Jumat, 20 May 2011 07:25 WIB
Oleh: T. Nugroho Angkasa
Pemaksaan kehendak oleh segelintir kelompok radikal terjadi kembali. Kali ini menimpa umat Kristiani yang hendak merayakan Paskah di Gedung Gratia, Cirebon pada Senin (16/5/2011) dan di Hotel Apita, Cirebon pada Selasa (17/5/2011). Kendati pihak panitia sudah mengantongi surat ijin resmi, aparat keamanan tetap membubarkan acara yang diikuti sekitar 5.000 orang tersebut. Alasan menjaga ketertiban menjadi pertimbangan pembubaran syukuran kelulusan UN yang sebagian besar dihadiri para pelajar itu.
Alhasil, diiringi isak tangis anak-anak kecil, para pesertapun terpaksa kembali pulang, "Kenapa pergi lagi. Kan belum nari. Katanya, kita mau merayakan Paskah," ujar Siska, siswa kelas 3 SD sembari menangis tersedu-sedu. Siska sendiri sudah mengenakan kostum dan siap untuk pentas. Ia akan berperan sebagai seorang putri. "Sekarang ga jadi lagi, mau ke mana lagi?" tanyanya sambil tersedu-sedu.
Kali ini Siska yang meneteskan air mata, lain kali bisa jadi keluarga kita sendiri yang mengalami kejadian serupa. SETARA Institute mengecam keras langkah polisi yang teramat lunak terhadap kelompok radikal yang bersikap anarkistis. Hendardi mengatakan, "Ketundukkan polisi pada kelompok vigilante untuk kesekian kalinya telah merendahkan martabat aparat penegak hukum dan melembagakan impunitas pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan."
Lebih lanjut, SETARA Institute mengingatkan bahwa radikalisme semacam itu hanya membutuhkan 1 langkah menuju terorisme. Dengan kata lain, pembiaran radikalisme niscaya melahirkan 2 kemungkinan: radikal nonjihadis dan radikal jihadis yang dengan penuh keyakinan melakukan terorisme. Kedua bentuk radikalisme di muka telah nyata eksis di sekitar kita. Pembiaran oleh negara sama saja dengan menyemai bibit-bibit baru kelompok jihadis tumbuh dan berkembang. "Dalam situasi yang demikian, apapun yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tidak akan dianggap sebagai prestasi," tandas Hendardi melalui siaran persnya pada Selasa (17/5/2011).
Memang SBY berkali-kali telah berjanji akan menindak tegas organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bertindak anarkistis. Pasca-insiden Monas Berdarah tatkala Perayaan Kelahiran Pancasila 1 Juni 2008 silam, Presiden Yudhoyono berkata, ”Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan. Negara harus menegakkan tatanan yang berlaku untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia,” ujar RI 1 dalam jumpa pers di Kantor Presiden (2/6/2008). Kini 3 tahun hampir berlalu, namun sayangnya ibarat kata pepatah, "Memang ludah tak bertulang." Janji tersebut tinggal kata belaka.
Menurut hemat penulis, Indonesia ialah negara hukum. Oleh sebab itu, negara musti menegakkan semua peraturan yang berlaku secara konsisten lewat tindakan nyata. Sebagai orang Indonesia, saya tidak ingin republik tercinta ini menjadi negara gagal. Bangsa ini didirikan para pendahulu kita tidak secara gratis. Harta, benda, keringat, air mata, darah bahkan nyawa dikorbankan demi memproklamasikan kemerdekaan NKRI secara politis. Kini tanggungjawab kita untuk melanjutkan perjuangan para bapa bangsa dengan mengupayakan kemerdekaan setiap jiwa dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
SETARA Institute mencatat sepanjang 2010 tak kurang terjadi 262 kasus pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan berkedok agama. Sebelumnya, data yang dihimpun Moderate Muslim Society (MMS) menyebutkan bahwa aksi kekerasan berkedok agama makin sering terjadi pasca Orde Baru tumbang. Laporan MMS 2010 mencatat terjadi 81 kasus anarkistis berlabel agama, angka ini meningkat 30 persen dari laporan 2009 yang mencatat 59 kasus.
Bahkan selama catur wulan pertama 2011, eskalasinya semakin meningkat dan kian beringas. Dari insiden Cikeusik (6 Februari), Temanggung (8 Februari), hingga Bom Cirebon (14 April). Ironisnya, negara dan aparat keamanan tidak berdaya ketika berhadapan dengan kelompok-kelompok massa berlabel agama tersebut. Negeri ini seakan - meminjam istilah Dr. Victor Silaen - wilayah yang hampa-hukum (lawlessness situation).
Kembali ke insiden pembubaran paksa perayaan Paskah di Cirebon. Terdapat kejanggalan di sana, GAPAS (Gerakan Anti Permurtadan dan Anti Penyesatan) yang dipimpin Andi Mulya memang sempat dihubungkan dengan peristiwa bom bunuh M Syarif di Mapolres Kota Cirebon. Karena M Syarif merupakan salah satu aktivis yang acapkali melakukan aksi main hakim sendiri di Cirebon, Jawa Barat.
Lantas, kenapa Polisi justru membubarkan acara Paskah yang notabene diikuti sekitar 5000-an orang dan umumnya ialah pelajar? Bukankah lebih tepat bila Andi Mulya dan 20 orang gerombolannya yang dijerat pasal hukum. Karena mereka mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Bukankah Panitia Perayaan Paskah telah memiliki izin resmi dari kepolisian setempat? UU No. 2 Tahun 2002 jelas menginstruksikan bahwa polisi merupakan pelindung dan pengayom masyarakat.
Hendardi kembali kembali menegaskan, ”Jangan sampai pernyataan Presiden menjadi rutinitas tanpa substansi.” Disebut “rutin” tentu karena pernyataan senada sudah berulang kali disampaikan oleh Presiden namun relatif tak ada efeknya. Sementara pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ari Dwipayana menilai bahwa aksi kekerasan bernuansa agama yang terjadi dan pembiaran oleh negara menunjukkan kegagalan negara melindungi kebebasan sipil rakyatnya.
Dokumen Perdamaian
Secara lebih mendalam, penulis mencoba menterjemahkan surat yang ditulis oleh Ali bin Abi Thalib r.a. Dokumen perdamaian ini dibubuhi cap tangan Nabi Muhammad SAW. Kini disimpan dalam perpustakaan biara St.Catherine di kaki Gunung Sinai, Mesir. Biara tertua di dunia tersebut memiliki koleksi manuskrip Kristen yang luar biasa lengkap, hanya kalah oleh koleksi Vatikan. Biara ini juga merupakan salah satu warisan budaya dunia dan memiliki koleksi manuskrip Kristen tertua.
Para sejarawan Muslim memverifikasi orisinalitas surat tersebut. Surat aslinya diperoleh dari Sultan Selim I (1517). Lantas, replikanya dibuat ulang untuk disimpan di biara terkemuka tersebut. Foto naskah aslinya dapat dilihat langsung di Museum Turki saat ini. Pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine mengunjungi Nabi Muhammad SAW untuk meminta perlindungan. Beliau menyanggupi dengan memberikan dokumen penting. Berikut janji Nabi Muhammad kepada St. Catherine dan umat Kristiani:
“Inilah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang menjadi perjanjian dengan mereka umat Kristiani, di sini dan di mana pun mereka berada, kami senantiasa bersama mereka.
Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku sungguh mengasihi mereka, karena umat Kristiani ialah umatku juga. Dan demi Allah, aku akan menentang siapapun yang menindas dan membuat mereka menderita.
Tidak boleh ada paksaan atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristiani yang dicopot dari jabatannya ataupun pastor/pendeta diusir dari biaranya. Tak boleh ada seorang pun yang menghancurkan dan merusak rumah ibadah mereka ataupun memindahkan barang dari rumah mereka ke rumah orang Muslim. Bila ada yang melakukan hal tersebut, maka ia melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya sendiri.
Bahwasanya mereka (umat Kristiani) sesungguhnya ialah sahabatku dan aku menjamin mereka tidak mengalami apa yang membuat mereka menderita. Tidak boleh ada yang boleh mengusir mereka pergi atau mewajibkan mereka untuk berperang. Kaum Muslimlah yang harus berjuang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristiani menikahi pria Muslim, pernikahan itu pun harus dilakukan atas persetujuannya. Ia juga tak boleh dilarang untuk mengunjungi Gereja untuk berdoa.
Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk merenovasi gereja mereka. Dan tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tak boleh ada umat Muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”
Dokumen di atas memang bukan piagam hak asasi manusia (HAM) modern. Sebab ditulis pada tahun 628 M, tapi isinya jelas melindungi hak atas properti, kebebasan beragama/berkeyakinan, kebebasan untuk bekerja, dan perlindungan keamanan. Ironisnya, kini kelompok radikal di Indonesia tak pernah membaca dokumen perdamaian tersebut.
Mereka melanggengkan ketidakrukunan. Ibarat setitik noda di kertas puth, dalam setiap agama dan kepercayaan niscaya terdapat kelompok yang mau menang dan benar sendiri. Mereka cenderung memfokuskan diri pada isu-isu yang bisa memecah-belah dan menciptakan konflik di antara sesama anak bangsa.
Dokumen sejarah yang memuat janji Nabi Muhammad SAW kepada umat Kristiani semacam remider (peringatan). Agar kita walaupun beragama Islam, Katolik, Hindu, Budha, Kong Hu Chu, atau menganut aliran kepercayaan berbeda tetaplah putra-putri Ibu Pertiwi. Mengutip pendapat Anand Krishna, Bagiku, Indonesia adalah Ibu Pertiwi. Aku tidak dapat menggadaikan ibu demi surga, demi agama, demi apa saja - apalagi demi kepingan emas yang tak bermakna. Aku lahir "lewat" ibu kandungku, namun yang "melahirkan"ku sesungguhnya Ibu Pertiwi. Bagiku, Dialah Wujud Ilahi yang Nyata sekaligus Tak-Nyata... Sembah Sujudku padaMu, Ibu Pertiwi..." (Bagi-Mu Ibu Pertiwi, One Earth Media, 2008)
Akhir kata, semoga budaya pemaksaan kehendak, main hakim sendiri, dan kekerasan segera kita tinggalkan. Mari kita mengakhiri konflik berkedok agama yang menguras energi. Saatnya bergandengan tangan, bahu-membahu dan bergotong-royong memajukan bangsa titipan anak-cucu ini. Menyitir pesan Romo Wijaya dalam buku Pacsa Indonesia-Pasca Einstein (1999), "Yang mempersatukan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dilengkapi horizontal oleh sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Bila sikap dasar vertikal dan horizontal ini dipahami, dihayati, dan diamalkan konsekuen konsisten, maka buahnya ialah budaya persahabatan, persaudaraan, saling menghargai, saling menolong, saling memekarkan..."
http://www.rimanews.com/read/20110520/28749/mengakhiri-konflik-berkedok-agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar