Agustus 08, 2011

Mengungkap Pengalaman Orang Tua

Resensi buku ini dimuat di Rubrik Perada, Koran Jakarta, Jumat/5 Agustus 2011

13127876901024115357


Judul: Berkah Kehidupan, 32 Kisah Inspiratif para Orang Tua

Penulis: Penulis Bersama

Editor: Baskara T. Wardaya

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: 1/Maret 2011

Tebal: 408 halaman

Harga: Rp 75.000

“Satu kali pun tidak pernah saya mendengar Ibu atau Ayah menyesalkan atau mengeluhkan bahwa seluruh milik mereka di Silesia—dan di Ceko tempat Kakek—hilang begitu saja. Kami termasuk 14 juta orang Jerman yang, sebagai balasan atas Perang Dunia II yang dilancarkan Jerman, diusir dari Eropa Timur.” - Romo Franz Magnis-Suseno, SJ

Buku ini memuat 32 kisah manusiawi sekaligus inspiratif, para orang tua tokoh terkenal dari Syafii Maarif, Ayu Utami, Benedict Anderson, Asvi Warman Adam, Hersri Setiawan, B. Herry-Priyono, Ery Seda, M. Imam Aziz, Kamala Chandrakirana, Hilmar Farid, Degung Santikarma, Stanley Adi Prasetyo, hingga F. Budi Hardiman, serta masih banyak lagi. Para aktivis tersebut teruji dedikasinya bagi kemajuan negeri. Kendati demikian, masyarakat belum mengetahui latar belakang kehidupan keluarganya.

Misalnya orang tua Djoko Pekik. Pelukis asal Purwodadi itu terlahir di desa Sulur Sari. Ternyata bapak dan ibu seniman - yang lukisan “Celeng”-nya berbanderol Rp 1 Milyar tersebut - sama sekali tak bisa baca-tulis. Mereka mengandalkan naluri dan biting (lidi) untuk menghitung angka-angka (halaman 220).

Sejak kecil Djoko Pekik terbiasa menggarap sawah. Saat itu, mereka sedang masa paceklik (susah). Situasi ini diperparah dengan meletusnya pemberontakan tentara “merah” pada 1948-1949 di Madiun.

Dalam buku ini dikisahkan pada usia 11 tahun Djoko Pekik didaulat menjadi pemain ketoprak. Para tentara rakyat mengajarinya berakting, sebagai selingan zaman perang. Ia memerankan lakon Klenting Kuning, seperti termaktub dalam kisah Ande-ande Lumut. Pertunjukan digelar di kota Kecamatan. Ia musti pergi-pulang dengan berjalan kaki sejauh 30 km.

Orang tua Djoko Pekik memiliki 12 anak. Keduanya berturut-turut wafat pada 1960 dan 1970. Sehingga ia tak dapat membalas budi baik mereka. Saat itu Djoko masih mendekam di dalam penjara (1970). Djoko Pekik dituduh oleh rezim orba terlibat dalam aliran kiri. Ia memang terkenal sebagai salah satu seniman LEKRA.

Buku ini juga memuat teladan kehidupan orang tua PM Laksana. Antropolog kondang ini mengaku sempat merasa ragu sebelum menulis kesaksian tentang orang tuanya. Ia bukanlah seorang nabi, kenapa musti mewartakan hal-hal yang bersifat personal kepada dunia. Setelah lama berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk sharing juga karena memang ia banyak belajar dari kedua orang tuanya (halaman 321).

Orang tua PM Laksana ialah seorang petani. Kakek dan neneknya juga petani dan pedagang tradisional. Ayahnya ialah mantan preman pasar. Ia bertobat karena pernah menempeleng dan seketika orang itu terkapar pingsan. Ayahnya menyadari betapa dahsyat kekuatan yang dimiliki. Lantas ayahnya memutuskan memakai kekuatan tersebut bukan untuk menaklukkan orang lain, melainkan untuk mengalahkan diri sendiri.

Dari sang ayah, PM Laksana belajar ketegasan. Hidup dimaknai sebagai perjuangan. Pendidikan tak hanya di sekolah, tapi juga di dalam keseharian. Ia berani melawan kemalasan diri sendiri. Sang ayah memberi contoh lewat tindakan sederhana.

Buku ini memverifikasi kebenaran sederhana, “Sejarah pribadi kita bisa jadi sejarah besar. Setiap orang ialah orang besar. Kisah hidup kita menyiratkan keagungan Sang Pencipta. Hidup bukan sekedar materi, tapi penuh bergelimang berkah. Selamat membaca dan meneruskan anugerah tersebut bagi sesama.

T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru SMA Budya Wacana Yogyakarta

Tidak ada komentar: