Agustus 24, 2011

Sepak bola Hanya untuk Si Kaya?

Opini ini dimuat di Rublik Oposan, Tabloid Bola, Senin-Rabu (22-24 Agustus 2011)

Dalam buku Outliers, The Story of Success (2009) Malcolm Gladwell mengisahkan perjuangan band legendaris The Beatles. Sebelum meroket pada 1964, John Lenon (gitar ritem, vokal), Paul McCartney (gitar bass, vokal), George Harrison (gitar utama, vokal), dan Ringo Starr (drum, vokal) biasa bermain di sebuah klub malam minimal 8 jam setiap malam. Selama 270 malam diperkirakan mereka telah naik panggung sebanyak 1.200 kali.

Pengalaman ini ibarat blessing in disguise, berkah terselubung. Band asal Liverpool Inggris itu terbiasa bermain tak kurang dari 8 jam per malam, mereka pun harus mempelajari banyak lagu, termasuk lagu-lagu dari band lain. Bukan hanya rock and roll, tapi juga sedikit jazz.

Pengalaman ini membuat mereka semakin disiplin dan kompak. John Lenon sendiri mengakuinya, “Kami menjadi lebih baik dan memiliki rasa percaya diri yang lebih besar. Di Hamburg kami harus bermain selama 8 jam lamanya, jadi kami benar-benar harus menemukan cara baru untuk memainkan musik kami.”

Sama halnya dalam sepak bola, sebuah tim yang hebat lazimnya merangkak dari bawah. Jantung mereka deg-degan mengalami dinamika promosi dan degradasi. Sehingga kualitas teruji sebelum berlaga di level teratas. Ironisnya, kini banyak klub dari divisi I, bahkan baru berdiri beberapa bulan dapat berkiprah di kasta tertinggi sepak bola nasional. Titik ini rawan kecemburuan dari klub-klub sepak bola yang telah memiliki tradisi selama puluhan tahun.

Hal ini dimungkinkan paska pengurus PSSI yang baru membubarkan LSI. Semua tim tanpa kecuali - termasuk dari LPI - musti mendaftar ulang. Tercatat tak kurang dari 72 klub melakukan registrasi. Mereka akan memperebutkan 20-22 tiket berlaga di kompetisi level teratas.

Satu hal yang memberatkan ialah adanya Participant Deposit. Alias dana awal untuk mengurangi resiko penunggakan gaji, denda kartu, memperbaiki stadion dll. Konon hal serupa sudah diterapkan di Jepang dan Singapura. Namun terlalu gegabah membandingkan kondisi Indonesia dengan kedua negara tersebut. Tingkat kesejahteraan rakyat - dan itu tercermin pula dari isi kocek klub-klub sepak bola kita - jauh berbeda dengan mereka.

Dulu klub masih bisa mengandalkan dana APBD. Tapi kini hal itu dilarang, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah hanya boleh untuk perbaikan infrastruktur. Data terkini mencatat setiap klub rata-rata menghabiskan dana Rp 20 Milyar per putaran kompetisi. Kecuali klub-klub besar yang memiliki pendukung fanatik seperti Arema Indonesia dan Persija FC, mereka bisa mengeluarkan dana Rp 30 M lebih.

Pengeluaran terbesar ialah untuk gaji pemain, akomodasi, dan transportasi bila bertanding tandang. Kalau ditambah dengan Participant Deposit berarti pada musim kompetisi mendatang mereka musti mempersiapkan dana (minimal) Rp 25 Milyar.

Semua dana itu musti diperoleh dari non APBD. Selain bekerjasama dengan sponsor, sumber pemasukan utama ialah penjualan tiket dan penjualan souvenir klub seperti jersey, jaket, syal, dll. Ada kemungkinan pihak yang bakal paling dirugikan ialah penonton.

Kenapa? Karena untuk menutup defisit anggaran, klub-klub di Indonesia menaikkan harga tiket di stadion sebagai solusi terakhir. Tiket seharga Rp 15.000 dan Rp 20.000 untuk tribun terbuka melonjak 2 atau tiga kali lipat di musim kompetisi yang diproyeksi kick off pada 8 Oktober 2011 mendatang.

Sepak bola ialah permainan yang menyenangkan. Tak hanya bagi para pemainnya tetapi terutama penonton. Sensasi menyaksikan langsung di stadion tak tergantikan bila hanya melihat di layar kaca. Pun sepak bola bisa membangkitkan solidaritas dan rasa senasib sepenanggungan para suporter. Bahkan PSSI didirikan pada 1930 oleh Suratin untuk menggelorakan semangat nasionalisme sehingga dapat mengusir penjajah dari bumi Pertiwi.

Kembali ke kisah The Beatles di awal tulisan ini, mereka berjuang 270 malam sebelum menjelma jadi band legendaris. Jangan sampai kecenderungan mau serba instan pengurus PSSI yang baru menjadikan sepak bola hanya dinikmati oleh si kaya. Bravo Sepakbola Indonesia!

T. Nugroho Angkasa, Guru Bahasa Inggris SMA Budya Wacana Yogyakarta dan Football Lover

Sumber Gambar: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/67493/secaba-jember-gelar-permainan-sepak-bola-senjata

13141848531265208105

Tidak ada komentar: