Maret 22, 2013

Ikhtiar Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu 23 Maret 2013

Judul: Koruptorrajim! (Surat-surat Cinta untuk KPK)
Penulis: Penulis Bersama
Penerbit: IRCiSoD (Diva Press) Yogyakarta
Cetakan: 1/Desember 2012
Tebal: 193 halaman
ISBN: 9786027663787
Harga: Rp30.000

Pada zaman orde lama, korupsi dilakukan di bawah meja. Lalu saat orde baru, korupsi dilakukan di atas meja. Ironisnya pada era reformasi, mejanya pun dikorupsi. Begitulah seloroh ihwal penyakit akut yang menggerogoti tubuh molek Ibu Pertiwi.

Para penulis “Koruptorajim!” bersepakat bahwa akar pemiskinan sistemis di Indonesia ialah korupsi. Pemasukan negara dari pajak yang semestinya dipakai untuk kesejahteraan rakyat justru dirampas segelintir orang. Sehingga Karl Kraus, jurnalis berkebangsaan Austria pun mengatakan, “Korupsi lebih buruk ketimbang prostitusi! (halaman 83).”

Kini korupsi juga telah merambah dunia pendidikan. Nur Izzatun Nisa menceritakan beberapa waktu silam sebuah SD di Rawamangun Jakarta tiba-tiba atapnya roboh karena bahan bangunan yang digunakan tak layak pakai. Selama ini memang banyak aliran dana renovasi bocor di tengah jalan.

Menurut Alumnus Universitas Paramadina tersebut, membiarkan mata anak-anak yang berbinar penuh semangat tiba-tiba redup karena tidak lagi memiliki ruang kelas merupakan kejahatan paling keji. Koruptor telah menghancurkan semangat belajar generasi penerus bangsa tersebut. Padahal salah satu kunci sukses ialah pendidikan.

Buku setebal 193 halaman ini juga melansir data ICW (Indonesian Corruption Watch) pada Januari 2012. Sepanjang 1999-2011 terdapat 233 kasus korupsi di ranah pencerdasan kehidupan bangsa (baca: pendidikan). Dari praktik koruptif tersebut, tak kurang Rp98,3 miliar menguap akibat praktik penyimpangan anggaran. DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk pembenahan infrastruktur sekolah justru dipakai untuk melunasi utang pribadi.

Dalam konteks karut-marut tersebut, peran KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi sangat signifikan. Lembaga ini menjadi penebar asa bagi segenap rakyat Indonesia.  Perilaku koruptif harus dilawan secara kolektif. Republik tercinta masih bisa diselamatkan. Caranya ialah dengan menangkap para koruptor dan menyita harta hasil korupsi mereka. Alhasil, setiap rupiah uang negara dapat dipakai dengan tepat demi menata masa depan yang gemilang.

Ironisnya, KPK malah diserang dari segala penjuru. Dengan dalil hukum, politik, konspirasi, hingga kiriminalisasi pimpinannya, semisal dalam kasus Antasari Azhar. Pun sudah jadi rahasia umum bahwa para perongrong KPK tak lain mereka yang haus kekayaan dan memberhalakan kursi. Untung, KPK tidak berjalan sendiri. Di belakang Abraham Samad dkk, jutaan rakyat dari Sabang sampai Merauke konsisten mendukung.

Sistematikanya, buku ini memuat 18 surat cinta yang ditulis oleh kontributor dengan aneka latar belakang sosial dan profesi. Dari mahasiswa, aktivis perempuan, pengajar, pekerja swasta, ibu rumah tangga, seniman, dan sebagainya. Semua dikemas dalam bentuk surat cinta. Sebuah representasi harapan rakyat agar KPK maju terus mengganyang para koruptor tanpa takut dan tidak tebang pilih. Sebab senada dengan slogan suporter Liverpool, “You'll never walk alone…” Kami selalu bersamamu!

Satu konsepsi menarik ditawarkan Ika Ayu, aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) ini mendapat ide tatkala berdiskusi santai di angkringan. Koruptor ibarat hama tanaman yang  harus dibasmi. Tapi penggunaan pestisida justru meracuni tanah dan membuat mereka bermutasi. Dewasa ini, para koruptor gencar mencari celah dan strategi baru - serta yang terpenting - menggalang dukungan, termasuk dari segelintir oknum penegak hukum (halaman 145).

Solusinya, segenap elemen bangsa harus melawan korupsi dengan metode organik. KPK seyogianya memiliki lebih banyak mitra. Bahkan sampai ke tingkat RT dan kampung sekalipun. Ia terinspirasi oleh cerpen karya Anton Chekov berjudul Satu-satunya Cara. Alkisah, seorang pengusaha merasa was-was dengan tingkah kasirnya yang bernama Ivan Petrovich. Awalnya, si pegawai bekerja teratur, rapi, dan selalu beres. Tapi pada suatu ketika, ia ketahuan mengorupsi uang kas perusahaan untuk memenuhi kebutuhannya.

Alih-alih memecat si pegawai, sang pengusaha memilih membayari seluruh kebutuhan anak buahnya agar tidak lagi bertindak korup. Dari tiket menonton teater, bertamasya ke ibu kota dengan menumpang troika*, dan segala fasilitas mewah lainnya diberikan kepada Ivan. Karena segala kebutuhan tercukupi, pada akhir tahun kas perusahaan aman.

Pertanyaan reflektifnya, bagaimana jika kebijakan semacam itu diterapkan di Indonesia? Berapa besaran dana yang harus dikucurkan untuk memenuhi kebutuhan para pejabat? Karena para koruptor di negeri ini bukan orang miskin yang kelaparan, tapi kaum berkantong tebal yang tetap haus kekayaan. Pun mereka tidak lagi menganggap korupsi sebagai tindak kriminal tapi sebuah gengsi (halaman 140).

Buku “Koruptorajim!” merupakan ikhtiar pemberantasan korupsi di Indonesia. Layak dibaca oleh siapa saja yang masih menyisakan asa untuk melihat bangsa ini jadi lebih sejahtera. Selamat membaca!

*troika: kereta salju yang ditarik seekor kuda.

Tidak ada komentar: