Agustus 02, 2011

Orasi dan Doa di Candi Plaosan

1312338554111719646

Dimuat di Rubrik Citizen Journalism, Tribun Jogja, Rabu/3 Agustus 2011 (halaman 1 bersambung ke halaman 7)

Walau saya tinggal di Yogyakarta sejak sekolah SMA, kuliah, dan kini bekerja, saya belum pernah sekalipun berkunjung ke Candi Plaosan. Padahal, jaraknya hanya 16 km dari pusat Gudeg City. Beruntung, National Integration Movement (NIM) menggelar acara Orasi Budaya dan Doa Bersama : Menyambut Ramadhan dalam Kebhinekaan di Plaosan, Kamis (28/7), sehingga saya dapat menyaksikan langsung karya agung leluhur tersebut.

Menurut kamus Wikipedia, Candi Plaosan merupakan kompleks percandian yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jateng. Jaraknya hanya 1,5 km ke arah timur-laut Candi Prambanan yang notabene bercorak Hindu. Kendati demikian, Candi Plaosan yang berarsitektur Buddhis dapat berdiri saling berdampingan dengan Candi Prambanan. Hal ini menunjukkan bahwa para leluhur kita begitu mengapresiasi kebhinekaan.

Sejarah mencatat kompleks percandian ini dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan. Masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai peninggalan Kerajaan Medang/Mataram Kuno. Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan direnovasi pada 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah.

Acara orasi budaya dan doa bersama ini terselengggara berkat kerjasama Komunitas Pecinta Anand Ashram (KPAA), National Integration Movement (NIM), Lingkar Pelangi Nusantara, Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (AJI Damai), Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila, Lembaga Studi Islam dan Politik (LSIP), AFSC (American Friends Service Committee), dan Paguyuban Tri Tunggal.

Ramadhan merupakan bulan suci umat Islam. Sebagai sarana kembali ke dalam diri. Sebuah momentum untuk melihat kembali perjalanan kita selama ini. Apakah sudah tepat atau belum? Begitulah kata sambutan dari dr. Wayan Sayoga, selaku Direktur Eksekutif NIM saat membuka acara. Pria asal Bali tersebut mengingatkan pula bahwa prinsip dasar Pancasila tetap dapat diterapkan hingga kini. Bahkan di mana saja, tak hanya di Indonesia.

Lebih lanjut dr. Sayoga mengingatkan bahwa fundamentalisme yang merebak belakangan ini tidak sesuai dengan cita-cita para founding fathers. Kebanggaan pada budaya Nusantara menjadi kata kunci. Pada masa Sriwijaya leluhur kita memiliki maskapai pelayaran sendiri untuk mengekspor rempah-rempah ke Madagaskar, bahkan semua itu dilakukan demi kesejahteraan rakyat. “Kita perlu meneguhkan persatuan dan kecintaan pada bangsa ini kembali, ” ujarnya.

Setelah itu bergantian para pembicara berorasi. Mereka, antara lain, rohaniwan muda, Romo Agus Pr dari perwakilan umat Kristiani; Kyai Jadul Maulana dari perwakilan umat Islam; Bhiku Sasana Bodhitera dari Vihara Gunung Kidul; dari perwakilan umat Hindu, I Wayan Sumerta, selaku Ketua PHDI Yogyakarta; dan Anand Krishna.

Acara di Candi Plaosan ini diakhiri dengan doa bersama. Masing-masing tokoh agama memimpin prosesi sakral tersebut. Ratusan peserta yang hadir berdiri dan memejamkan mata dengan penuh hikmat. Meski berdoa dengan cara berbeda, tapi sejatinya semua berdoa pada Ia Hyang Satu adanya. Saling apresiasi kebhinekaan? Di sini kami sudah mempraktikkan!

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru SMA Budya Wacana Yogyakarta

Tidak ada komentar: