bagi aparat penegak hukum dan pemimpin kita. Terutama dalam hal ketegasan (decesiveness).

Masih basah tanah pusara Rony, Mulyadi dan Tarno (almarhum). Mereka merupakan 3 anggota jamaah Ahmadiyah yang menjadi korban kerusuhan Cikeusik, Pandeglang, Banten (Minggu/6 Februari 2011). Video amatir memperlihatkan bagaimana seorang aparat kepolisian justru mengeluarkan telepon genggam dan merekam aksi pembantaian tersebut. Bukan justru mengeluarkan pistol dan menembakkan tembakan peringatan.

Sedikit intermezo, penulis pernah menonton Jatilan alias Kuda Lumping di Godean, Yogyakarta. Penontonnya membludak hingga mencapai ratusan orang, sempat terjadi perkelahian antar pemuda desa saat tengah hari tiba. Salah satu petugas kepolisian yang berseragam preman mengeluarkan pistol dan menembakkan tembakan peringatan. Seketika, massa yang siap tempur berlarian kocar-kacir. Pertunjukan berlangsung aman dan terkendali hingga menjelang azan Maghrib.

Kemudian berselang 2 hari dalam insiden Temanggung (Selasa/8 Februari 2011) tampak bagaimana polisi tak berdaya tatkala truk mereka digulingkan. Lembaga yang dipercayai memegang senjata untuk melindungi rakyat dan aset negara termasuk tempat ibadah dan sekolah kok membiarkan para perusuh berkedok agama tersebut? Padahal pada 1998 aparat begitu mudahnya menembakkan peluru tajam ke arah para demonstaran yang notabene sebagaian besar mahasiswa di Semanggi Jakarta. Saat itu Kapolda DKI masih Timur Pradopo yang kini menjadi Kapolri.

Lebih lanjut, pemimpin kita mayoritas bertubuh relatif kekar. Hasil didikan keras ala militer. Mereka mampu memikul tas ransel berbobot puluhan kg di pundaknya. Kendati demikian, tak ada ruginya belajar dari Bu Apri ihwal ketegasan. Sebab menyitir guyonan Gusdur, “Di negeri ini hanya ada 3 polisi yang jujur: Patung Polisi, Polisi Tidur dan Hoegeng.” Tak cukup mengecam dan mengungkapkan keprihatinan belaka. Saat ini, kita musti berang menyaksikan kesewenangan dan arogansi segelintir orang merajarela atas nama agama.

Konkret direct to the point. Bubarkan kelompok yang selama ini menebar teror kekerasan. Memang pasal 28 UUD 1945 menjamin setiap warga Negara untuk berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Tapi dengan catatan mereka harus gandrung perdamaian, menggunakan cara beradab dan mengedepankan dialog. FPI ialah pengecualian.

Tontonan

Insiden penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah terus-menerus diputar ulang di layar kaca. Terutama dalam acara berita hampir di semua stasiun televisi. Sama seperti saat Tragedi Monas Berdarah (1 Juni 2008). Ungkapan yang keluar dari mulut kelompok agresor menyerukan kebesaran Asma-Nya namun tangan kiri melempar batu dan tangan kanan mengacungkan senjata tajam ke arah leher sesama anak bangsa. Sebagai praktisi pendidikan saya merasa risih dengan fakta ini. Tontonan tersebut sama sekali tak memberikan tuntunan (moral).

Bila hal semacam ini terjadi terus-menerus niscaya terekam dalam otak para anak didik dan generasi penerus bangsa bahwasanya kekerasan ialah hal yang “wajar”. Mengumpati teman di sebelah bangkunya bukan suatu masalah berarti. Bahkan menonjok gurunya sendiri toh dianggap sah-sah saja.

Bukankah seringkali kita menjumpai di gedung DPR para wakil rakyat beradu mulut hanya dengan mantra, “Interupsi!”. Tujuannya, kepentingan parpol jelang Pemilu terakomodir. Caranya, waton muni (asal bicara saja), waton banter (asal paling keras bicaranya) dan dagang sapi. Kalau perlu bogem mentah melayang ke wajah pihak oposisi. Argumentasi logis pro konstituen tak masuk kalkulasi.

Tukang “Caper”

Secara lebih mendalam, kelompok yang menggunakan cara kekerasan untuk bisa eksis sejatinya sekedar mencari perhatian (caper). Seperti anak didik penulis di kelas yang berkelahi dengan temannya. Ia kurang mendapat perhatian dari orang tua di rumah. Sehingga mencarinya dari orang lain di sekolah.

Sayangnya, ia menggunakan cara yang keliru. Inilah esensi proses pendidikan. Yakni memangkas sikap destruktif dari dalam diri anak didik dan menumbuhkan kebiasaan bertindak secara konstruktif. Otomatis, secara alamiah sekali apresiasi dan kasih sayang akan menghampirinya. Misal dengan aktif bertanya dan menjawab soal, mengerjakan PR dan mengumpulkannya secara tepat waktu, tak mencontek dan jujur saat ulangan, sekedar membantu guru membersihkan papan tulis, atau rela pulang paling terakhir karena mendapat tugas piket menyapu kelas.

Saat bencana erupsi Merapi pada 26 Oktober 2011 di Jateng-DIY. Penulis menjadi relawan di JRS Indonesia. Sejak pertengahan November 2011 – akhir Desember 2011 stand by di Posko Blabak, Mungkid, Magelang. Memfasilitasi distribusi logistik dari para donator di seluruh Indonesia kepada para pengungsi dan warga desa.

Di mana kelompok radikal itu? Kalaupun mereka membantu sekedar seremonial agar diliput media. Sedangkan kami, 70-an relawan/wati JRS dan CM dari Malang, Surabaya, Blitar, Solo, Yogyakarta tak pernah bertemu dengan wartawan sekalipun. Barangkali kawan-kawan media terlalu sibuk di kota sehingga tak sempat meliput aksi kemanusiaan di pelosok dusun terpencil (http://www.jrs.or.id/index.php)

Para pengungsi juga membutuhkan terapi psikis. Mereka mengalami trauma akibat letusan dahsyat Merapi dan amukan lahar dingin yang masih mengancam sampai hari ini. Secara intensif relawan/wati PPSTK (Pusat Pemulihan Stres dan Trauma Keliling) dari Anand Krishna Centre Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang) memberikan pelayanan medis, latihan katarsis dan terapi ceria untuk anak di dusun Ngaglik, Krinjing, Magelang. Berjarak hanya 6 km dari Puncak Merapi, ini desa terakhir sebelum gardu pandang Babadan.(http://www.anandkrishna.org/english/archives2.php?id=420). Lantas, apa kontribusi kelompok radikal terhadap warga lereng Merapi?

Akhir kata, kelompok pembela kekerasan tidak mewakili agama manapun. Tidak ada ajaran-Nya yang melegalkan pembunuhan. Agama memfasilitasi manusia merasakan kehangatan cinta dalam diri, sesama dan segenap titah ciptaan. Sebab, menyitir petuah Mahatma Gandhi, “Di mana ada cinta di situ ada kehidupan.”

Tidak ada komentar: