April 14, 2008

Merevitalisasi Spirit Pancasila

Dimuat di Rubrik Bebas Bicara, Bernas Jogja, 14 April 2008

"Indonesia dibangun dengan cita-cita yang lebih luhur, dengan nilai yang lebih tinggi, yaitu Pancasila. Lahirnya Pancasila menunjukkan betapa tinggi budi dari para perintis kemerdekaan kita" - Anand Krishna

Apa tujuan para founding fathers mendirikan Republik Indonesia ini 63 tahun silam? Lantas, spirit apa yang menggerakkan rakyat bergotong-royong dan rela mengorbankan harta, benda bahkan nyawa untuk mengusir penjajah yang menginjak-injak kehormatan Ibu Pertiwi selama 350 tahun? Menurut hemat penulis, jawabnya termaktub dalam lima butir mutiara Kehidupan: Pancasila!

Sila pertama - meminjam istilah Romo Mangun - memuat nilai religiusitas alias keberagamaan. Sejatinya spirit di balik setiap ritual (baca: Spiritualitas) agama ialah urusan personal kita dengan Allah, Tao, Buddha, Widhi, Gusti Pangeran apapun sebutan bagi Sang Maha Daya Cinta. Sifatnya sangat konfidensial (privat) sekaligus magis.

Turunannya niscaya seluruh peri kehidupan kita, baik dalam ranah sosial, ekonomi, politik maupun budaya dalam keseharian ziarah hidup ini dilandasi dan dirembesi oleh nilai-nilai universal yang menjadi esensi setiap agama-agama besar di dunia. Kasih, bela rasa dan keberpihakan pada korban yang tertindas, misalnya.

Sedikit intermezo ialah soal pencantuman kolom agama di KTP. Banyak pasangan muda-mudi beda agama yang tak bisa naik ke pelaminan hanya karena urusan administratif. Cinta dua anak manusia tersubordinasi oleh kendala teknis. Ironis! Di dunia ini hanya ada dua negara yang mencantumkan kolom agama pada ID Card. Yakni di Arab Saudi dan Indonesia. Implikasinya begitu memprihatinkan, di Poso, banyak terjadi sweeping yang menelan korban di kedua belah pihak.

Mari kita belajar dari pengalaman Lebanon. Di sana sempat pula terjadi konflik bernuansa SARA selama 16 tahun lebih. Ribuan nyawa melayang sia-sia. Dan salah satu pemicunya ialah pencantuman kolom agama di KTP. Sekarang akhirnya peraturan diskriminatif tersebut dihapuskan sama sekali. Menurut hemat penulis, pencantuman jenjang pendidikan terakhir kiranya lebih relevan karena berkait kompetensi kerja seseorang.

Sila kedua, memuat nilai humanitas (kemanusiaan). Kini marak terjadi pelanggaran HAM di negri ini. Dari kasus premanisme pencopetan di dalam bus kota, penjarahan berjamaah dalam kasus BLBI, sampai arogansi preman berjubah yang mencemari "Ayat-Ayat Cinta" dengan aroma kekerasan. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan cita-cita para bapa bangsa yang hendak merajut tata kemanusiaan secara adil dan beradab (baca: santun).

Mari kita belajar dari Yang Mulia Dalai Lama. Walau banyak korban berjatuhan akibat intimidasi rezim komunis China. Tapi pemenang nobel perdamaian tersebut senantiasa "membalas" aksi barbarian tersebut dengan a-himsa. Kesadaran ini yang justru menarik simpati seluruh dunia kepada rakyat Tibet. Sebab kotoran tak bisa dibersihkan dengan air selokan. Tapi musti dibersihkan dengan air bening yang keluar dari "Tuk" alias Sumber Kebenaran Sejati.

Sila ketiga, memuat nilai nasionalitas (kebangsaan). Saat ini tengah terjadi intevensi asing yang cenderung kebablasan. Menyitir seruan Bung Karno, "Watch Out Dab! Neo Imperialisme is coming now!"

Tidak ada komentar: