Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Senin/11 Maret 2013
http://mjeducation.co/meramu-laporan-bernyawa-kebenaran/
http://mjeducation.co/meramu-laporan-bernyawa-kebenaran/
Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Ariyanto
Penerbit: Metagraf, Tiga Serangkai Solo
Cetakan: 1/September 2012
Tebal: xx + 228 halaman
ISBN: 978—602-9212-31-0
“Jurnalis - bila melakukan pekerjaannya dengan semestinya - adalah penjaga gerbang kebenaran dan suara hati nurani…” – halaman v
Adagium di atas senada dengan tesis Christiane Amanpour. Kepala
Koresponsden Internasional CNN itu pun berkeyakinan bahwa jurnalisme
berkarakter dapat menjadikan dunia lebih baik. Tak pelak jika media
digadang-gadang sebagai pilar keempat demokrasi.
Ironisnya, di republik tercinta ini ada lembaga pers yang
terkooptasi kepentingan politis. Apalagi jelang pemilu 2014, infiltrasi
parpol deras menerabas sekat media yang seyogyanya independen.
Dalam konteks ini, kehadiran buku Jurnalis Berkisah (JB) ibarat
suara genta di tengah hiruk-pikuk perebutan kekuasaan. Berikut ini
petikan Catatan Najwa dalam episode Mesin Kuasa, Rabu (20/6/2011), “Di
era reformasi partai lama mati suri, di tengah kemiskinan ideologi
serta gelapnya dinding nurani politisi. Partai, agen tunggal politik
formal tergusur oleh hukum besi oligarki. Politik elit membelenggu
partai, sebatas arena dagang sapi dan ladang korupsi…” (halaman 4).
Sejak awal, program Mata Najwa fokus pada isu politik dan hukum. Pada
2008, Metro TV mendorong para presenter senior untuk membuat program
acara dengan mengusung nama dan karakteristik diri sendiri. Ini tak
lepas dari keberhasilan acara Kick Andy yang dikelola Andy F. Noya.
Lantas Sjaichu, produser Todays Dialogue mengusulkan program Mata Najwa.
Presenternya siapa lagi kalau bukan Najwa Shihab.
Pemilik bola mata indah tersebut menyadap inspirasi dari film The
Devil’s Advocate. Sebelum mewawancarai narasumber, ia selalu melakukan
riset dengan sangat serius, misalnya ketika Foke alias Fauzi Bowo
menjadi tamu, Najwa memelototi arsip peraturan daerah (perda) ibukota.
Persoalan klasik seperti kemacetan, keamanan, dan banjir terus
dilontarkan kepada Gubernur DKI Jakarta saat itu.
Total ada 10 kisah dalam buku ini. Awalnya, penulis hendak memuat 11
cerita nyata dari para pewarta jurnalistik. Namun pada detik-detik
terakhir, Budiono Darsono, pendiri Detikcom menolak. “Saya belum
layak,” tulis Budiono di message inbox Facebook (FB) Yus Ariyanto.
Sekilas ihwal penulis, ia jebolan Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas
Ilmu Komunikasi (FIK) Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat.
Yus sempat bekerja di sejumlah majalah, antara lain FORUM Keadilan dan
BusinneesWeek Indonesia.
Ayah dua anak tersebut mengaku terinspirasi oleh Soebagijo I.N,
pensiunan LKBN Antara yang menulis buku Jagat Wartawan Indonesia (JWI)
setebal 635 halaman pada 1981. Walau sama-sama memuat aneka kisah para
pewarta, JB berbeda dengan JWI. Kalau Jagat Wartawan Indonesia lebih
bercorak ensiklopedis dengan total 111 biografi di dalamnya, sedangkan
Jurnalis Berkisah berisi 10 kisah inspiratif.
Petualangan Maria Hartiningsih misalnya, jurnalis perempuan ini
enggan bekerja di balik meja. Peraih Yap Thiam Hien Award (2003)
tersebut lebih suka sol sepatunya aus di jalanan ketimbang duduk
“berkarat” di depan layar laptop.
Ia menuliskan alasannya, “Comfort zone itu sebenarnya merupakan
wilayah semu, tetapi kita tak hirau lagi karena terlanjur nyaman, tak
perlu kerja keras, punya banyak relasi orang besar dan bangga karena
dikenal baik oleh mereka. Dan akhirnya juga posisi struktural yang
baik. Saya tidak mengatakan hal itu baik atau buruk. Bagi saya,
semuanya adalah soal pilihan hidup. Dan saya memilih jalan saya, tetap
menjadi jurnalis lapangan.” (Menolak Logika Koruptif dalam Kerja
Jurnalistik yang dimuat di antologi Korupsi Kemanusiaan: Menafsirkan
Korupsi (dalam) Masyarakat, 2006).
Maria terkenal dengan reportasenya yang populis. Penerima N-Peace
Award (2012) ini konsisten memihak kaum marjinal – mereka yang
disingkirkan oleh derap laju peradaban. Suryopratomo pernah melaporkan,
“Pada tahun 1997, Maria melihat dari dekat kehidupan anak-anak di
Deli Serdang, yang bekerja di jermal-jermal di tengah laut untuk
menangkap ikan teri.
Maria hanya ingin mengingatkan betapa ikan teri Medan, yang begitu
enak dinikmati itu ternyata berasal dari usaha kerja keras anak di
bawah umur, yang bukan hanya harus meninggalkan keluarga, tapi juga
mempertaruhkan nyawa di tengah hantaman ombak dan kehidupan yang sangat
keras, sekaligus Maria ingin mengingatkan hak anak untuk bermain dan
mendapatkan pendidikan yang memadai.”
Dalam konteks ini, tesis Mary Mapes menemukan relevansinya,
“Jurnalisme bukanlah obat, tetapi dapat menyembuhkan. Jurnalisme
bukanlah hukum, tapi dapat membawa keadilan.” (Truth and Duty, 2005)
Buku setebal 228 halaman ini ibarat sketsa yang merepresentasikan
wajah jurnalisme pasca reformasi. Proses penggarapannya terbilang unik,
ada yang berjam-jam meluangkan waktu ngobrol dengan penulis lalu
harus menjawab pertanyaan susulan lewat pesan pendek, BBM atau surat
elektronik. Pasca aneka bahan tulisan dikirimkan, beserta foto, proses
terakhir yang teramat penting ialah melakukan pengecekan fakta.
Ternyata meramu sebuah laporan bernyawa kebenaran bagi publik tak
semudah membalikkan telapak tangan. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar