MEMAKNAI KEMBALI NITI SASTRA
Judul buku: Niti Sastra, Kebijaksanaan Klasik Bagi Manusia Indonesia Baru
Penulis: Anand Krishna
Kata pengantar: Sri Sultan Hamengku Buwono X
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I/ April 2008
Tebal: xvii + 316 halaman
Harga: Rp 50.000
Sekedar membaca kata pengantarnya saja sudah membuat kita terkesima. Kenapa? Karena ditulis oleh Sang Pewarih budaya Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercinta ini. Siapa lagi kalau bukan Sri Sultan HB X. Ngarso Dalem mengatakan bahwa falsafah Kejawen itu beraoma khas sehingga menarik minat banyak orang. Kita tak akan pernah tuntas membicarakannya, tapi aspek-aspek filosofis tersebut sungguh bisa dirasakan manfaatnya (migunani) dalam keseharian ziarah hidup. Selain itu, laku Kejawen tak pernah membosankan karena menyimpan begitu banyak simbol dan makna yang memancing keingintahuan kita. Percikan-percikan falsafah hidup Jawa acapkali menyelinap halus via karya susastra klasik (hal x vi).
Niti Sastra merupakan satu di antara seabreg harta-karun yang terpendam di bumi Jawadwipa. Ironisnya putra-putri Mataram justru melupakan warisan khasanah leluhur tersebut dan lebih suka mengimpor budaya luar. Entah itu dari Arab, China, Barat, India, dst. "Niti" berarti "pedoman perilaku", sedangkan "Sastra" sinonim dengan alat yang ampuh guna mengarungi samudera kehidupan yang penuh tantangan. Kakawin ini ditulis pada masa Majapahit lima abad lampau.
Anand Krishna menggunakan aneka rujukan guna mengapresiasi Niti Sastra. Antara lain Bibliotheca Javanica 54 (R. Ng. Dr. Poerbatjaraka, 1933), versi terjemahan bahasa Jawa oleh R.M. B Djajahendra (Balai Pustaka, 1960), versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Padmodihardjo dan Resowidjojo (Depdikbud, 1978) dan last but not least karya monumental Sir Stamford Raffles - The History of Java - yang menyajikannya dalam versi bahasa Inggris.
Leluhur kita begitu piawai mengolah rasa, pikiran, bahkan mengurus masalah profan seperti tata negara. Misalnya soal ukuran keberhasilan seorang pemimpin (hal 76) dikatakan, "Anak manusia tergantung pada induknya; ikan tergantung pada kedalaman airnya; burung di langit tergantung pada sayapnya; seorang pemimpin tergantung pada kepuasan mereka yang dipimpinnya."
Kontekstualisasinya kini berarti kepuasan rakyatlah yang menjadi parameter keberhasilan seorang pemimpin. Baik itu dari tingkat RT sampai level Pusat sekalipun. Bila anak-anak bangsa justru tercekik akibat kebijakan kenaikan harga BBM maka seyogyanya pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada penelitian dan pengembangan sumber energi alternatif seperti Bahan Bakar Air (BBA). Info soal teknologi tepat guna ini bisa diakses secara free di: www.water4gas.com
Secara lebih mendalam, buku ini juga mengulas perihal kesehatan mental yang berbasis budaya lokal. "Berhati-hatilah selalu terhadap enam musuh: keinginan yang berlebihan; amarah; keserakahan; keterikatan; rasa iri dan keangkuhan. Janganlah sekali-kali meremehkan kekuatan mereka. Berhati-hatilah supaya pikiranmu tetap jernih, akal tetap sehat (hal 26)" Senada dengan wejangan Raden Ngabehi Ronggowarsito "…sing eling lan waspodo…" Berada di bawah maupun di atas "Sang Aku" tetap seimbang.
Lantas apa nada-nada-nya (tanda-tanda) seseorang itu sehat lahir - batin? mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual paska sembuh secara ajaib dari Leukemia ini menegaskan, "Seorang bijak bukanlah ia yang menjelek - jelekkan orang lain hanya untuk memperoleh perhatian (hal 227)." Baik Wilder yang mem-"fitna" spirit kedamaian Islam maupun anasir preman berjubah yang mengatasnamakan agama tertentu tapi justru menggunakan cara-cara himsa (kekerasan)… jelas keduanya masih perlu menjalani rawat inap.
Seperti 110 buku lebih lainnya, Anand Krishna memiliki gaya penulisan yang khas. Yakni mampu menyampaikan ajaran luhur secara gaul dan fungky. Bahasanya ceplas-ceplos tanpa menafikan kedalaman makna dan dibumbui pula dengan humor segar. Pria keturunan India kelahiran Surakarta ini mencantumkan pula pidato-pidato Bung Karno yang menggetarkan. Misalnya di halaman 167 termaktub, "Kita sekalian ialah mahkluk Allah. Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini seolah-olah adalah buta. Ya benar kita merencanakan, kita bekerja, kita mengerahkan angan-angan kepada suatu hal di waktu yang akan datang. Tetapi pada akhirnya, Tuhan pulalah yang menentukan. Justru karena itulah, bagi kita adalah suatu kewajiban untuk senantiasa memohon pimpinan kepada Tuhan." – Penyambung Lidah Rakyat.
Sepakat Bung! Manusia memang hanya alat-Nya alias Niti Sastra di tangan Gusti Tan Kinaya Apa. Buku ini sejatinya merupakan sarana permenungan kita bersama guna mencecap Kasih Universal Maha Maya (Bunda Alam Semesta). Sehingga niscaya kita tak akan mempersoalkan perbedaan kolam agama di KTP lagi. Rahayu!
Judul buku: Niti Sastra, Kebijaksanaan Klasik Bagi Manusia Indonesia Baru
Penulis: Anand Krishna
Kata pengantar: Sri Sultan Hamengku Buwono X
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I/ April 2008
Tebal: xvii + 316 halaman
Harga: Rp 50.000
Sekedar membaca kata pengantarnya saja sudah membuat kita terkesima. Kenapa? Karena ditulis oleh Sang Pewarih budaya Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tercinta ini. Siapa lagi kalau bukan Sri Sultan HB X. Ngarso Dalem mengatakan bahwa falsafah Kejawen itu beraoma khas sehingga menarik minat banyak orang. Kita tak akan pernah tuntas membicarakannya, tapi aspek-aspek filosofis tersebut sungguh bisa dirasakan manfaatnya (migunani) dalam keseharian ziarah hidup. Selain itu, laku Kejawen tak pernah membosankan karena menyimpan begitu banyak simbol dan makna yang memancing keingintahuan kita. Percikan-percikan falsafah hidup Jawa acapkali menyelinap halus via karya susastra klasik (hal x vi).
Niti Sastra merupakan satu di antara seabreg harta-karun yang terpendam di bumi Jawadwipa. Ironisnya putra-putri Mataram justru melupakan warisan khasanah leluhur tersebut dan lebih suka mengimpor budaya luar. Entah itu dari Arab, China, Barat, India, dst. "Niti" berarti "pedoman perilaku", sedangkan "Sastra" sinonim dengan alat yang ampuh guna mengarungi samudera kehidupan yang penuh tantangan. Kakawin ini ditulis pada masa Majapahit lima abad lampau.
Anand Krishna menggunakan aneka rujukan guna mengapresiasi Niti Sastra. Antara lain Bibliotheca Javanica 54 (R. Ng. Dr. Poerbatjaraka, 1933), versi terjemahan bahasa Jawa oleh R.M. B Djajahendra (Balai Pustaka, 1960), versi terjemahan bahasa Indonesia oleh Padmodihardjo dan Resowidjojo (Depdikbud, 1978) dan last but not least karya monumental Sir Stamford Raffles - The History of Java - yang menyajikannya dalam versi bahasa Inggris.
Leluhur kita begitu piawai mengolah rasa, pikiran, bahkan mengurus masalah profan seperti tata negara. Misalnya soal ukuran keberhasilan seorang pemimpin (hal 76) dikatakan, "Anak manusia tergantung pada induknya; ikan tergantung pada kedalaman airnya; burung di langit tergantung pada sayapnya; seorang pemimpin tergantung pada kepuasan mereka yang dipimpinnya."
Kontekstualisasinya kini berarti kepuasan rakyatlah yang menjadi parameter keberhasilan seorang pemimpin. Baik itu dari tingkat RT sampai level Pusat sekalipun. Bila anak-anak bangsa justru tercekik akibat kebijakan kenaikan harga BBM maka seyogyanya pemerintah perlu memberi perhatian lebih pada penelitian dan pengembangan sumber energi alternatif seperti Bahan Bakar Air (BBA). Info soal teknologi tepat guna ini bisa diakses secara free di: www.water4gas.com
Secara lebih mendalam, buku ini juga mengulas perihal kesehatan mental yang berbasis budaya lokal. "Berhati-hatilah selalu terhadap enam musuh: keinginan yang berlebihan; amarah; keserakahan; keterikatan; rasa iri dan keangkuhan. Janganlah sekali-kali meremehkan kekuatan mereka. Berhati-hatilah supaya pikiranmu tetap jernih, akal tetap sehat (hal 26)" Senada dengan wejangan Raden Ngabehi Ronggowarsito "…sing eling lan waspodo…" Berada di bawah maupun di atas "Sang Aku" tetap seimbang.
Lantas apa nada-nada-nya (tanda-tanda) seseorang itu sehat lahir - batin? mantan pengusaha garmen yang banting setir menjadi aktivis spiritual paska sembuh secara ajaib dari Leukemia ini menegaskan, "Seorang bijak bukanlah ia yang menjelek - jelekkan orang lain hanya untuk memperoleh perhatian (hal 227)." Baik Wilder yang mem-"fitna" spirit kedamaian Islam maupun anasir preman berjubah yang mengatasnamakan agama tertentu tapi justru menggunakan cara-cara himsa (kekerasan)… jelas keduanya masih perlu menjalani rawat inap.
Seperti 110 buku lebih lainnya, Anand Krishna memiliki gaya penulisan yang khas. Yakni mampu menyampaikan ajaran luhur secara gaul dan fungky. Bahasanya ceplas-ceplos tanpa menafikan kedalaman makna dan dibumbui pula dengan humor segar. Pria keturunan India kelahiran Surakarta ini mencantumkan pula pidato-pidato Bung Karno yang menggetarkan. Misalnya di halaman 167 termaktub, "Kita sekalian ialah mahkluk Allah. Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini seolah-olah adalah buta. Ya benar kita merencanakan, kita bekerja, kita mengerahkan angan-angan kepada suatu hal di waktu yang akan datang. Tetapi pada akhirnya, Tuhan pulalah yang menentukan. Justru karena itulah, bagi kita adalah suatu kewajiban untuk senantiasa memohon pimpinan kepada Tuhan." – Penyambung Lidah Rakyat.
Sepakat Bung! Manusia memang hanya alat-Nya alias Niti Sastra di tangan Gusti Tan Kinaya Apa. Buku ini sejatinya merupakan sarana permenungan kita bersama guna mencecap Kasih Universal Maha Maya (Bunda Alam Semesta). Sehingga niscaya kita tak akan mempersoalkan perbedaan kolam agama di KTP lagi. Rahayu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar