Resensi Buku ini dimuat di Rubrik Dunia Pustaka, Tribun Jogja, Minggu/21 Agustus 2011
Judul buku: Menjadi Guru untuk Muridku
Penulis: St. Kartono
Penerbit: Kanisius
Cetakan: I/April 2011
Tebal: 271 halaman
Harga: Rp 35.000
ISBN: 978-979-21-3018-8
“Bapak/Ibu Guru yang terhormat, saya adalah korban kamp konsentrasi. Mata saya melihat apa yang tidak dapat disaksikan oleh orang lain: kamar gas yang dibangun oleh para insinyur terpelajar; anak-anak yang diracun oleh para ahli fisika terdidik; bayi-bayi yang dibunuh oleh para perawat terlatih; wanita-wanita dan bayi-bayi ditembak dan dibakar oleh alumni SMA dan perguruan tinggi. Dengan ini semua saya selalu menjadi curiga terhadap pendidikan. Permohonan saya adalah bantulah siswa-siswi untuk menjadi lebih manusiawi. Usaha Anda tidak pernah menghasilkan raksasa terpelajar, penderita sakit jiwa yang terampil, ataupun Eichman-Eichman terdidik. Membaca, menulis, dan aritmatika memang penting, tetapi hanya jika mata pelajaran itu semua membuat anak kita lebih manusiawi…” (halaman 78).
Pada setiap awal tahun ajaran baru, surat tersebut selalu dibacakan oleh seorang Kepala sekolah menengah di hadapan rapat dewan guru (Gleeson, 1997). Kemampuan akademis siswa memang penting, tapi jangan pernah mengabaikan sisi kemanusiaannya. Bahkan, para ahli kesehatan memprediksi bahwa penyakit paling berbahaya di masa datang bukanlah jantung atau kanker, tapi depresi dan stres. Itulah sisi lain yang diangkat St. Kartono dalam bukunya Menjadi Guru untuk Muridku.
Ironisnya, dunia pendidikan nasional justru membebani siswa dengan kurikulum berlebih. Hal ini mengkondisikan para guru menjadi mekanis dan mencari jalan aman. Sehingga kesempatan berbagi (sharing) nilai keutamaan hidup terlewatkan. Menyapa, menyalami, memberikan apresiasi/pujian, mengucapkan terimakasih, dan meminta maaf bila melakukan kesalahan seolah menjadi ‘barang” langka di kelas.
Buku ini menyajikan obat atas penyakit kronis tersebut. Ke-70 artikel St. Kartono ini telah dikorankan di sebuah Harian lokal sejak Juni 2008 - Maret 2011. Isinya dipilah menjadi 3 bagian. Pertama: Membangun Mimpi Menjadi Guru. Kedua: Menghidupi Nilai, Mengasah Keterampilan Mendidik. Ketiga: Perjumpaan dengan Murid.
Setiap bab memuat sejumlah refleksi keguruannya. Pergulatan menekuni profesi guru selama 20 tahun menjadi sumber inspirasi utama alumni Pascasarjana Program Studi Linguistik Terapan, Universitas Negeri Yogyakarta tersebut.
Selain itu, St Kartono menyerap pula inspirasi dari banyak bacaan dan tontonan. Bahkan ia menjadikan pidato kematian (obituari) putri almarhum Michael Jackson sebagai referensi (Aku hanya ingin bilang, guruku…,halaman 17).
Kesaksian singkat Katherine Jackson (11 tahun) di depan peti mati mega bintang pop sejagat itu sungguh menggetarkan, “Sejak aku lahir, Daddy adalah ayah yang terbaik yang tidak pernah bisa kalian bayangkan. Aku hanya ingin bilang, aku mencintainya…amat sangat.”
Secara kreatif St Kartono mengajak para guru untuk membayangkan apa yang akan diucapkan para siswa ketika gurunya meninggal dunia. Sehingga para guru dapat berusaha sekuat hati menyampaikan proses pembelajaran, bukan sebagai formalitas transaksional belaka, tapi sebagai dedikasi dan persembahan terbaik bagi para muridnya. Niscaya, dengan takzim setiap muridnya kelak akan menyitir kalimat putrid MJ, “Saya hanya ingin bilang, guruku adalah orang yang terbaik yang kujumpai dalam hidupku!” (halaman 19).
Buku ini merupakan buah pena ke-7 guru SMA Kolese De Britto, Yogyakarta tersebut. Selain menggeluti proses pembelajaran di kelas, ia memang produktif menulis di media massa juga. Karyanya antara lain: Menabur Benih Keteladanan (2001), Menebus Pendidikan Yang Tergadai (2002), Reformasi Pendidikan (2003, dkk), Seri Pendidikan Budi Pekerti (2003-2004, dkk), Sekolah Bukan Pasar (Juni, 2009), dan Menulis Tanpa Rasa Takut (Juli, 2009).
Buku Menjadi Guru Untuk Muridku memverifikasi kebenaran sederhana. Menjadi guru bukan semata untuk aparat pemerintahan, dinas pendidikan, aturan-aturan, kurikulum yang acapkali berganti, kepentingan dagang, para agen penerbit buku pelajaran, ataupun paham/ideologi tertentu. Alasan eksistensi seorang guru ialah untuk melayani para murid. Sehingga dapat memuaskan dahaga keingintahuan siswa dan membangun antusiasme belajar mereka.
Bunga rampai pendidikan ini layak dibaca oleh rekan-rekan guru, mahasiswa calon guru, dan siapa saja yang peduli pada masalah pencerdasan bangsa. Pelopor tranformasi kehidupan di negeri ini ialah para guru. Tentu saja setelah guru itu sendiri berubah. Saya sepakat dengan pendapat Pater Kolvenbach, “Para siswa mengingat apa yang dilakukan oleh guru karena gurulah yang menjadi saksi hidup dengan keteladanan yang diberikan.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa, Guru SMA Budya Wacana Yogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar