Suara di Padang Gurun
Berikut ini saya mencoba untuk menerjemahkan artikel ke dalam Bahasa Indonesia. Semoga bisa bermanfaat dan tidak mengurangi makna yang terkandung dalam artikel aslinya. Terimakasih.
Judul artikel "The voice in the wilderness" karya Bapak Anand Krishna
Dimuat di kolom opini The Jakarta Post, Sabtu, 2 Januari 2010.
Suara di Padang Gurun
Suara itu telah pergi. Dan kita tetap tertinggal dengan padang gurun.
Gus Dur, suara yang membuat padang gurun kurang mengerikan, tak bisa didengar lagi. Beliau ialah suara harapan, suara yang tetap menjaga api harapan menyala di hati banyak orang. Sayangnya, suara itu telah pergi. Dan tapi, pada pikiran kedua, ke mana itu bisa pergi? Gaung setiap dan semua kata yang pernah beliau ucapkan tetap tertingal di sini. Di sini, dengan anda dan dengan saya - dengan kita semua.
Kembali ke tahun 1998, ketika saya pertama kali bertemu dengannya, saat itu ialah hari Natal pagi tepat di bulan Ramadan. Duduk di sebelahnya, berbincang dengannya dan saling bertukar catatan. Saya menyadari sosok ini, yang katanya tak bisa melihat, ialah satu-satunya orang di seluruh negri yang sungguh dapat melihat hal-hal sebagaimana mereka adanya. Beliau ialah satu-satunya manusia dengan penglihatan yang tinggal di antara kita, orang buta.
Saya menyadari pria di sebelah saya bukanlah manusia biasa. Beliau ialah pemimpin dari semua aliran yag berbeda. Beliau ialah seorang Sufi, Insan Kamil. Saya ingat kata-katanya di tape saya: "Pak Anand, semua konflik disebabkan oleh kepentingan diri. Dipicu oleh ketidakpercayaan. Kita perlu mengenal dan mengapresiasi satu sama lain, tepat seperti yang kamu katakan. Kaum muda kita harus belajar pelajaran penting ini."
Mengomentari peran agama dan hubungannya dengan negara, beliau berkata, "Esensi semua agama ialah kebersamaan. Ada sekelompok orang yang mencoba mengganti Konstitusi negara kita. Kita harus memiliki Konstitusi yang diterima semuanya, dan bukan hanya kelompok tertentu saja.
"Saya bekerja tanpa henti untuk mewujudkan harmoni di antara beragam kelompok agama. Ada sekelompok orang yang sibuk menyoroti perbedaan d antara kita. Memang ada perbedaan, tapi tak terlalu banyak. Kenapa kita tidak, sebaliknya, menyoroti kesamaan di antara kita?
"Ini ialah di mana kamu, teman-temanmu, kita semua harus terjun dan bekerja bersama!" Dan itulah yang kami lakukan.
Selama lebih dari satu dekade setelah pertemuan pertama tersebut, kami berdiri bersama. Tepatnya, beliau berdiri bersama kami, dengan semua dari kita, dalam perjuangan kita menegakkan persatuan dan keutuhan negara kita tercinta.
Apakah itu pemicu konflik agama di Jakarta atau di luar daerah; rumah ibadah diserang, dibakar dan diobrak-abrik oleh para ekstrimis; apa yang disebut undang-undang porno yang tak sensitif disahkan oleh parlemen kita yang tak paham budaya asli dan nilai-nilai lokal; atau perjuangan lainnya - laki-laki tersebut berdiri di depan kami.
Walau ringkih dan lemah, beliau selalu berada di garis depan semua kampanye kami. Ia dulu, ia kini adalah simbol perjuangan kami, perjuangan bangsa ini menuju negara demokrasi yang sejati, di mana konsep mayoritas dan minoritas tak lagi menjadi masalah.
Bukan berarti kami setuju dengan semua isu. Saya tak sepakat dengan peran politiknya. Saya menganggapnya terlalu besar, ibarat raksasa bagi seorang manusia, beliau relatif terlalu kecil untuk kursi presidensial. Saya menulis dan berkata kepadanya, "Gus, engkau adalah yang membuat pemimpin. Presiden harus datang dan menemuimu, meminta berkah atau sowan dalam bahasa Jawa. Engkau terlalu besar untuk kursi itu."
Gus Dur diam.
Beberapa bulan kemudian, menemaninya saat beliau menyantap bakso di kamarnya, saya berkata, "Gus, engkau diperlukan di luar istana. Seluruh bangsa membutuhkanmu." Beliau tetap diam.
Tapi barangkali beliau tidak diam. Barangkali saya yang tak bisa mendengarnya. Beberapa minggu kemudian, beliau keluar dari istana - sekali lagi berada di tengah-tengah kami, di tengah-tengah orang-orangnya sendiri. Juru selamat rakyat telah kembali ke tengah-tengah rakyat. Kita semua merayakan hari tersebut.
Saya ingat melihatnya di Ciganjur beberapa waktu lalu dan kami mendiskusikan sejarah dunia. Saya mengutip dari Arnold Toynbee dalam A Study of World History. Beliau begitu tertarik: "Apakah kamu mempunyai bukunya? Apa kamu punya itu?"
Beliau seperti kanak-kanakl.
Saya menjawab, "Ya, Gus, Pak." Saya selalu sulit memanggilnya Gus - "Saudara Tua" dalam dialek Jawa Timur - dan sering berakhir dengan menyapanya Pak Gus. Ekspresi yang total keliru yang membuatnya tertawa.
"Ya, Gus, tapi saya tak punya edisi lengkapnya, hanya edisi ringkasannya saja."
"Oh, itu bagus, saya harus datang ke tempatmu, dan melihatnya," beliau berkata, lagi dengan begitu polosnya. Kemudian beliau menambahkan, "Buku-buku tak boleh dipinjamkan, mereka bisa hilang." Sekali lagi beliau tertawa. Kepolosannya yang seperti kanak-kanak itu sungguh suci!
Selama satu setengah jam berikutnya, kami mendiskusikan tak ada yang lain selain buku. Saya teringat pertemuan terakhir ayah saya dengan presiden pertama Bung Karno. Beliau memiliki pengalaman yang sama. De ja vu!
Abdurrahman Wahid, berarti "pelayan Ia yang penuh kasih", ialah tafsir hidup atas keduanya, nama dan keyakinannya. Beliau melayani Tuhan dalam manusia, beliau melayani seperti para nabi, mesias, buddha dan avatar. Agamanya ialah agama cinta kasih, kedamaian yang memeluk satu dan semua.
Terlahir pada 7 September 1940, beliau meninggal pada 30 Desember 2009 dan tapi, bagaimana mungkin manusia sebesarnya bisa mati? Suaranya dan warisannya melampaui kematian. Gus Dur tetap tinggal, suaranya akan terus terdengar.
Setelah Bung Karno, beliau ialah manusia sejati dengan kesadaran nurani yang pernah terlahir di negara ini. Beliau ialah orang yang menghayati keyakinannya. Beliau tak takut menyuarakan kebenaran seperti yang dilihat dan diyakini.
Tidak, Gus Dur, jangan menyuruh saya mengatakan selamat jalan. Tidak. Engkau tak dapat mengucap selamat tinggal kecuali sampai negara ini, bangsa ini, Indonesia tercintamu sungguh berjalan dengan baik. Saat saya menulis baris ini, saya bisa merasakan kehadiranmu, saya bisa mendengarmu. Tawamu yang seperti kanak-kanak tetap bersama kami, bersama dengan rakyat Indonesia.
Saya menulis sebelumnya bahwa engkau ialah suara di padang gurun. Dan barangkali saya keliru. Karena bagaimana mungkin padang gurun tetaplah sebuah padang gurun bila suaramu didengar?
Gus Dur, engkau tetap tinggal!
Penulis ialah aktivis spiritual dan pengarang 130 buku lebih.
Sumber: http://www.thejakartapost.
English Version:
The voice in the wilderness
Anand Krishna , Jakarta | Sat, 01/02/2010 12:58 PM | Opinion
The "voice" is gone. And we are left with wilderness.
Gus Dur, the voice that made the wilderness less terrifying, shall no longer be heard. His was the voice of hope, the voice that kept the flame of hope burning in many hearts. Alas, that voice is gone . And yet, on second thought, where can it go? The echo of each and every word he ever uttered shall remain here. Right here, with you and with me - with all of us.
Back in 1998, when I first met him, it was Christmas morning right in the holy month of Ramadan. Sitting beside him, talking to him and exchanging notes. I realized the man, said to be blind, was actually the only one in the entire country who could see things as they were. He was the only man with sight living among us, the blind.
I realized the man next to me was no ordinary man. He was a leader of an altogether different genre. He was a Sufi, a man of God. I remember his words on my tape: "Pak Anand, all conflicts are caused by self-interest . Triggered by mistrust . We need to know and appreciate each other, as you rightly say . Our youth must learn this important lesson."
Commenting on the role of religion and its relation to the state, he said, "The essence of all religions is *togetherness'. There are groups of people trying to change our state's Constitution . We must have a Constitution acceptable to all, and not to any particular group only.
"I work unceasingly to bring about harmony among the different religious groups . There are groups of people busy highlighting the differences among us. There are differences, but not too many. Why shouldn't we, instead, highlight the similarities among us?
"This is where you, your friends, we all must come and work together!" And that we did.
For more than a decade after that first meeting, we stood together. Rather, he stood together with us, with all of us, in our struggle to uphold the unity and integrity of our beloved country.
Whether it was the religious-triggered conflicts in Jakarta, or outside; the houses of worship attacked, burned and ransacked by the extremists; the so-called insensitive porn bill passed by our parliament ignorant of our indigenous culture and values; or any other struggle - the man stood by us.
Even frail and weak, he was always at the forefront of all our campaigns. He was, he is, the symbol of our struggle, the struggle of this nation toward a truly democratic state, where the concept of majority and minority no longer matters.
Not that we agreed on all issues. I did not see eye to eye on his political role. I considered him too big, a giant of a man, to occupy a relatively small presidential seat. I wrote and said to him, "Gus, you are a kingmaker. Presidents must come and meet you, seek your blessings *sowan in Javanese*. You are too big for the seat."
Gus Dur was silent.
Several months later, accompanying while he ate bakso (meatballs) in his room, I said, "Gus, you are needed outside the palace. The whole nation needs you." He was still silent.
Yet perhaps he was not silent. Perhaps I could not hear him. A couple of weeks later, he was outside the palace - once again among us, among his own people. The messiah of the people had returned to the people. We all celebrated the day.
I remember seeing him in Ciganjur some time back and we discussed world history. I quoted from Arnold Toynbee's A Study of World History. He was excited: "Do you have the book? Do you have it?"
He was like a little child.
I answered, "Yes, Gus, Pak." I always had difficulty calling him Gus - "big brother" in East Java dialect - and would often end up addressing him Pak Gus. A completely wrong expression that made him chuckle.
"Yes, Gus, but I don't have the complete edition, just the abridged edition."
"Oh, that's good, I must come to your place, and see it," he said, again quite innocently. Then he added, "Books must not be lent, they get lost." Once again he chuckled. His childlike innocence was divine!
For the next half an hour, we discussed nothing but books. I was reminded of my late father's meeting with first president, Bung Karno. He had a similar experience. D*j* vu!
Abdurrahman Wahid, meaning the "servant of the compassionate one", was a living commentary of both his name and his belief. He served God in man, he served in the fashion of prophets, messiahs, the Buddha and avatars. His religion was the religion of love, of peace, which embraced one and all.
Born on Sept. 7, 1940, he died on Dec. 30, 2009 - and yet, how can a man as big as him die? His voice and his legacy defy death.. Gus Dur remains, his voice shall always be heard.
After Bung Karno, he was the truest man of conscience ever born in this country. He was a man who lived his belief. He was not afraid to voice truth as he saw and conceived it.
No, Gus Dur, don't you expect me to bid you farewell. No. You cannot farewell unless and until this country, this nation, your beloved Indonesia fares well. As I write these lines, I can feel your presence, I can hear you. Your childlike laughter remains with us, remains with the people of Indonesia.
I wrote earlier that yours was the voice in the wilderness. And yet perhaps I was wrong. For how can the wilderness remain a wilderness when your voice is heard?
Gus Dur, you remain!
The writer is a spiritual activist and author of more than 130 books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar