Juli 23, 2011

Upaya Sistematis Membungkam Suara Anand Krishna Kian Terungkap


HMINEWS – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Martha P Berliana Tobing SH hanya mendatangkan 2 saksi dalam persidangan Anand Krishna pada Rabu (20/7/2011) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Padahal sebelumnya ia mengusulkan agar persidangan berjalan efisien dan hemat karena sudah hampir setahun berlangsung. Setidaknya dalam setiap persidangan JPU bisa menghadirkan 3 saksi.

Saksi pertama, Demitrius mengaku bahwa bukan karena isu pelecehan ia keluar dari Anand Ashram tapi karena hal lain. “Saksi bersaksi di persidangan, ia kecewa dengan konstruksi rumah yang dibeli di Ciawi. Tapi saksi juga mengakui bahwa persoalan ini sudah diselesaikan secara kekeluargaan pada 2005-2006 lalu. Adapun rumah yang dimaksud tak bersertifikat atas nama dirinya, melainkan atas nama mantan istrinya,” ujar kuasa hukum Anand, Astro Girsang.

Demitrius merupakan mantan pecandu narkoba jenis shabu-shabu, seperti diceritakan mantan istrinya dalam buku Neo Man Neo Vision. Ia mengaku pernah melihat terdakwa melakukan hubungan seksual di kegelapan malam. Padahal ia melihatnya dari jarak 30 meter lewat sebuah jendela yang tirainya sedikit terbuka.

“Bagaimana dia mampu melihat dari jarak sejauh itu, di kegelapan malam hari, dari sebuah jendela kecil berkorden? Itu pun terjadi sebelum dirinya keluar pada 2005 sehingga tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasus yang dilaporkan. Kualitas kesaksian seperti ini sangat meragukan dan mudah direkayasa,” ujar kuasa hukum Anand lainnya, Andreas Nahod.

Pada kesaksian kali ini pun, keterangan yang diberikan sangat berbeda dengan kesaksian sebelumnya ini. Saksi justru bercerita ihwal kegiatan-kegiatan meditasi di Anand Ashram. Selai itu ia juga mengatakan bahwa ajaran Anand tidak boleh dibantah siapapun.

Bantahan

“Anand Krishna sendiri membantah seluruh keterangan saksi ini, apalagi saksi ini tidak mengenal pelapor ketika dia keluar dari Ashram,” tukas Astro Girsang.

Salah satu peserta meditasi dari Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA), H. Abdul Aziz, yang ditemui di PN Jaksel usai sidang juga membantah keterangan saksi. Menurutnya, dalam setiap pertemuan selalu bersifat dinamis dan terjadi dialog. Selain itu, ada juga sesi tanya-jawab.

“Pak Anand bukanlah guru yang pantang dibantah, melainkan penceramah yang selalu menginginkan terjadinya proses interaktif. Yakni antara dirinya dan para pendengar dan pembaca bukunya,” tutur produser film Soul Quest ini.

Dirinya juga membantah adanya bai’at untuk mengangkat murid di Anand Ashram, ia menganggap tuntutan hukum ini sebagai upaya membungkam suara vokal Anand yang selama ini gigih membela pluralisme dan kemanusiaan di Indonesia. Dirinya berharap keterangan saksi ini diabaikan oleh majelis hakim yang ketuai Albertina Ho ini.

Premeditated Crime

Sidang dilanjutkan setelah istirahat makan siang. Agendanya memeriksa ulang saksi yang kerap disebut namanya oleh saksi lain dan pelapor. Yakni seputar pertemuan-pertemuan sebelum mereka melapor ke polisi. Orang tersebut ialah Muhammad Djumat Abrory Djabbar.

Ternyata saksi Abrory Djabbar ketahuan menggunakan 2 identitas. Hanya beda alamat (Jl. Yupiter IV/3 Villa Cinere Mas dan Jl. Raya PLN No. 41 Gandul Cinere) dan beda tanggal lahir (1/1/65 dan 5/2/76). Fakta ini dengan mudah dapat ditemukan dalam berkas laporan (BAP) kepolisian. Sehingga kemungkinan besar ia mempunyai 2 KTP. Penggandaan identitas tersebut sempat ditegur keras oleh Hakim Ketua Albertina Ho.

“Sebagai seorang ahli hukum, anda tahu konsekuensi dari hal ini, tanya Hakim kepada saksi,” cerita salah satu kuasa hukum dari kantor hukum Darwin Aritonang, Aziz.

Saksi juga mengakui bahwa pertemuan-pertemuan sebelum pelaporan ke polisi kerap dilakukan atas inisiatif istrinya Dian Maya Sari dan dikoordinir Shinta Kencana Kheng, terutama di rumahnya di Cinere. Shinta Kencana Kheng adalah saksi yang diduga mempunyai affair dengan hakim ketua lama Hari Sasangka yang kini dipindah ke Pengadilan Tinggi di Ambon.

Abrory Djabbar juga mengaku pernah menyaksikan istrinya dilecehkan terdakwa pada 2001. Tetapi, ketika ditanya hakim ketua kenapa tidak melapor ketika memutuskan keluar di 2005, Abrory menjawab bahwa tidak cukup bukti.

Jawaban saksi membuat Hakim Ketua Albertina Ho geram dan menegaskan bahwa sebagai orang yang mengerti hukum, semesti tahu bahwa yang menentukan apakah sebuah kasus cukup bukti adalah polisi, bukan kuasa hukum.

Teguran ini memperkuat dugaan Abrory Djabbar menunggu momentum yang tepat dan sudah merencanakan pelaporan ini sejak lama. “Dugaannya, telah terjadi apa yang disebut Premeditated Crime,” tandas Kuasa Hukum Andreas Nahod.

Dugaan ini diperkuat keterangan kuasa hukum Darwin Aritonang bahwa dirinya pernah diberi syarat oleh saksi Abrory Djabbar di salah satu TV swasta untuk menyelesaikan kasus ini, Anand harus menyerahkan Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB) dan keluar dari lembaga yang didirikannya tersebut. (Reporter: Su Rahman, Editor: T. Nugroho Angkasa)

Tidak ada komentar: