Selasa, 10 May 2011 07:08 WIB
Sabtu (14/1/2006) penulis bersyukur menjadi saksi peresmian Griya Indonesia Jaya dan Cak Nur Memorial Hall. Mengambil tempat di Komplek Perkampungan Rakyat Indonesia yang lintas suku, agama, dan ras : One Earth One Sky One Humandkind Ciawi, Bogor. Bangunan 2 tingkat tersebut akan dipakai sebagai kantor pusat National Integration Movement (NIM). Tempat berkarya menyuarakan semangat persatuan dan inklusifitas yang pernah digaungkan oleh almarhum Nurcholis Madjid.
Turut hadir dalam peristiwa bersejarah itu Prof. Dr. Budi Susilo (Dirjen Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan) beliau mewakili Menteri Pertahanan RI, Juwono Sudarsono yang sedang kurang enak badan. Selain itu, turut hadir pula Ibu Omi (Istri Cak Nur) beserta kedua anaknya. Tamu VIP lainnya ialah Deputi IV Kementrian Polkam, Bapak Sudharmadi, Bapak Utomo Dananjaya, dan last but not least Gus Dur (almarhum).
Selaku tuan rumah adalah National Integration Movement (NIM). Kebetulan tanggal 14 Januari 2006 merupakan hari ulang tahun yang ke 16 Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB), paguyuban spiritual lintas agama yang didirikan oleh Anand Krishna. Dalam sambutannya tokoh humanis lintas agama tersebut mengatakan mengatakan, “Cak Nur adalah sebuah pandangan, falsafah, dan harapan…oleh sebab itu jiwa, kesadaran, dan visi beliau tak pernah mati. Kini kita dapat berkumpul di tempat ini karena kita mempunyai ikatan yang kuat pada Ibu Pertiwi, mari kita senantiasa mengukuhkan dan memperbaharui komitmen untuk berjuang, berbakti bagi Ibu Pertiwi demi terwujudnya Indonesia Jaya”
Cak Nur Memorial Hall berhiaskan berbagai ornamen dari berbagai tradisi agama dan kepercayaan. Terdapat berbagai Kitab Suci di sana. Semua itu adalah saran untuk mengingatkan walau berbeda jalan toh kita menyembah DIA yang satu adanya. Lokasi tempat indah tersebut berada dekat dengan Alam. Tepatnya di atas Bukit Pelangi, sehingga kita dapat merasa lebih dekat dengan Ibu Bumi. Cuaca yang lebih sejuk niscaya membuat kita lebih bersemangat berkarya demi kebangkitan dan kejayaan Indonesia.
Sharing Ibu Omi
Di lingkungan keluarga almarhum Cak Nur dikenal sebagai seorang ayah yang baik. Beliau senantiasa mendidik putra-putrinya agar bersikap inklusif dan mengapresiasi perbedaan terutama agama. Cak Nur menyarankan mereka untuk menghargai semua agama dan kepercayaan. Misalnya dengan membaca kitab-kitab suci agama dan kepercayaan. Sehingga semangat pluralisme sungguh dipraktikkan dalam keseharian. Tentunya di mulai dari dalam keluarga sendiri.
Permasalahan kebangsaan kita ibarat lingkaran setan yang sulit untuk dibenahi. Sering Ibu Omi mengungkapkan secara jujur rasa pesimis ini pada suami tercinta. Namun Cak Nur selalu menandaskan, “… justru karena bentuknya seperti lingkaran setan kita mudah memutuskannya. Kita bisa memulainya dari mana saja, dari sudut (angle) manapun juga...”
Ada juga ulasan dari Pak Budi Susilo, utusan Menteri Pertahanan RI. Beliau menjelaskan 2 tipe ketahanan Nasional. Pertama lewat militer, tapi kita tak akan bisa mengamankan seluruh wilayah kepulauan Nusantara yang begitu luas melulu lewat kekuatan militer. Cara yang terbaik ialah dengan membangkitkan semangat bela negara di dada setiap penduduk Indonesia. Strategi ini dinamakan pertahanan non militer alias pertahanan budaya.
Ibu Norma Slamet Harsono yang sempat berguru pada Cak Nur di Universitas Paramadina juga mempersembahkan sebuah puisi. Judulnya “Madrasah Sang Guru”, berisi sharing pengalaman semasa belajar nilai pluralitas dari Sang Guru Bangsa.
Yang paling heboh ialah Gus Dur. Beliau juga berbicara panjang lebar selama sejam lebih di Aula As-Salam. Salah satunya ihwal istilah Bende Mataram. Ternyata idiom ini merupakan ikrar yang biasa dibacakan pada saat pengangkatan para raja Nusantara. Tradisi tersebut telah berlangsung sejak dinasti Sanjaya. Kemudian berlanjut pada masa Kerajaan Airlangga, Kediri, Singosari, dan terakhir Mataram Yogyakarta. Maknanya ialah tekad untuk berbakti bagi “Mataram” atau Ibu Pertiwi.
Mushola Unik
Sedikit intermezo. Di Kompleks One Earth, Duta Besar Pakistan pernah meresmikan sebuah mushola. Uniknya mushola yang bernama Shah Abdul Latif tersebut ditandatangani oleh wakil dari NU dan Muhamadiyah. Dua aliran Islam besar Nusantara yang hingga detik ini relatif belum bisa akur. Selain itu, masih ditambah bubuhan tanda tangan dari wakil Katholik, Kristen, Buddhis dan Hindu. Sungguh sebuah langkah konkrit untuk merevitalisasi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa” dari Mpu Tantular. yang termaktub dalam Kakawin Sutasoma pada abad ke-13 silam.
Acara malam itu juga dimeriahkan oleh role play dari Torchbeaers (Muda-mudi Pembawa Obor Kasih dan Perdamaian). Mengisahkan tentang konspirasi pembunuhan Dyah Ayu Pitaloka, seorang putri ayu dari Kerajaan Pajajaran. Ada segelintir orang yang tak mau Nusantara bersatu. Pada konteks saat itu adalah persatuan secara politis, ekonomis dan kultural antara 2 kerajaan besar: Majapahit dan Pajajaran.
Ironisnya, pola semacam inipun masih terjadi hingga kini. Namun kita semua sepakat bahwa yang namanya integrasi, persatuan, dan kebangkitan Nusantara merupakan suatu keniscayaan. Tugas setiap anak bangsa untuk mewariskan Indonesia yang damai, utuh dan rukun bagi generasi penerus Republik tercinta ini. Salam Indonesia.
http://www.rimanews.com/read/20110510/27329/cak-nur-memorial-hall-di-komplek-one-earth-ciawi-bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar