Juni 26, 2012

Hanya Butuh Ketegasan Pak Beye

Dimuat di PedomanNEWS, 17 Juni 2012
http://pedomannews.com/umum/14029-hanya-butuh-ketegasan-pak-beye

Kenapa pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok radikal berkedok agama terus dibiarkan pemerintah? Bahkan mulai menular ke tingkat lokal. Dalam konteks ini, penulis sepakat dengan pendapat ketua Setara Institute. Pemaksaan kehendak dan radikalisme hanya membutuhkan 1 langkah menuju terorisme dan disintegrasi bangsa. 

Artinya, pembiaran negara sinonim dengan penyemaian bibit-bibit baru kelompok jihadis tekstual. Menyitir argumen Hendardi, “Dalam situasi yang demikian, apapun yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tidak akan dianggap sebagai prestasi!"

SBY acapkali berjanji akan menindak tegas organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bertindak anarkistis. Pasca-insiden Monas Berdarah tatkala Perayaan Kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 silam, Presiden Yudhoyono berkata, ”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” ujar RI 1 tersebut di Kantor Presiden (2/6/2008). 

Kini 4 tahun berselang, namun ibarat kata pepatah, “Memang lidah tak bertulang.” Janji tersebut tinggal janji belaka. Pada hemat penulis, Indonesia ialah negara hukum. Oleh sebab itu, aparat keamanan musti menegakkan peraturan secara konsisten lewat tindakan nyata. Bukan sekadar himbauan. 

Sebagai orang Indonesia, penulis tidak rela republik tercinta menjadi negara gagal. Bangsa ini didirikan para pendahulu kita tidak secara cuma-cuma. Harta, benda, keringat, air mata, darah bahkan nyawa dikorbankan demi memproklamasikan kemerdekaan NKRI secara politis. Kini tanggungjawab kita semua untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa. Yakni dengan mengupayakan kemerdekaan setiap jiwa dan kesejahteraan rakyat Indonesia berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Sungguh mengejutkan data dari Setara Institute. Ternyata sepanjang 2010 tak kurang terjadi 262 kasus pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan berkedok agama. Sebelumnya, data yang dihimpun Moderate Muslim Society (MMS) menyebutkan bahwa aksi barbarian ini makin sering terjadi pasca Orde Baru tumbang. Laporan MMS 2010 mencatat 81 kasus anarkistis berlabel agama. Melonjak 30 persen dari laporan 2009 sebanyak 59 kasus.

Ironisnya, sepanjang 2011-2012, eskalasinya semakin meningkat pun kian beringas (baca: sadis). Dari insiden Cikeusik (6 Februari 2011), Temanggung (8 Februari 2011), Bom Cirebon (14 April 2011), hingga konflik dengan warga kampung Gandekan di Solo (3 Mei 2012). Ironisnya, negara dan aparat keamanan seolah tidak berdaya ketika berhadapan dengan kelompok berlabel agama tersebut. Bandingkan dengan “kesigapan” aparat menghalau rakyat di Mesuji, Bima, dan mahasiswa demonstran penolakan harga BBM secara represif. 

Negeri ini seakan - meminjam istilah Dr. Victor Silaen - wilayah yang hampa-hukum (lawlessness situation). Senada dengan analisis pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ari Dwipayana, "Aksi kekerasan bernuansa agama yang terjadi dan pembiaran oleh negara menunjukkan kegagalan negara melindungi kebebasan sipil rakyatnya." 

Dokumen Perdamaian
 
Secara lebih mendalam, penulis menerjemahkan surat yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Dokumen perdamaian ini dibubuhi cap tangan Baginda Nabi Muhammad SAW. Kini disimpan dalam Perpustakaan Biara St.Catherine di kaki Gunung Sinai, Mesir. 

Biara tertua di dunia tersebut memiliki koleksi manuskrip Kristen luar biasa lengkap. Hanya kalah oleh koleksi Vatikan. Biara ini merupakan salah satu warisan budaya dunia. Mereka memiliki koleksi manuskrip Kristen sejak masa awal kelahirannya. 

Para sejarawan Muslim memverifikasi orisinalitas surat tersebut. Surat aslinya diperoleh dari Sultan Selim I (1517). Lantas, replikanya dibuat ulang untuk disimpan di biara terkemuka tersebut. Hingga kini, foto naskah aslinya dapat dilihat langsung di Museum Turki. 

Ternyata, pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine mengunjungi Baginda Nabi Muhammad SAW untuk meminta perlindungan. Beliau menyanggupi dengan memberikan dokumen penting. Berikut janji Beliau kepada St. Catherine dan umat Kristiani:

“Inilah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang menjadi perjanjian dengan mereka umat Kristiani, di sini dan di mana pun mereka berada, kita senantiasa bersama mereka. 

Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh mengasihi mereka, karena umat Kristiani ialah umatku juga. Dan demi Allah, aku akan menentang siapapun yang menindas dan membuat mereka menderita. Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristiani yang dicopot dari jabatannya ataupun pastor/pendeta diusir dari biaranya. 

Tak boleh ada seorang pun yang menghancurkan dan merusak rumah ibadah mereka ataupun memindahkan barang dari rumah mereka ke rumah orang Muslim. Bila ada yang melakukan hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya sendiri. 

Bahwasanya mereka (umat Kristiani) sesungguhnya ialah sahabatku dan aku menjamin mereka tidak mengalami apa yang membuat mereka menderita. Tidak boleh ada yang boleh mengusir mereka pergi atau mewajibkan mereka untuk berperang. Kaum Muslimlah yang harus berjuang untuk mereka. 

Bila seorang perempuan Kristiani menikahi pria Muslim, pernikahan itu pun harus dilakukan atas persetujuannya. Ia juga tak boleh dilarang untuk mengunjungi Gereja untuk berdoa. 

Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk merenovasi gereja mereka. Dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat)." (Sumber: http://www.therevival.co.uk/forum/general/6116?page=2) 

Dokumen di atas memang bukan piagam hak asasi manusia (HAM) modern. Sebab ditulis pada 628 M. Bahkan saat itu PBB sekalipun belum berdiri. Tapi isinya jelas melindungi hak atas properti, kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan bekerja, dan perlindungan keamanan. Ironisnya, kini kelompok radikal di Indonesia tak pernah membaca dokumen ini. 

Akibatnya, mereka justru melanggengkan ketidakrukunan demi kepentingan politis dan ekonomis. Ibarat setitik noda di kertas putih, dalam setiap agama dan kepercayaan niscaya terdapat kelompok yang mau menang dan benar sendiri. Mereka cenderung memfokuskan diri pada isu-isu yang bisa memecah-belah dan menciptakan konflik di antara sesama umat manusia. Sepanjang 2.000 tahun terakhir telah terjadi 3.000 perang atas nama agama. 

Dalam konteks besar peradaban tersebut, dokumen sejarah yang memuat janji Nabi Muhammad SAW kepada umat Kristiani tetaplah relevan. Walaupun beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, atau menganut aliran kepercayaan tertentu tetaplah sesama anak bangsa. Inilah manifestasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. 

Sepakat dengan pendapat Anand Krishna, "Bagiku, Indonesia adalah Ibu Pertiwi. Aku tidak dapat menggadaikan ibu demi surga, demi agama, demi apa saja - apalagi demi kepingan emas yang tak bermakna. Aku lahir “lewat” ibu kandungku, namun yang “melahirkan”ku sesungguhnya Ibu Pertiwi. Bagiku, Dialah Wujud Ilahi yang Nyata sekaligus Tak-Nyata… Sembah Sujudku padaMu, Ibu Pertiwi…” (Bagi-Mu Ibu Pertiwi, 2008). 

Pungkasnya, semoga budaya pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan kita tinggalkan. Akhiri konflik berkedok agama yang menguras energi. Saatnya berdialog dan bergotong-royong demi kemajuan republik titipan anak-cucu ini. 

Menyitir pendapat Romo Mangunwijaya Pr (almarhum) dalam buku “Pacsa Indonesia-Pasca Einstein” (Kanisius, 1999), “Yang mempersatukan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bila sikap dasar vertikal dan horizontal ini dipahami, dihayati, dan diamalkan konsekuen konsisten, maka buahnya ialah budaya persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan…”

Tidak ada komentar: