Hanya Butuh Ketegasan Pak Beye
Dimuat di PedomanNEWS, 17 Juni 2012
http://pedomannews.com/umum/14029-hanya-butuh-ketegasan-pak-beye
Kenapa
pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok radikal berkedok agama
terus dibiarkan pemerintah? Bahkan mulai menular ke tingkat lokal. Dalam
konteks ini, penulis sepakat dengan pendapat ketua Setara Institute.
Pemaksaan kehendak dan radikalisme hanya membutuhkan 1 langkah menuju
terorisme dan disintegrasi bangsa.
Artinya,
pembiaran negara sinonim dengan penyemaian bibit-bibit baru kelompok
jihadis tekstual. Menyitir argumen Hendardi, “Dalam situasi yang
demikian, apapun yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tidak akan dianggap
sebagai prestasi!"
SBY
acapkali berjanji akan menindak tegas organisasi kemasyarakatan (ormas)
yang bertindak anarkistis. Pasca-insiden Monas Berdarah tatkala
Perayaan Kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 silam, Presiden Yudhoyono
berkata, ”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara
harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat
Indonesia,” ujar RI 1 tersebut di Kantor Presiden (2/6/2008).
Kini
4 tahun berselang, namun ibarat kata pepatah, “Memang lidah tak
bertulang.” Janji tersebut tinggal janji belaka. Pada hemat penulis,
Indonesia ialah negara hukum. Oleh sebab itu, aparat keamanan musti
menegakkan peraturan secara konsisten lewat tindakan nyata. Bukan
sekadar himbauan.
Sebagai
orang Indonesia, penulis tidak rela republik tercinta menjadi negara
gagal. Bangsa ini didirikan para pendahulu kita tidak secara cuma-cuma.
Harta, benda, keringat, air mata, darah bahkan nyawa dikorbankan demi
memproklamasikan kemerdekaan NKRI secara politis. Kini tanggungjawab
kita semua untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa. Yakni dengan
mengupayakan kemerdekaan setiap jiwa dan kesejahteraan rakyat Indonesia
berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Sungguh
mengejutkan data dari Setara Institute. Ternyata sepanjang 2010 tak
kurang terjadi 262 kasus pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan
kekerasan berkedok agama. Sebelumnya, data yang dihimpun Moderate Muslim
Society (MMS) menyebutkan bahwa aksi barbarian ini makin sering terjadi
pasca Orde Baru tumbang. Laporan MMS 2010 mencatat 81 kasus anarkistis
berlabel agama. Melonjak 30 persen dari laporan 2009 sebanyak 59 kasus.
Ironisnya,
sepanjang 2011-2012, eskalasinya semakin meningkat pun kian beringas
(baca: sadis). Dari insiden Cikeusik (6 Februari 2011), Temanggung (8
Februari 2011), Bom Cirebon (14 April 2011), hingga konflik dengan warga
kampung Gandekan di Solo (3 Mei 2012). Ironisnya, negara dan aparat
keamanan seolah tidak berdaya ketika berhadapan dengan kelompok berlabel
agama tersebut. Bandingkan dengan “kesigapan” aparat menghalau rakyat
di Mesuji, Bima, dan mahasiswa demonstran penolakan harga BBM secara
represif.
Negeri
ini seakan - meminjam istilah Dr. Victor Silaen - wilayah yang
hampa-hukum (lawlessness situation). Senada dengan analisis pengamat
politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ari Dwipayana,
"Aksi kekerasan bernuansa agama yang terjadi dan pembiaran oleh negara
menunjukkan kegagalan negara melindungi kebebasan sipil rakyatnya."
Dokumen Perdamaian
Secara
lebih mendalam, penulis menerjemahkan surat yang ditulis oleh Ali bin
Abi Thalib r.a. Dokumen perdamaian ini dibubuhi cap tangan Baginda Nabi
Muhammad SAW. Kini disimpan dalam Perpustakaan Biara St.Catherine di
kaki Gunung Sinai, Mesir.
Biara
tertua di dunia tersebut memiliki koleksi manuskrip Kristen luar biasa
lengkap. Hanya kalah oleh koleksi Vatikan. Biara ini merupakan salah
satu warisan budaya dunia. Mereka memiliki koleksi manuskrip Kristen
sejak masa awal kelahirannya.
Para
sejarawan Muslim memverifikasi orisinalitas surat tersebut. Surat
aslinya diperoleh dari Sultan Selim I (1517). Lantas, replikanya dibuat
ulang untuk disimpan di biara terkemuka tersebut. Hingga kini, foto
naskah aslinya dapat dilihat langsung di Museum Turki.
Ternyata, pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine mengunjungi Baginda Nabi Muhammad SAW untuk meminta perlindungan. Beliau menyanggupi dengan memberikan dokumen penting. Berikut janji Beliau kepada St. Catherine dan umat Kristiani:
“Inilah
pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang menjadi perjanjian dengan mereka
umat Kristiani, di sini dan di mana pun mereka berada, kita senantiasa
bersama mereka.
Bahwasanya
aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh mengasihi mereka,
karena umat Kristiani ialah umatku juga. Dan demi Allah, aku akan
menentang siapapun yang menindas dan membuat mereka menderita. Tidak
boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristiani yang dicopot dari jabatannya ataupun pastor/pendeta diusir dari biaranya.
Tak
boleh ada seorang pun yang menghancurkan dan merusak rumah ibadah
mereka ataupun memindahkan barang dari rumah mereka ke rumah orang
Muslim. Bila ada yang melakukan hal tersebut, maka ia melanggar perintah
Allah dan Rasul-Nya sendiri.
Bahwasanya
mereka (umat Kristiani) sesungguhnya ialah sahabatku dan aku menjamin
mereka tidak mengalami apa yang membuat mereka menderita. Tidak boleh
ada yang boleh mengusir mereka pergi atau mewajibkan mereka untuk
berperang. Kaum Muslimlah yang harus berjuang untuk mereka.
Bila
seorang perempuan Kristiani menikahi pria Muslim, pernikahan itu pun
harus dilakukan atas persetujuannya. Ia juga tak boleh dilarang untuk
mengunjungi Gereja untuk berdoa.
Gereja-gereja
mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk merenovasi
gereja mereka. Dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini.
Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari
penghabisan (kiamat)." (Sumber: http://www.therevival.co.uk/forum/general/6116?page=2)
Dokumen
di atas memang bukan piagam hak asasi manusia (HAM) modern. Sebab
ditulis pada 628 M. Bahkan saat itu PBB sekalipun belum berdiri. Tapi
isinya jelas melindungi hak atas properti, kebebasan
beragama/berkeyakinan, kebebasan bekerja, dan perlindungan keamanan.
Ironisnya, kini kelompok radikal di Indonesia tak pernah membaca dokumen
ini.
Akibatnya,
mereka justru melanggengkan ketidakrukunan demi kepentingan politis dan
ekonomis. Ibarat setitik noda di kertas putih, dalam setiap agama dan
kepercayaan niscaya terdapat kelompok yang mau menang dan benar sendiri.
Mereka cenderung memfokuskan diri pada isu-isu yang bisa memecah-belah
dan menciptakan konflik di antara sesama umat manusia. Sepanjang 2.000
tahun terakhir telah terjadi 3.000 perang atas nama agama.
Dalam
konteks besar peradaban tersebut, dokumen sejarah yang memuat janji
Nabi Muhammad SAW kepada umat Kristiani tetaplah relevan. Walaupun
beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, atau menganut aliran
kepercayaan tertentu tetaplah sesama anak bangsa. Inilah manifestasi
semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Sepakat
dengan pendapat Anand Krishna, "Bagiku, Indonesia adalah Ibu Pertiwi.
Aku tidak dapat menggadaikan ibu demi surga, demi agama, demi apa saja -
apalagi demi kepingan emas yang tak bermakna. Aku lahir “lewat” ibu
kandungku, namun yang “melahirkan”ku sesungguhnya Ibu Pertiwi. Bagiku,
Dialah Wujud Ilahi yang Nyata sekaligus Tak-Nyata… Sembah Sujudku
padaMu, Ibu Pertiwi…” (Bagi-Mu Ibu Pertiwi, 2008).
Pungkasnya,
semoga budaya pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan
kita tinggalkan. Akhiri konflik berkedok agama yang menguras energi.
Saatnya berdialog dan bergotong-royong demi kemajuan republik titipan
anak-cucu ini.
Menyitir
pendapat Romo Mangunwijaya Pr (almarhum) dalam buku “Pacsa
Indonesia-Pasca Einstein” (Kanisius, 1999), “Yang mempersatukan bangsa
dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan
terdalam adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dilengkapi
horizontal oleh sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bila sikap
dasar vertikal dan horizontal ini dipahami, dihayati, dan diamalkan
konsekuen konsisten, maka buahnya ialah budaya persahabatan,
persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar