“Apa yang kau sadari bisa kau kendalikan, apa yang tak kau sadari mengendalikanmu.” – Anonim
Pada medio tahun 2004 silam, bapak saya sakit keras. Ia sampai harus dirawat inap di ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Imanuel, Bandar Lampung. Saat itu, saya masih studi S1 di Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Bapak memang sudah lama mengidap diabetes, kalau sedang kambuh kadar gulanya bisa mencapai 400.
Tepat di bagian leher terdapat bisul yang baru saja pecah. Alhasil, luka tersebut menyebabkan infeksi dan peradangan di sekitar bagian kepala. Selama berhari-hari ia tak sadarkan diri, karena kinerja sel-sel syaraf terganggu.
Tatkala berada di ruang ICU itu, kedua kaki dan kedua tangannya harus diikat dengan kain ke ranjang. Sebab setiap kali kesakitan mendera, tenaganya untuk meronta kuat sekali. Jarum dan selang infus yang menacap di urat nadi bisa terlepas jika dibiarkan bebas.
Mendengar penuturan tersebut dari salah seorang kerabat, saya memutuskan segera pulang ke Lampung. Kebetulan saya sedang liburan semester dan ada tetangga yang membawa mobil sedang berkunjung ke Yogyakarta, sehingga saya bisa menumpang pulang dengan mereka.
Selama berada di dalam perjalanan saya merasa begitu gelisah. Telepon genggam selalu berdering dan membawa kabar terkini dari rumah sakit. Perjalanan 20 jam lewat jalur darat terasa begitu lama. Sesampainya di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai, saya langsung menuju ke RS yang berada tepat di tepi jalur lintas Sumatra Jl. Soekarno Hatta, Way Halim.
Setengah tak percaya menyaksikan kondisi bapak saat itu. Kepalanya bengkak seperti penderita hidrosepalus. Ia tak bisa diajak berkomunikasi sama sekali. Selang infus bergelantungan di sekitar ranjang. Monitor pendeteksi detak jantung tiada henti berkedap-kedip di ruang ICU. Kaki dan tangan bapak masih diikat, di beberapa bagian tangan dan kaki tampak menyebabkan luka lecet.
Di ruang ICU tersebut ada 3 pasien yang semuanya dalam kondisi kritis. Keesokan harinya ketika saya kembali menjenguk kini tinggal seorang saja, yakni bapak saya. Menurut para perawat dua pasien lainnya sudah pulang ke haribaan-Nya.
Jujur saya merasa takut sekali ditinggalkan oleh bapak. Sedikit cerita tentang keluarga kecil kami, saya anak pertama dari 2 bersaudara. Adik saya perempuan dan masih sekolah di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang. Kami terlahir dari rahim yang berbeda. Ibu kandung saya sudah meninggal saat saya masih berusia 2 tahun. Lantas, bapak baru menikah lagi saat saya duduk di bangku kelas 4 SD Sejahtera 1 Kedaton. Dari perkawinan dengan ibu yang baru, lahirlah adik saya tersebut.
Trauma menyakitkan akibat ditinggal ibu kandung hadir kembali, kali ini kian mencekam karena kondisi bapak pun begitu kritis. “Saya tak mau ditinggalkan oleh orang-orang tercinta untuk kedua kalinya,” begitu ungkapan batin saya saat itu. Apalagi bapak juga merupakan tulang punggung keluarga kami.
Berawal dari SMS
Singkat cerita, ketika hati masih dalam keadaan gundah gulana, saya menerima sms dari Liny Tjeris, seorang fasilitator Neo Kundalini Yoga dan asisten Anand Krishna di Jakarta. Isinya undangan acara open house di Anand Ashram Sunter, Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta 14350.
Sejak awal tahun 2004, saya memang mengikuti latihan meditasi dan pemberdayaan diri di Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar. Tapi saat itu, namanya masih Millenia Ashram, karena dikelola oleh salah seorang pembaca buku dan sahabat Anand Krishna.
Salah satu buku panduannya ialah Seni Memberdaya Diri 1 untuk Manajemen Stres & Neo Zen Reiki untuk Kesehatan Jasmani dan Rohani, karya Anand Krishna. Sejak kali pertama membacanya, saya ingin sekali mengikuti program attunement Neo Zen Reiki 1st degree. Tapi karena belum ada biaya, saya terus menunda keberangkatan ke Jakarta.
Nah kali ini, niat tersebut kian membara, terutama pasca melihat kondisi terakhir bapak di ICU. Dokter dan perawat yang saya tanyai pun secara implisit menyiratkan bahwa kondisi bapak nyaris tak tertolong. Karena infeksi di bagian leher sudah menjalar ke sel-sel syaraf di otak.
“Saya harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti open house dan attunement Neo Zen Reiki,” tekad saya sudah bulat dalam hati. Lalu, malamnya saya berpamitan dengan ibu dan keluarga yang menjaga di Rumah Sakit. Karena besok pagi-pagi sekali saya akan berangkat ke Jakarta.
Saat subuh saya sudah berdiri di tepi jalan antar lintas Sumatra, menanti bus arah ke pelabuhan Bakauheni. Acara open house diadakan pada Sabtu mulai jam 16.00-17.30 WIB, kemudian program attunement diadakan pada hari Minggu pagi.
Ini kali pertama saya hendak ke Anand Ashram Sunter, panduan saya hanya rute yang terpampang di website http://www.anandashram.or.id/index.php?id=centres/jakarta
Saya sampai di lokasi sekitar jam 2 siang, jadi masih sepi belum ada pengunjung sama sekali. Lalu, saya kembali ke jalan raya dan menumpang mandi di sebuah POM Bensin, makan siang di warung tegal dan beristirahat sejenak di sebuah teras Mushola yang ada di daerah Sunter tersebut.
Saat open house dimulai begitu banyak peserta yang datang. Tak hanya dari Jakarta, tapi banyak juga yang dari luar kota. Saat itu, kami berlatih Voice Culturing (membudayakan suara). Anand Krishna masih memfasilitasi langsung latihan pemberdayaan diri tersebut. Lantas, kami bernyanyi dan menari bersama. Acara ditutup dengan sharing, diskusi dan tanya-jawab.
Rasanya lega sekali pasca open house, kepanikan karena trauma takut ditinggal orang tercinta jauh berkurang. Lalu, saya mendaftar untuk mengikuti program attunement Neo Zen Reiki 1st degree. Saat itu tarifnya kalau tak salah Rp400.000, sekali attunement bisa bermanfaat seumur hidup.
Proses healing dengan teknik sentuhan tersebut memang dipopulerkan kembali oleh Anand Krishna. Pasca sembuh dari penyakit Leukemia (kanker darah) di tahun 1991, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut berbagi pengalaman kepada masyarakat luas lewat program attunement Neo Zen Reiki 1st degree dan 2nd degree. Tujuannya untuk memfasilitasi perubahan pola energi seseorang agar lebih seirama dengan gelombang alam semesta.
Neo Zen Reiki hanya satu dari 300-an lebih metode pemberdayaan diri yang dikembangkan Anand Krishna. Teknik kuno tersebut dulu dipopulerkan oleh Sensei Usui di Jepang (kurang lebih seratus tahun silam), Teknik penyembuhan Neo Zen Reiki meminimalisasikan penggunaan mind. Inilah aspek pembeda dengan metode konsentrasi dan visualisasi.
Prinsipnya ialah, “Alam merupakan medan energi yang luar biasa melimpah bagi kita, dan kalau kita berlaku sebagai Anak Allah yang hormat terhadap Sang Ibu, kita akan selalu dipelihara oleh-Nya. Energi Murni Alam Semesta itu akan membuat kesehatan jiwa dan raga menjadi suatu yang sudah dimiliki dan Anda dapat mengelola kesehatan jiwa raga Anda sendiri… tak perlu orang lain!” (Seni Memberdayakan Diri 1 - Meditasi dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama, 1998)
Attunement
Karena saat itu belum ada tempat untuk menginap, saya kembali ke Mushola di dekat jalan raya. Di terasnya saya merebahkan diri dan tidur pulas sekali. Keesokan harinya, saya bergegas ke POM Bensin untuk menumpang mandi, mampir di warung tegal untuk sarapan dan berangkat ke Anand Ashram Sunter.
Tak begitu banyak peserta yang mengikuti attunement, tak sampai sepuluh orang. Beberapa mengikuti yang 1st degree, beberapa lainnya ada yang mengambil attunement 2nd degree. Kalau yang 1st degree harus bertemu dan menyentuh langsung saat melakukan terapi Neo Zen Reiki, sedangkan kalau 2nd degree bisa jarak jauh.
Setelah proses attunement oleh Liny Tjeris dan Anand Krishna, Liny Tjeris mengingatkan kembali prinsip dasar dari terapi Neo Zen Reiki. Intinya kita hanya alat di tangan Sang Tabib Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Untuk info lebih lajut klik di http://www.anandashram.or.id/index.php?id=programs/reiki
Kemudian, teknis terapi juga dijelaskan lewat peragaan. Kami berpasangan dengan sesama jenis, pria dengan pria, wanita dengan wanita. Lalu bergantian menjadi terapis dan yang diterapi, sehingga bisa memiliki pengalaman langsung. Sebelum dan sesudah terapi kami juga berdoa menurut keyakinan dan agama masing-masing. Acara pagi itu diakhiri dengan pembagian sertifikat kepada para peserta dan makan siang bersama dengan menu vegetarian.
Pasca bersalaman dan berpamitan, saya segera pulang ke Lampung, selama 21 hari berikutnya terhitung sejak 24 Juni 2004 saya harus mempraktikkan latihan Neo Zen Reiki tanpa putus sama sekali. Ketika dalam perjalanan pulang, sudah terbayang bahwa saya akan langsung melakukan terapi pertama kepada bapak di Rumah Sakit.
Saya naik bis menuju pelabuhan Merak, menyeberangi selat Sunda menuju Bakauheni dengan kapal laut dan akhirnya naik bis lagi hingga tiba di depan RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung. Saya beristirahat sejenak, mandi, dan juga makan malam, saat itu hari memang sudah mulai gelap.
Praktik Pertama
Lantas, saya memberanikan diri mengendap berjalan menuju ke ruang ICU. Di sana ada seorang perawat yang piket menjaga bapak. Awalnya, ia melarang saya masuk. Tapi setelah saya jelaskan bahwa saya anaknya, ia akhirnya mau mengalah juga.
Sebelum melakukan praktik Neo Zen Reiki saya memang harus mencuci tangan dengan garam kasar, kemudian baru menyentuh mulai dari mata, pipi, bagian belakang kepala, leher, dada, perut, paha, punggung, pinggang, lutut, dan telapak kaki. Pada bagian leher yang diperban, saya menyentuhnya dengan lembut agak lama.
Tak terasa setengah jam lebih waktu telah berlalu. Sebagai seorang Kristiani, saya juga mengawali dan mengakhiri dengan membuat tanda kemenangan Kristus, doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan. Setelah selesai, saya mencuci tangan kembali dengan garam kasar. Dan…tak lupa berpamitan dengan perawat serta mengucapkan banyak terimakasih atas ijinnya.
Malam itu saya menginap di Rumah Sakit, menemani ibu yang selama ini menjaga bapak sendirian. Kami tidur selonjor di bangku-bangku ruang tunggu pasien. Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi sekali. Kali ini. saya mempraktikkan Neo Zen Reiki untuk diri sendiri di halaman taman Rumah Sakit Imanuel.
Mujarab
Setelah sarapan, ketika mengunjungi bapak lagi di ruang ICU pagi itu, ternyata bapak sudah sadar. Ia bahkan bisa diajak bercakap-cakap. Menurut dokter dan perawat di sana, kondisi bapak telah membaik, ia telah melewati masa kritis. Padahal kabarnya ketika saya masih di Jakarta, mereka sempat panik karena selama 3 menit, nafas bapak sudah berhenti, begitupula detak jantungnya tak terdeksi lagi di layar monitor.
Sore harinya, bapak sudah boleh pindah ke kamar opname biasa, tak lagi di ICU. Saat peralihan antara petang dan malam, saya kembali mempraktikkan Neo Zen Reiki ke bapak. Menurut penjelasan Liny Tjeris saat pelatihan di Jakarta, waktu paling tepat untuk melakukannya memang saat jam-jam peralihan antara malam dan pagi hari (Subuh) serta peralihan antara petang dan malam hari (Maghrib). Kenapa? Karena saat itu kondisi alam begitu tenang dan mendukung penyelarasan diri dengan gelombang semesta.
Tak sampai seminggu di ruang opname, bapak sudah boleh pulang. Luka bekas bisul yang meletus di lehernya sudah mengering. Kadar gulanya juga sudah normal. Memang berat badannya turun drastis, sebelum sakit 60 kg dan jadi tinggal 45 kg saat keluar dari Rumah Sakit. Susutnya 15 kg selama 16 hari. Jadi rata-rata sehari berkurang 1 kg.
Kini bapak sudah pensiun dari tugasnya mengajar mata pelajaran Biologi di SMPN 1 Rawa Laut, Bandar Lampung. Ia menjadi guru sejak tahun 1978-2011. Lalu, bapak memilih menghabiskan masa senja di Yogyakarta kembali ke kampung halamannya di kota Gudeg. Ia masih sehat dan bisa bermain badminton. Terimakasih Tuhan atas kesempatan bagi kami untuk tetap bersama hingga tulisan ini dibuat.
Sebagai wujud syukur kepada Sang Pemberi Hidup, saya terus mempraktikkan Neo Zen Reiki 1st degree bagi diri sendiri, istri, keluarga, dan siapa saja yang membutuhkan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan. Selain itu, saya juga bercita-cita untuk mengikuti program attunement 2nd degree. Terimakasih Anand Krishna, terimakasih Liny Tjeris yang telah mengajari saya teknik penyembuhan yang sungguh migunani tumraping liyan ini. God bless you all…
Pada medio tahun 2004 silam, bapak saya sakit keras. Ia sampai harus dirawat inap di ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Imanuel, Bandar Lampung. Saat itu, saya masih studi S1 di Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta. Bapak memang sudah lama mengidap diabetes, kalau sedang kambuh kadar gulanya bisa mencapai 400.
Tepat di bagian leher terdapat bisul yang baru saja pecah. Alhasil, luka tersebut menyebabkan infeksi dan peradangan di sekitar bagian kepala. Selama berhari-hari ia tak sadarkan diri, karena kinerja sel-sel syaraf terganggu.
Tatkala berada di ruang ICU itu, kedua kaki dan kedua tangannya harus diikat dengan kain ke ranjang. Sebab setiap kali kesakitan mendera, tenaganya untuk meronta kuat sekali. Jarum dan selang infus yang menacap di urat nadi bisa terlepas jika dibiarkan bebas.
Mendengar penuturan tersebut dari salah seorang kerabat, saya memutuskan segera pulang ke Lampung. Kebetulan saya sedang liburan semester dan ada tetangga yang membawa mobil sedang berkunjung ke Yogyakarta, sehingga saya bisa menumpang pulang dengan mereka.
Selama berada di dalam perjalanan saya merasa begitu gelisah. Telepon genggam selalu berdering dan membawa kabar terkini dari rumah sakit. Perjalanan 20 jam lewat jalur darat terasa begitu lama. Sesampainya di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai, saya langsung menuju ke RS yang berada tepat di tepi jalur lintas Sumatra Jl. Soekarno Hatta, Way Halim.
Setengah tak percaya menyaksikan kondisi bapak saat itu. Kepalanya bengkak seperti penderita hidrosepalus. Ia tak bisa diajak berkomunikasi sama sekali. Selang infus bergelantungan di sekitar ranjang. Monitor pendeteksi detak jantung tiada henti berkedap-kedip di ruang ICU. Kaki dan tangan bapak masih diikat, di beberapa bagian tangan dan kaki tampak menyebabkan luka lecet.
Di ruang ICU tersebut ada 3 pasien yang semuanya dalam kondisi kritis. Keesokan harinya ketika saya kembali menjenguk kini tinggal seorang saja, yakni bapak saya. Menurut para perawat dua pasien lainnya sudah pulang ke haribaan-Nya.
Jujur saya merasa takut sekali ditinggalkan oleh bapak. Sedikit cerita tentang keluarga kecil kami, saya anak pertama dari 2 bersaudara. Adik saya perempuan dan masih sekolah di SMPN 1 Rawa Laut, Tanjung Karang. Kami terlahir dari rahim yang berbeda. Ibu kandung saya sudah meninggal saat saya masih berusia 2 tahun. Lantas, bapak baru menikah lagi saat saya duduk di bangku kelas 4 SD Sejahtera 1 Kedaton. Dari perkawinan dengan ibu yang baru, lahirlah adik saya tersebut.
Trauma menyakitkan akibat ditinggal ibu kandung hadir kembali, kali ini kian mencekam karena kondisi bapak pun begitu kritis. “Saya tak mau ditinggalkan oleh orang-orang tercinta untuk kedua kalinya,” begitu ungkapan batin saya saat itu. Apalagi bapak juga merupakan tulang punggung keluarga kami.
Berawal dari SMS
Singkat cerita, ketika hati masih dalam keadaan gundah gulana, saya menerima sms dari Liny Tjeris, seorang fasilitator Neo Kundalini Yoga dan asisten Anand Krishna di Jakarta. Isinya undangan acara open house di Anand Ashram Sunter, Jl. Sunter Mas Barat II-E, Block H-10/1, Jakarta 14350.
Sejak awal tahun 2004, saya memang mengikuti latihan meditasi dan pemberdayaan diri di Anand Krishna Centre (AKC) Joglosemar. Tapi saat itu, namanya masih Millenia Ashram, karena dikelola oleh salah seorang pembaca buku dan sahabat Anand Krishna.
Salah satu buku panduannya ialah Seni Memberdaya Diri 1 untuk Manajemen Stres & Neo Zen Reiki untuk Kesehatan Jasmani dan Rohani, karya Anand Krishna. Sejak kali pertama membacanya, saya ingin sekali mengikuti program attunement Neo Zen Reiki 1st degree. Tapi karena belum ada biaya, saya terus menunda keberangkatan ke Jakarta.
Nah kali ini, niat tersebut kian membara, terutama pasca melihat kondisi terakhir bapak di ICU. Dokter dan perawat yang saya tanyai pun secara implisit menyiratkan bahwa kondisi bapak nyaris tak tertolong. Karena infeksi di bagian leher sudah menjalar ke sel-sel syaraf di otak.
“Saya harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti open house dan attunement Neo Zen Reiki,” tekad saya sudah bulat dalam hati. Lalu, malamnya saya berpamitan dengan ibu dan keluarga yang menjaga di Rumah Sakit. Karena besok pagi-pagi sekali saya akan berangkat ke Jakarta.
Saat subuh saya sudah berdiri di tepi jalan antar lintas Sumatra, menanti bus arah ke pelabuhan Bakauheni. Acara open house diadakan pada Sabtu mulai jam 16.00-17.30 WIB, kemudian program attunement diadakan pada hari Minggu pagi.
Ini kali pertama saya hendak ke Anand Ashram Sunter, panduan saya hanya rute yang terpampang di website http://www.anandashram.or.id/index.php?id=centres/jakarta
Saya sampai di lokasi sekitar jam 2 siang, jadi masih sepi belum ada pengunjung sama sekali. Lalu, saya kembali ke jalan raya dan menumpang mandi di sebuah POM Bensin, makan siang di warung tegal dan beristirahat sejenak di sebuah teras Mushola yang ada di daerah Sunter tersebut.
Saat open house dimulai begitu banyak peserta yang datang. Tak hanya dari Jakarta, tapi banyak juga yang dari luar kota. Saat itu, kami berlatih Voice Culturing (membudayakan suara). Anand Krishna masih memfasilitasi langsung latihan pemberdayaan diri tersebut. Lantas, kami bernyanyi dan menari bersama. Acara ditutup dengan sharing, diskusi dan tanya-jawab.
Rasanya lega sekali pasca open house, kepanikan karena trauma takut ditinggal orang tercinta jauh berkurang. Lalu, saya mendaftar untuk mengikuti program attunement Neo Zen Reiki 1st degree. Saat itu tarifnya kalau tak salah Rp400.000, sekali attunement bisa bermanfaat seumur hidup.
Proses healing dengan teknik sentuhan tersebut memang dipopulerkan kembali oleh Anand Krishna. Pasca sembuh dari penyakit Leukemia (kanker darah) di tahun 1991, pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) tersebut berbagi pengalaman kepada masyarakat luas lewat program attunement Neo Zen Reiki 1st degree dan 2nd degree. Tujuannya untuk memfasilitasi perubahan pola energi seseorang agar lebih seirama dengan gelombang alam semesta.
Neo Zen Reiki hanya satu dari 300-an lebih metode pemberdayaan diri yang dikembangkan Anand Krishna. Teknik kuno tersebut dulu dipopulerkan oleh Sensei Usui di Jepang (kurang lebih seratus tahun silam), Teknik penyembuhan Neo Zen Reiki meminimalisasikan penggunaan mind. Inilah aspek pembeda dengan metode konsentrasi dan visualisasi.
Prinsipnya ialah, “Alam merupakan medan energi yang luar biasa melimpah bagi kita, dan kalau kita berlaku sebagai Anak Allah yang hormat terhadap Sang Ibu, kita akan selalu dipelihara oleh-Nya. Energi Murni Alam Semesta itu akan membuat kesehatan jiwa dan raga menjadi suatu yang sudah dimiliki dan Anda dapat mengelola kesehatan jiwa raga Anda sendiri… tak perlu orang lain!” (Seni Memberdayakan Diri 1 - Meditasi dan Neo Zen Reiki, Gramedia Pustaka Utama, 1998)
Attunement
Karena saat itu belum ada tempat untuk menginap, saya kembali ke Mushola di dekat jalan raya. Di terasnya saya merebahkan diri dan tidur pulas sekali. Keesokan harinya, saya bergegas ke POM Bensin untuk menumpang mandi, mampir di warung tegal untuk sarapan dan berangkat ke Anand Ashram Sunter.
Tak begitu banyak peserta yang mengikuti attunement, tak sampai sepuluh orang. Beberapa mengikuti yang 1st degree, beberapa lainnya ada yang mengambil attunement 2nd degree. Kalau yang 1st degree harus bertemu dan menyentuh langsung saat melakukan terapi Neo Zen Reiki, sedangkan kalau 2nd degree bisa jarak jauh.
Setelah proses attunement oleh Liny Tjeris dan Anand Krishna, Liny Tjeris mengingatkan kembali prinsip dasar dari terapi Neo Zen Reiki. Intinya kita hanya alat di tangan Sang Tabib Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Untuk info lebih lajut klik di http://www.anandashram.or.id/index.php?id=programs/reiki
Kemudian, teknis terapi juga dijelaskan lewat peragaan. Kami berpasangan dengan sesama jenis, pria dengan pria, wanita dengan wanita. Lalu bergantian menjadi terapis dan yang diterapi, sehingga bisa memiliki pengalaman langsung. Sebelum dan sesudah terapi kami juga berdoa menurut keyakinan dan agama masing-masing. Acara pagi itu diakhiri dengan pembagian sertifikat kepada para peserta dan makan siang bersama dengan menu vegetarian.
Pasca bersalaman dan berpamitan, saya segera pulang ke Lampung, selama 21 hari berikutnya terhitung sejak 24 Juni 2004 saya harus mempraktikkan latihan Neo Zen Reiki tanpa putus sama sekali. Ketika dalam perjalanan pulang, sudah terbayang bahwa saya akan langsung melakukan terapi pertama kepada bapak di Rumah Sakit.
Saya naik bis menuju pelabuhan Merak, menyeberangi selat Sunda menuju Bakauheni dengan kapal laut dan akhirnya naik bis lagi hingga tiba di depan RS Imanuel Way Halim Bandar Lampung. Saya beristirahat sejenak, mandi, dan juga makan malam, saat itu hari memang sudah mulai gelap.
Praktik Pertama
Lantas, saya memberanikan diri mengendap berjalan menuju ke ruang ICU. Di sana ada seorang perawat yang piket menjaga bapak. Awalnya, ia melarang saya masuk. Tapi setelah saya jelaskan bahwa saya anaknya, ia akhirnya mau mengalah juga.
Sebelum melakukan praktik Neo Zen Reiki saya memang harus mencuci tangan dengan garam kasar, kemudian baru menyentuh mulai dari mata, pipi, bagian belakang kepala, leher, dada, perut, paha, punggung, pinggang, lutut, dan telapak kaki. Pada bagian leher yang diperban, saya menyentuhnya dengan lembut agak lama.
Tak terasa setengah jam lebih waktu telah berlalu. Sebagai seorang Kristiani, saya juga mengawali dan mengakhiri dengan membuat tanda kemenangan Kristus, doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan. Setelah selesai, saya mencuci tangan kembali dengan garam kasar. Dan…tak lupa berpamitan dengan perawat serta mengucapkan banyak terimakasih atas ijinnya.
Malam itu saya menginap di Rumah Sakit, menemani ibu yang selama ini menjaga bapak sendirian. Kami tidur selonjor di bangku-bangku ruang tunggu pasien. Keesokan harinya, saya bangun pagi-pagi sekali. Kali ini. saya mempraktikkan Neo Zen Reiki untuk diri sendiri di halaman taman Rumah Sakit Imanuel.
Mujarab
Setelah sarapan, ketika mengunjungi bapak lagi di ruang ICU pagi itu, ternyata bapak sudah sadar. Ia bahkan bisa diajak bercakap-cakap. Menurut dokter dan perawat di sana, kondisi bapak telah membaik, ia telah melewati masa kritis. Padahal kabarnya ketika saya masih di Jakarta, mereka sempat panik karena selama 3 menit, nafas bapak sudah berhenti, begitupula detak jantungnya tak terdeksi lagi di layar monitor.
Sore harinya, bapak sudah boleh pindah ke kamar opname biasa, tak lagi di ICU. Saat peralihan antara petang dan malam, saya kembali mempraktikkan Neo Zen Reiki ke bapak. Menurut penjelasan Liny Tjeris saat pelatihan di Jakarta, waktu paling tepat untuk melakukannya memang saat jam-jam peralihan antara malam dan pagi hari (Subuh) serta peralihan antara petang dan malam hari (Maghrib). Kenapa? Karena saat itu kondisi alam begitu tenang dan mendukung penyelarasan diri dengan gelombang semesta.
Tak sampai seminggu di ruang opname, bapak sudah boleh pulang. Luka bekas bisul yang meletus di lehernya sudah mengering. Kadar gulanya juga sudah normal. Memang berat badannya turun drastis, sebelum sakit 60 kg dan jadi tinggal 45 kg saat keluar dari Rumah Sakit. Susutnya 15 kg selama 16 hari. Jadi rata-rata sehari berkurang 1 kg.
Kini bapak sudah pensiun dari tugasnya mengajar mata pelajaran Biologi di SMPN 1 Rawa Laut, Bandar Lampung. Ia menjadi guru sejak tahun 1978-2011. Lalu, bapak memilih menghabiskan masa senja di Yogyakarta kembali ke kampung halamannya di kota Gudeg. Ia masih sehat dan bisa bermain badminton. Terimakasih Tuhan atas kesempatan bagi kami untuk tetap bersama hingga tulisan ini dibuat.
Sebagai wujud syukur kepada Sang Pemberi Hidup, saya terus mempraktikkan Neo Zen Reiki 1st degree bagi diri sendiri, istri, keluarga, dan siapa saja yang membutuhkan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antar golongan. Selain itu, saya juga bercita-cita untuk mengikuti program attunement 2nd degree. Terimakasih Anand Krishna, terimakasih Liny Tjeris yang telah mengajari saya teknik penyembuhan yang sungguh migunani tumraping liyan ini. God bless you all…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar