Jumat, 22 Jul 2011 10:41 WIB
Selama ini falsafah Kejawen cenderung diajarkan secara lisan. Turun-temurun dari leluhur terdahulu kepada anak-cucu kita. Karena sebatas getog tular, acapkali terjadi salah persepsi. Jerih payah Jalu Suwangsa untuk mendokumentasikan wewarah para pinisepuh secara tertulis patut diapresiasi. Agar generasi muda kelak tidak menjadi seperti kacang lupa kulitnya.
Buku ini berisi wejangan seekor katak tua (sepuh) kepada para precil (katak muda). Setting-nya berupa kolam ikan berair jernih di halaman rumah Ki Jalu. Khotbah sang katak berlangsung selama 5 senja non stop. Setiap sore mereka berkumpul dan saling urun rembug ihwal apa/siapa manusia itu.
Menurut katak tua, struktur manusia terdiri atas 3 tataran. Pertama, tataran manusia wadhag yang bersifat fisikal. Kedua, tataran jejering menungsa, blegering menungsa, menungsa urip atau manusia hidup yang bersifat fisikal dan rohaniah. Ketiga, tataran menungsa sampurna atau manusia yang bersifat adikodrati (halaman 67).
Uniknya, komposisi kemanusiaan seseorang tersebut digambarkan ibarat secangkir kopi susu. Di dalam cangkir terdapat kopi, susu, gula, dan air mendidih. Kendati demikian, yang terlihat kini hanya minuman panas yang siap di-sruput untuk menghangatkan badan.
Bedanya, kalau minuman tersebut masih bisa diurai secara kimiawi, sampai ditemukan kembali unsur-unsur pembentuk awal. Sedangkan pada manusia, tak bisa diurai aneka unsur pembentuknya. Kenapa? karena manusia sangatlah istimewa. Dalam bahasa Ki Jalu, tan kena dinalar alias tak dapat dijelaskan dengan kata-kata secara tuntas.
Catur Ha
Wejangan lainnya ialah ihwal Catur Ha. Menurut sang katak, setiap manusia sejati menyandang 4 “ha”. Pertama, (ha)mersudi karahajaning diri berarti memelihara kesejahteraan diri sendiri. Sekurang-kurangnya memikirkan: angga (tubuh diri pribadi), kulawarga (keluarga, istri/suami, anak), wisma (rumah), turangga (kendaraan), sifat kandel (benda-benda pusaka), dan kukila atau kelangenan (hewan peliharaan). Sebagai manusia hidup memang musti memikirkan sandang, pangan, dan papan.
Kedua, (ha)linuberan sih ing sasama yang berarti dipenuhi rasa belas kasih kepada sesama. Menurut sang katak, manusia sejati tidak membedakan sesama. Terlepas dari perbedaan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Manusia sejati menghormati dan mengasihi sesama seperti menghormati dan mengasihi dirinya sendiri. Manusia sejati hidup mandiri dalam kebersamaan dengan segenap titah ciptaan lainnya.
Ketiga, (ha)memayu hayuning bawana yang artinya ikut memelihara kebaikan dunia. Alam dengan segala isinya diciptakan oleh Sang Khalik dengan baik adanya. Manusia berkewajiban untuk memeliharanya. Manusia sejati tidak akan berperilaku yang merusak dunia ini.
Keempat, (ha)ngabekti ing Pangeran yang berarti manusia sejati di-ewengkoni atau bergayut pada dan dikendalikan oleh roh yang ditiupkan sendiri oleh Penciptanya. Perilaku manusia sejati sehari-harinya kaya dene nyandhang catur “ha” atau mbudi daya keempat dimensi kehidupan di atas. Dengan kata lain manusia sejati akan bersikap sumarah mring Pangeran atau berserah diri pada Penciptanya.
Secara filsafati bacaan ini tergolong berbobot. Sungguh jenius cara Ki Jalu mengemasnya lewat dialog ringan di senja kala. Dengan memainkan lakon Katak, lengkap dengan para precil-nya. Kalau katak saja ingin memuliakan Penciptanya, masakan manusia enggan melakukan laku serupa. Begitulah sindirian halus Jalu Suwangsa yang hendak disampaikan lewat buku ini.
____________________________
Peresensi: T. Nugroho Angkasa
Judul: Katak pun Ingin Memuliakan Penciptanya
Penulis: Ki Jalu Suwangsa
Penerbit: Kepel Press
Cetakan: I, 2011
Tebal: viii +135 halaman
ISBN: 978-979-3075-92-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar