Mei 22, 2011

Membangkitkan Kembali Rasa Cinta Pada Ibu Pertiwi

Rabu, 11 May 2011 04:47 WIB


Di Balai Keratun Pemda Provinsi Lampung (Rabu, 25 Januari 2006) berlangsung persembahan kecil bagi Ibu Pertiwi. Simposium kebangsaan itu terselenggara berkat kerjasama National Integration Movement (NIM) dengan Pemerintah Kotamadya Bandar Lampung, Harian Lampung Post, dan KoAK (Koalisi Anti Korupsi). Instrumen lagu “Maju Tak Gentar” dengan laras keroncong mengiringi prosesi pembukaan. Dalam upaya mewujudkan Indonesia Jaya, semangat rawe-rawe rantas malang-malang putung yang dulu dimiliki para pejuang perlu dibangkitkan lagi di dada setiap anak bangsa.

Kemudian Ahmad Yulden Erwin selaku Ketua Panitia memberikan kata sambutan. Menurut aktivis KoAk ini, kita lahir dan hidup di bumi Indonesia ini. Maka penting rasa cinta pada Ibu Pertiwi dibangkitkan dan dihayati kembali. Bangsa ini didirikan para pendahulu kita tidak secara gratis. Harta benda, keringat, air mata, darah bahkan nyawa dikorbankan demi memproklamasikan kemerdekaan secara politis. Kini tanggungjawab kita melanjutkan perjuangan mereka dengan mengupayakan kemerdekaan setiap jiwa rakyat Indonesia.

Selanjutnya, Maya Safira Muchtar memulai kata sambutan dengan pekik yang lintas agama, suku, ras, profesi, dan gender: SALAM INDONESIA! Serta-merta dijawab oleh lebih dari 500 orang. Ia menguraikan NIM sebagai wadah orang Indonesia yang meskipun memiliki latar belakang yang berbeda namun sama-sama peduli pada Persatuan dan Kesatuan (Integrasi) Bangsa. Penggagas NIM ialah tokoh Humanis Lintas Agama, Anand Krishna. Selama 16 tahun terakhir Anand mencurahkan energinya untuk terus menyuarakan semangat Cinta-Bhakti pada Ibu Pertiwi.

NIM dideklarasikan pada 11 April 2005 di Tugu Proklamasi Jakarta. Dalam usianya yang belum genap satu tahun, NIM telah memiliki 20 cabang di seluruh Nusantara, menggelar 3 kali Simposium Kebangsaan di 3 pulau yakni Jakarta (Jawa), Denpasar (Bali), dan kini di Lampung (Sumatra). Berdasarkan pengalaman tersebut, ternyata masih banyak orang yang mencintai NKRI dan tetap menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan negara.

Jika kita sudi belajar dari negara lain, semua bangsa yang besar pasti rakyat mencintai bangsanya. Berbagai masalah kebangsaan yang ada saat ini, seperti maraknya kasus korupsi, pengerusakan alam, teror fisik maupun mental, konflik horizontal berbau SARA, dll disebabkan oleh kurangnya rasa cinta pada Ibu Pertiwi. Seyogianya kita mengedepankan kepentingan bangsa serta mengesampingkan ego kelompok, golongan, ataupun agama.

Di era reformasi ini banyak orang trauma terhadap Pancasila karena pengalaman pahit selama 32 tahun di bawah pemerintahan otoriter Soeharto. Padahal menurut Ki Hadjar Dewantara dan Bung Karno, Pancasila bukan sekedar ideologi negara melainkan saripati budaya Nusantara. Kita harus belajar dari sejarah, sehingga tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tentu tanpa harus tenggelam dalam nostalgia kejayaan masa lampau. Yang terpenting ialah terus berkarya dengan penuh semangat, demi mewujudkan masa depan yang lebih cemerlang.

Saat ini Poso masih bergejolak, Papuapun demikian. Mari kita sebagai anak bangsa bersuara demi kukuhnya Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Ibarat remaja yang kasmaran maka kita akan memberikan apa saja demi kebahagiaan orang yang kita cintai. Pendekatan yang sama perlu kita terapkan pada konteks Ibu Pertiwi. Ketua NIM menutup sambutannya dengan pekik Indonesia Jaya !!! Kemudian dijawab oleh seluruh peserta yang memadati ruangan, bahkan termasuk yang berada di bangsal lantai dua.

Anand Krishna selaku penggagas NIM membuka sambutannya dengan sebuah cerita. Di Afrika Selatan ada seorang berkulit berwarna yang dilempar dari sebuah gerbong kereta api, “hanya” karena gerbong tersebut diperuntukkan bagi orang berkulit putih. Pengalaman memprihatinkan semacam ini sekaligus berpotensi menciptakan Mahatma (Jiwa Besar) Gandhi.

Lantas, pria Keturunan India kelahiran Surakarta ini mensharingkan kisah pribadinya. Ia lahir dalam sebuah keluarga besar yang anggotanya memeluk berbagai agama yang berbeda. Ada yang Sikh, Hindu, Muslim, dst. Karena konflik antara India dan Pakistan, almarhum ayah beliau (Baba Tolaram) harus berpisah dari sanak-familinya. Hingga akhir hayat Sang Ayah tercinta tak bisa bersua kembali dengan kerabatnya. Sang Ayah memilih kembali ke Indonesia dengan menolak tawaran kewarganegaraan Inggris karena ia melihat Bumi Nusantara ini mempunyai sebuah falsafah luhur yang menghargai perbedaan. Yakni Pancasila sehingga tragedi yang menimpa diri dan negaranya kemungkinan besar tidak bakal terjadi di Indonesia. Oleh sebab itulah, akhirnya saya lahir di Indonesia dan menyuarakan persatuan dan saling apresiasi antar sesama anak bangsa.

Anand kembali menegaskan Pancasila sebagai saripati budaya yang lembut dan inklusif. Bukan sekedar ideologi negara yang kaku. Jika dilakukan “mapping DNA” saat ini sudah ada teknologi untuk eksperimen semacam ini. Maka akan ditemukan bahwa dalam DNA kita ada benang merah yang menghubungkan dan mempersatukan setiap orang Indonesia. Jika hendak mempersatukan bangsa ini kita harus lewat jalur budaya. Bi balik, di bawah setiap peranan individu yang berdeda-beda pasti ada tanggung jawab, rasa kebangsaan. Mari kita memperkukuh dan memperbaharui komitmen bersama untuk bersuka-duka bersama. Mmenyitir Bung Karno, jika perlu hanya makan bubur ayo makan bubur bersama. Tapi yang terpenting terus bekerja bersama, bahu-membahu, bantu-membantu, dan bergotong-royong demi Kebangkitan Indonesia.

Untuk mengamankan wilayah NKRI yang begitu luas, kekuatan militer saja tidak cukup, perlu ada kekuatan nir-militer yakni membangkitkan semangat bela negara di setiap warga negara demi demi mempertahankan keutuhan NKRI. National Integration Movement (NIM) adalah maitreya, mitra pemerintah pusat hingga RT, serta seluruh komponen bangsa. Mari kita melepaskan jubah suku, agama, ras, partai, dan kelompok kemudian duduk bersama mencari solusi atas berbagai masalah kebangsaan. Jika tidak bangsa ini bisa hancur berkeping-keping, tercerai-berai dan disintegrated.

Kabar baiknya saat ini, NIM telah memiliki perwakilan di Belanda dan Timur Tengah, tepatnya Lebanon. Mona Darwish seorang Perempuan Muslim kelahiran Lebanon yang kini sementara melawat, tinggal di Indonesia, menyuarakan dengan lantang lewat sebuah Buku “Bila Perempuan Bersuara, Delapan Penjuru Angin Bergema”, jangan sampai konflik, perpecahan, perang anatar sesama saudara sebangsa di Lebanon selama 14-15 tahun akibat perbedaan agama terjadi di Indonesia.

Jika difoto dengan satelit maka kekayaan Sumber Daya Alam(SDA) kita begitu berlimpah, “gemah ripah loh jinawi”. Kita belum memiliki teknologi untuk mendeteksi dan menginventarisir kandungan bawah bumi dan laut kita, namun pihak-pihak luar telah mengetahuinya dan memiliki datanya. Sehingga mereka begitu bernafsu untuk menguasai Indonesia. Tentunya dengan terlebih dahulu menncerai-beraikan kesatuan kita. Karena jika Indonesia terbagi menjadi negara-negara kecil, maka akan lebih mudah dikuasai.

Negeri kita seperti gadis remaja cantik yang sedang mekar dan siap dipetik. Indonesia diperebutkan oleh para lelaki serakah dan hidung belang. Pasar tradisional kita kalah bersaing dengan Mall dan Hypermarket. Kenapa? karena keterbatasan modal dan policy pemerintah yang lebih mementingkan perusahaan raksasa dengan kepemilikan modal besar. Kita seharusnya perlu bersikap sedikit heroik. Dalam arti rela belanja di pasar tradisional yang kumuh, rawan copet dan pengab demi melindungi barang-barang lokal dan pendapatan pedagang, terutama simbok-simbok dan para bakul di pasar tradisional. Ayam bakar kita sesungguhnyapun tak kalah sedap dengan buatan KFC.

Anand Krishna menyadari dengan berkata vokal dan terang-terangan semacam ini akan banyak pihak yang menghujat dan membatuinya. Namun ia siap dan waspada untuk menghadapi konsekuensinya dengan berbekal perisai cinta! Hal-hal kecil tapi urgent untuk dibenahi adalah masalah kolom agama di KTP. Namun bukan berarti menghapuskan Agama. Agama merupakan urusan pribadi yang merupakan relasi personal kita dengan DIA. Di Lebanon kolom agama di KTP dijadikan pemicu perpecahan. Saat terjadi konflik, ada sweeping KTP, jika kita berada di daerah agama tertentu maka nyawa pemeluk agama yang beda bisa melayang seketika. Bahkan untuk tranfusi darah perlu dicek kolom agama KTP-nya dulu.

Saat ini di Lebanon, belajar dari pengalaman konflik berdarah-darah selama 15 tahun lebih. Sehingga tak ada lagi kolom agama di KTP alias dihapuskan. Apakah kita orang Indonesia harus mengalami peristiwa berdarah yang memakan begitu banyak korban jiwa, hanya demi menghapuskan satu kolom agama di KTP dan menyadari kepicikan kita? Mari kita mengembangkan akhlak, amal saleh dan bukannya mengagungkan ritual dan label luaran semata. Ukhuwah Islamiyah harus diperluas menjadi Ukhuwah Insaniyah, menghargai dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal: Satu Bumi, Satu Langit, dan Satu Umat Manusia (One Earth, One Sky, One Humankind).

http://www.rimanews.com/read/20110511/27447/membangkitkan-kembali-rasa-cinta-pada-ibu-pertiwi

Tidak ada komentar: