Juni 04, 2011

Hati Seribu Pintu

31 May 2011

Ada dua cara untuk mengatasi kesedihan akibat kehilangan orang tercinta. Pertama, dengan melihat sosoknya dalam diri sesama yang kita jumpai. Kedua, dengan memperjuangkan apa yang mereka cita-citakan selama masih hidup namun belum sempat terwujud. Begitulah petuah bijak Shirdi Sai Baba.

Baba merupakan salah satu tokoh hebat yang pernah memberkahi bumi biru ini. Beliau dilahirkan pada 28 September 1838 dan wafat pada 15 Oktober 1918. Bagi penganut agama Hindu, Baba ialah seorang Maha Yogi. Sedangkan umat Muslim menyebut beliau Mistik Sufi/Fakir Suci. Baba berjuang untuk mendamaikan kedua kelompok yang acapkali bersitegang di India.

Beliau tinggal di sebuah masjid bernama Dwarakamayi. Artinya, rumah dengan seribu pintu. Sebagai simbolisasi bahwa bangunan tersebut diperuntukkan bagi semua orang. Siapa saja boleh singgah dan melepas lelah. Terlepas dari perbedaan suku, agama, rasa, dan antar golongan (SARA).

Salah seorang bhakta (baca: murid) bernama Hemadpant mendokumentasikan pengalaman hidupnya bersama Baba dalam sebuah buku. Lantas, diberi judul Shri Sai Satcharita. Sat berarti kebenaran, Charita sinonim dengan cerita. Namun bukan sekedar kisah fiktif, melainkan kisah nyata. Kehidupan sehari-hari Baba dari desa Shirdi, Ahmednagar, Maharashtra, India-lah yang menjadi sumber inspirasi buku ini.

Relatif tebal memang, terdiri atas 50 bab. Aslinya berbahasa Marathi, sebuah ragam bahasa lokal setempat. Versi bahasa Inggrisnya dapat diunduh di http://www.saibaba.org/saisatc.html. Sai Das menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Ia menuliskan pula apresiasi pada setiap babnya.

Menurut Baba, ada 14 kelemahan dalam diri kita. Inilah yang menyebabkan kemerosotan kesadaran dan devolusi peradaban manusia. Antara lain tidak percaya diri, tidak jujur, mudah marah, tidak peduli, kebiasaan menunda, sembarangan bergaul, bersikap malas, mudah terbawa nafsu, kurang pertimbangan akal sehat, meminta nasehat dari orang yang tidak kompeten, tidak menindaklanjuti perencanaan yang telah dibuat, tidak bisa menyimpan rahasia alias ember, dan mencari goro-goro (membuat masalah).

Secara lebih mendalam, kehadiran para bijak pada satu masa krisis peradaban sekedar untuk mengingatkan umat manusia kepada panggilan sejarah kelahirannya. Yakni untuk menemukan jati diri, mengasihi segenap titah ciptaan, dan menjadikan bumi ini sebagai tempat singgah yang lebih indah.

Shirdi Sai Baba memberkahi siapa dan apa saja dengan kasih tanpa syarat. Bahkan terhadap pihak-pihak yang memusuhinya sekalipun. Sebab air kotor tak bisa membersihkan lantai yang kotor. Hanya air bersih yang bisa menghilangkan titik noda.

Rabuk

Baba mengajarkan untuk berterimakasih kepada orang yang menjelek-jelekkan kita. Analogi yang dipakai sungguh menarik. Lazimnya untuk membersihkan lantai yang kotor kita menggunakan sapu atau kain pel, tapi orang tersebut justru menggunakan lidahya sendiri. Orang yang berbicara ihwal keburukan orang lain malah membersihkan kekotoran diri subjek yang digosipkan tersebut.

Dalam tradisi Kejawen, fitnah dan berita bohong ibarat rabuk atau pupuk organik. Kita justru harus berterimakasih terhadap orang tersebut karena kian menyuburkan lahan batin kita. Tentu dengan catatan bila kita tak membalas kejahatan tersebut dengan kejahatan pula. Kita sudi memberikan maaf tulus dari hati terdalam. Biarlah hukum alam bekerja, barang siapa menebar angin pasti menuai badai.

Ada juga analogi menarik tentang hubungan Guru dan Murid. Ibarat seekor burung merpati yang terbang bebas kemanapun ia hendak pergi. Kendati demikian, suatu ketika pasti kembali ke kediaman tuannya. Seluruh dunia boleh menolak kita, tetapi seorang Guru Sejati tetap menerima diri kita apa-adanya. Inilah keyakinan seorang murid.

Misalnya bila mau mahir menulis. Timbalah ilmu dari para jurnalis “senior”. Yakni mereka yang terlebih dahulu malang-melintang di jagat udar gagasan lewat ke-26 aksara Latin ini. Niat untuk belajar tersebut tak menunjukkan kelemahan diri seorang penulis “pemula”, tapi justru menyiratkan jiwa ksatria. Berani mengakui keterbatasan diri sekaligus bertekad bulat untuk terus maju. Dengan menggali pengalaman dari mereka yang memiliki lebih banyak “jam terbang”.

Kalau dalam bidang yang bersifat profan saja kita musti belajar dari mereka yang lebih dulu menguasai keahlian (skill) tertentu, apalagi dalam ranah spiritual. Sebab dalam praksis olah batin jebakannya lebih halus dan tersamar. Lebih baik belajarlah dari para bijak. Bukan berarti sekedar minta digendong. Tapi setidaknya kita tahu tikungan curam mana yang berbahaya sehingga bisa mengantisipasi sebelum berbelok. Tentunya dengan kaki sendiri kita musti melangkah.

Lantas Baba memaparkan 10 kualifikasi seorang pencari Kebenaran. Antara lain, Mumuksha atau keinginan yang sangat kuat untuk meraih kebebasan dari segala macam keterikatan. Tanpa keinginan yang kuat, seorang pencari tidak akan menemukan apa-apa. Taubah atau bertobat. Tidak hanya menyesali perbuatannya yang salah tapi memastikan bahwa dirinya tidak melakukan lagi kekhilafan serupa. Hanya keledai yang 2 kali jatuh ke lubang yang sama.

Akhir kata, kehadiran seorang Guru dalam hidup memudahkan perjalanan batin manusia. Dari setetes “aku” menuju samudera “Sang Aku”. Dari kesadaran debu menjadi kesadaran kosmos. Sang Guru ibarat pemandu (guide) turis. Ia paham seluk-beluk kota, sehingga bisa menunjukkan tempat persinggahan yang mengasyikkan. Buku ini merupakan karya tulis yang layak direnungkan, diapresiasi dan dilakoni oleh para pecinta kehidupan (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di SMP Fransiskus Bandar Lampung)

Judul: Shri Sai Satcharita, Kisah Keajaiban dan Wejangan Shirdi Sai Baba
Penulis: Govind Raghunath Dabholkhar “Hemadpant”
Penerjemah: Sai Das
Penerbit: Koperasi Global Anand Krishna
Cetakan: I, 2010
Tebal: xv + 577 halaman

Sumber: http://hminews.com/news/hati-seribu-pintu/

Tidak ada komentar: