Maret 05, 2013

Sederet Manfaat Meresensi Buku di Media Massa

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/6 Maret 2013
http://mjeducation.co/sederet-manfaat-meresensi-buku-di-media-massa/

Awalnya, saya sekadar hobi membaca koran, majalah, dan buku. Namun karena kepepet, saya mulai menulis dan mengirimkan resensi buku ke media massa. Sebagai mahasiswa yang indekos di perantauan, kiriman orang tua dari tanah seberang tak cukup memenuhi kebutuhan sebulan. Setiap menjelang tanggal tua, saya terus memutar otak bagaimana caranya mendapat pemasukan tambahan untuk makan.

Untung, saya teringat pelajaran di SMA Kolese De Britto, guru Bahasa Indonesia saya (Pak Agus Prih) pernah memberi tugas menulis resensi buku. Saat itu, saya mencari bahan bacaan di toko buku (TB) di sebuah pusat perbelanjaan di Malioboro. Kalau tak salah ingat, novel tersebut berjudul “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.

Demikian pula ketika awal kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta,  di sana saya mengambil mata kuliah Book Report. Setiap minggu saya harus rutin berkunjung ke perpustakaan kampus untuk mencari bahan bacaan dan kemudian melaporkan isinya kepada dosen. Karena belajar di program studi bahasa Inggris, tulisannya pun harus menggunakan bahasa Inggris, sewaktu itu karya-karya Ernest Hemingway yang saya lahap dan resensi, salah satunya novel klasik “The Old Man and the Sea.” 

Pasca kesekian kalinya mengirim tulisan ke media massa dan terus ditolak oleh redaktur. Akhirnya, resensi pertama saya dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat (KR) pada hari Minggu, 4 September 2005. Isinya mengulas diskusi keajaiban air di One Earth Ciawi, Bogor, yakni seputar penelitian dr. Masaru Emoto dari Jepang dalam The Hidden Messages in Water. Penulisnya Ir. Triwidodo Djokorahardjo, Nina Natalia, Ir. Gede Merada, dan Anand Krishna Ph.D. Intinya, ternyata ungkapan cinta (love) dan ucapan syukur (gratitude) dapat membentuk kristal air yang begitu indah.

Tatkala melihat nama saya terpampang di koran edisi minggu tersebut, rasanya bahagia sekali. Bahkan hingga saat ini, setiap kali mengingat peristiwa tersebut langsung membuat hati kembali berbunga-bunga. Honor resensi buku saat itu Rp50.000,00, bukti kuitansinya pun masih saya simpan, warnanya hijau pupus. Itulah gaji pertama saya sebagai peresensi buku. Sedangkan honorarium resensi tertinggi, saya pernah terima dari sebuah koran nasional. Buku yang diresensi ialah Be Happy. Setengah tak percaya membaca nominal Rp600.000 tercetak di buku tabungan.

Selain mendapat honorarium, saya mulai bisa menyalurkan energi kreativitas, pun berbagi pemikiran dan pengalaman membaca. Karena tertulis, maka bisa didokumentasikan sebagai catatan sejarah. Setidaknya, sejarah pribadi saya, syukur bila memberi secuil inspirasi bagi orang lain. Sampai saat ini, saya terus mengkliping setiap resensi yang dimuat di media massa. Rencananya untuk warisan anak-cucu kelak.

Ibarat mendapat durian runtuh, ternyata kampus tempat saya kuliah sangat mengapresiasi mahasiswa yang mau menulis di koran. Karena aktivitas tersebut menambah kental nuansa akademis di universitas, pun mempromosikan almamater ke khalayak ramai. Untuk koran lokal mendapat Rp100.000 dan untuk koran nasional Rp150.000. Saat itu, nominal sebanyak itu relatif menggiurkan, sebab bisa untuk makan di angkringan dengan menu gopero (sego/nasi kucing tempe loro/dua) selama 2 minggu. Sebungkus nasi kucing masih Rp.500 dan gorengan Rp.100/potong. Bahkan saat liburan semester, saya bisa jalan-jalan ke Bogor dan Bali dengan honorarium dari redaksi koran dan lembaga penelitian di kampus.  Agar lebih irit, naiknya kereta api (KA) ekonomi Progo dan Sri Tanjung.

Saat kuliah setiap keping rupiah sangat berharga sehingga perlu berhemat sebelum membeli koran minggu (yang biasa memuat rubrik resensi buku). Saya punya langganan kios koran di dekat indekos, tepatnya di Jalan Gejayan (kini namanya Jl. Affandi), Dusun Soropadan, Yogyakarta. Setiap minggu pagi, saya bangun lebih awal,  membasuh wajah kemudian menggenjot sepeda onthel ke sana. Bukan untuk membeli koran, tapi sekadar mengecek apakah resensi yang dikirim dimuat atau tidak? Kalau ya, nah baru merogoh saku untuk membeli korannya, karena bisa untuk dikliping. Toh biayanya bisa dipotong dari honorarium kelak.

Begitu pula dalam hal memilih buku yang akan diresensi.  Biasanya, saya menumpang membaca dulu di toko buku. Sehari beberapa halaman, kemudian esok harinya disambung lagi. Dalam seminggu satu buku gratis bisa dinikmati. Syaratnya mudah, betah berdiri membaca di toko buku itu dan bersikap ramah pada Pak Satpam. Sumber bacaan gratis lainnya ialah perpustakaan kampus. Tapi kalau hendak difotokopi sampul bukunya, pasti masih terlihat label peminjaman. Tak kehabisan akal, jurus pamungkas untuk mendapat buku gratis ialah dengan meminjam ke teman yang punya bacaan baru, dengan catatan setelah selesai harus dikembalikan.

Kini seiring bergulirnya waktu, semakin banyak penerbit mengirimkan buntelan buku kepada saya. Tapi tak semuanya saya baca dan resensi. Saya suka membaca buku sastra, novel, biografi, pendidikan, ekologi, self-help, dan spiritualitas.  Kalau ada buku yang tak terbaca, biasanya saya oper ke teman-teman peresensi lain yang mau meresensinya. Kami pun biasa barter buku, yakni dalam rangka memuaskan dahaga bacaan yang sesuai minat dan kompetensi.

Secara lebih mendalam, sejatinya meresensi buku ialah sarana untuk meminjam istilah Hernowo, mengikat makna. Sehingga sewaktu-waktu hendak meninjau ulang isi buku yang telah dibaca, bisa menjadikan resensi itu sebagai pijakan, tak perlu membuang waktu dengan membaca ulang dari awal lagi.

Selain itu, saya bisa menyelami pemikiran dan belajar dari pengalaman para penulis yang tertuang dalam setiap lembaran buku. Saya pun memberanikan diri menyapa mereka via jejaring sosial. Beberapa di antaranya jadi bisa “kopi darat” alias bertemu secara langsung. Sungguh bahagia rasanya bisa berinteraksi dan ngangsu kawruh dari para penulis hebat tersebut.

Berikut ini beberapa penulis yang bukunya pernah saya resensi: Anand Krishna Ph.D, Su Rahman, Ir. Triwidodo, Maya Safira Muchtar, Sidik Nugroho, Yohanes Babtista, St. Kartono, Hj. Sriyanto, Pandji, Maria Audrey Loekito, Harry van Jogja, Jalu Suwangsa, Wisnubrata Widarsa, Ishadi S.K dkk,  Andreas Susetya, Sudrijanta SJ, Sr. M. Levita, FSGM, G. Budi Subanar SJ, Anies Baswedan dan para pengajar muda, Ahmad Fuadi dkk, Dr. Russ Harris M.D, Wallace D. Wattles, Donald. W. Mitchel, Baskara T. Wardaya SJ, Romo Kirdjito Pr, Luwi Ishwara, John McCain, Mark Salter, Stephen R. Covey, Neale Donald Walsch, Steve Jobs, dll. Seluruh dokumentasinya dapat dibaca di www.local-wisdom.blogspot.com

Proses Kreatif
 
Saya biasanya membaca buku minimal tiga kali sebelum mulai meresensi, begitulah nasehat dari Pak Herujiyanto, dosen pembimbing skripsi di kampus dulu. Ketika itu saya memang memilih literatur novel sebagai bahan pembahasan. Pak Dosen berkata, “Ibarat memasuki hutan belantara, kamu harus mempersiapkan segalanya dengan baik. Dengan membaca berulang-ulang, kamu jadi lebih paham seluk-beluknya sehingga kemungkinan tersesat menjadi minim.”

Saya membaca buku kapan pun dan di mana saja. Tapi saat favorit ialah ketika (maaf) buang air besar di WC pada pagi hari. Relaksasi dan kelegaannya kian komplit dengan adanya buku di tangan (kanan). Berhubung sekarang sudah memiliki istri, awalnya ia sering komplain kalau saya terlalu lama di kamar mandi. Tapi setelah saya jelaskan baik-baik, ia bisa menerima juga.

Sembari membaca, poin-poin yang menarik saya tulis di kertas, berikut nomor halamannya. Saya baru memiliki laptop dan modem sendiri pada akhir 2011 silam, itupun hasil menabung dari honor tulisan. Jadi praktis sebelumnya saya bergerilya mengetik di rental, warnet, perpustakaan kampus atau menumpang di komputer teman.

Dulu kalau mau mengirim tulisan ke koran nasional masih menggunakan jasa pos. Sedangkan yang media lokal, saya antar langsung naik sepeda onthel warisan simbah kakung (kakek). Sekarang di era serba digital ini prosedurnya relatif lebih mudah. Cukup mengirimnya via e-mail, sekali klik langsung sampai ke meja redaksi di seberang sana.

Ketimbang menulis opini, jujur saya lebih suka memilih resensi. Kenapa? Karena rasanya lebih santai. Walau kalau sudah “kanker” (kantong kering)  ping-pong menulis opini juga. Alasannya pragmatis, kalau resensi hanya seminggu sekali (biasanya hari Minggu), sedangkan kalau opini ada rubriknya setiap hari.

Pada hemat saya, prinsip utama dalam meresensi buku ialah dengan bertanya pada diri sendiri, “Apa yang paling menarik dari buku yang kita baca? Apa yang bisa dipelajari dari buku tersebut? Misalnya berupa data baru, pengalaman unik, dan penemuan terobosan. Kemudian jangan lupa untuk mengkritisi pula, bagian apa dalam buku tersebut yang kurang. Sehingga bisa merekomendasikan perbaikan ke depannya.

Selama meresensi buku saya suka sembari mendengarkan musik. Paling sering alunan instrumental Mozart sebagai back sound. Kemudian setelah selesai baru mengedit. Kali ini latar belakang lagunya slow, misalnya alunan piano Richard Clayderman. Logikanya sederhana, saat menulis butuh semangat, sehingga dipancing dengan lagu dinamis. Kemudian saat mengedit butuh ketenangan maka pilihlah lagu yang kalem.

Kalau macet, solusinya ada 2 cara. Pertama, membaca ulang baca yang hendak diresensi. Kedua, bermain alat musik. Saya suka genjrang-genjreng kencrung atau gitar sehingga terstimuli untuk menemukan irama yang tepat. Tak hanya untuk lagu yang dinyanyikan tapi juga untuk nada tulisan dalam resensi.

Selain itu, saya belajar dari banyak teman- teman peresensi senior. Dalam arti mereka yang setia menekuni profesi ini. Antara lain, J. Sumardianta, Ali Usman, M. Iqbal Dawami, Anwar Holid, Hernadi Tanzil, Wildan Hefni, Romel Maskyuri, Humaidy As, Noval Maliki, Supriyadi, Abdullah Hanif, Ammar Machmud, Ahmad Faozan, Fajar Kurnianto, Aris Hasyim, Nur Mursidi, Munawir Azis, Hendra Sugiantoro, Bramma Aji P, Abdul Kholiq, Anton Prasetyo, Muhammad Safrodin, Muhammad Rajab, Muhammad Rasyid Ridho, Suhaeri Rachmad, Abd. Basid, Muhammad Bagus Irawan, Untung Wahyudi, Musyafak, Siti Muyassarotul Hafidzoh, Bandung Mawardi, Bonnie Eko Bani, Benni Setiawan, Andi Andrianto, M. Nafiul Harris, Fuad Hasan, Mutasiudin, dll, caranya dengan rajin membaca ulasan buku mereka yang bertebaran di media massa.

Terakhir tapi penting, kebersamaan dengan Komunitas Peresensi Jogjakarta (KPJ) menjadi penyemangat tersendiri untuk terus konsisten menarikan jemari di atas keyboard notebook. Setiap kali ada kesempatan bertemu kopi darat di angkringan, kita bisa berdiskusi dan berbagi informasi seputar buku. Sebab menyitir slogan KPJ yang terpampang di kaos kebangsaan, “Membaca buku itu biasa, meresensi buku baru luar biasa.”

Tidak ada komentar: