Maret 07, 2013

Perempuan sebagai Juru Damai

Dimuat di Rubrik Oposan, Tabloid Bola, Kamis-Jumat/7-8 Maret 2013

Hari Perempuan Internasional dirayakan pada 8 Maret setiap tahunnya. Sebuah hari besar untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial. Secara historis, momentum ini juga untuk mengenang insiden kebakaran tragis pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911. Saat itu, 140 orang perempuan tewas terpanggang.

Pada awal abad ke-20, gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi menyebabkan aksi demonstrasi menuntut perbaikan kondisi kerja dan kenaikan upah buruh. Kaum perempuan dari pabrik tekstil berbondong-bondong menggelar aksi damai pada 8 Maret 1857 di kota New York. Namun, para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan secara represif oleh aparat. Alhasil, perayaan Hari Perempuan Internasional sempat terhenti beberapa saat. Tapi mulai dihidupkan kembali seiring bangkitnya gerakan feminisme pada 1960-an.

PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional sejak 1975. Bagaimana kontribusi kaum perempuan dalam kancah sepak bola, khususnya di Indonesia?

Secara psikologis, perempuan memang cenderung feminim, melembutkan, dan merangkul semua (inklusif). Ketegangan antar dua kubu yang bertikai niscaya dapat dicairkan dengan kehadiran kaum hawa. Sebelum Kartini genap berusia 20 tahun, ia sudah “melahap” buku-buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta  karya Multatuli. Selain itu, ada juga De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) – nya Louis Coperus.

Inti pemikiran Kartini ialah Zelf-ontwikkeling, Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen, Zelf-werkzaamheid, dan Solidariteit (Kemandirian, Persamaan Derajat, dan Solidaritas). Semua itu dibangun atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan). Pun ditambah dengan prinsip Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Nah warna peri kemanusiaan dan semangat cinta tanah air inilah yang kini mulai pudar dalam kancah sepak bola nasional. Kiranya cita-cita ideal mendiang R.A Kartini dapat diterapkan untuk mengurai sengkarut dualisme.

Reflektif

Sifat feminim perempuan lainnya ialah reflektif. Dalam arti berani menoleh dan bertanya pada diri sendiri. Dengan memahami diri sendiri, sejatinya kita akan mampu memahami orang lain.

PSSI sendiri belum paham secara utuh ihwal konsep dirinya, tapi sudah berupaya memaksa KPSI memahami kemauannya. Pun begitupula sebaliknya.

Jika sebuah organisasi sudah paham akan fungsi kelembagaannya, niscaya mereka tidak lagi mengikuti keinginan orang ketiga. Memahami diri sendiri berarti mengerti kemauan secara memadai, yakni mana yang bermanfaat bagi pesepakbolaan nasional dan mana yang akan merugikan bangsa dan negara?

Akhir kata, perseteruan, konflik, polemik justru memboroskan energi kolektivitas. Alangkah lebih tepat sasaran bila tenaga, biaya, dan waktu difokuskan untuk membenahi hal-hal yang riil dibutuhkan masyarakat sepakbola Indonesia. Ada baiknya kita menimba inspirasi dari R.A Kartini dan para kaum hawa lain. Hidup perempuan dan salam rekonsiliasi!



Tidak ada komentar: