23 May 2011
“Ukirlah di atas batu nisanku: Kafir – Pembangkang. Kafir bagi setiap lembaga agama yang berkompromi dengan kesalahan. Pembangkang terhadap setiap pemerintah yang menindas orang miskin.” Wendell Phillips – Aktivis Kemanusiaan (1811-1884)
Buku ini terjemahan, re-editing, dan catatan Anand Krishna atas 2 karya monumental Wallace D. Wattles: A New Christ (1900) dan “Jesus: The Man and His Works”. Yesus mengibaratkan kesadaran seperti anak kecil (childlike). Senantiasa ceria dan keranjingan rasa bahagia (everlasting joy). Tapi bukan berarti kekanak-kanakan (childish). Tetap polos tapi tidak bodoh. Bahkan penuh inisiatif dan kreatif. Terakhir tapi penting, tidak terikat pada kondisi apapun.
Anand menguraikannya, “Tatkala anak kecil kehilangan mainan, ia menangis sebentar saja. Lantas segera melupakannya semenit kemudian.” Dalam tradisi Kejawen ada istilah, “gula lali,” sesaat pasca menangis langsung bisa tertawa. Logika anak sederhana, “Hilang ya hilang.” Semua mengalir secara alami dan wajar. Sebaliknya, apa jadinya kalau seorang dewasa kehilangan sosok yang dicintai? Sang Buddha pun mengatakan bahwa keterikatan (kemelekatan) ialah sumber penderitaan manusia. Senada dengan peribahasa Inggris, “Don’t cry because the birds will fly…”
Yesus hidup pada masa pemerintahan Romawi. Saat itu Roma enggan mengurusi kepentingan rakyatnya. Mereka lebih suka menunjuk raja-raja kecil di wilayah kekuasaannnya itu. Dari pemerintahan lokal tersebut mereka menarik upeti.
Penguasa setempat menekan para pengusaha. Yakni lewat pungutan pajak yang tinggi. Akibatnya, para orang kaya tersebut mengeksploitasi masyarakat kelas bawah habis-habisan. Demikianlah cara sistemik Roma mengadu-domba dan menciptakan friksi di antara sesama anak bangsa.
Ironisnya, para pekerja tak menyadari bahwa sejatinya mereka menjadi korban pihak penguasa. Bukan pihak pengusaha itu sendiri. Dalam buku ini Wattles mengkaitkannya dengan situasi abad 20. Sebagai ilustrasi ihwal apa yang terjadi pada zaman itu. Penghasilan Herodes di Galilea berkisar US$3.5 juta per tahun. Angka tersebut jauh bila dibandingkan dengan kekayaan seorang Rockefeller. Saat ini “kerajaan” Rockefeller sudah hampir tak mengenal batas (halaman 25).
Wattles sempat mengunjungi pemukiman kumuh di Chicago. Di salah satu rumah, seorang anak sakit parah dan terbaring lemah di atas ranjang. Si anak berusaha menghibur ibunya, karena mereka tak mampu berobat ke rumah sakit. Ayahnya bekerja di pabrik tak jauh dari rumah. Ia pun tahu kalau anaknya tak akan bertahan lama. Sehingga setiap ada waktu istirahat, ia pulang ke rumah untuk menjenguk.
Tak lama kemudian datanglah ayah anak itu. Sosok seorang pekerja kasar. Rambutnya tak rapi, berewoknya lebat. Ia mendekati anaknya dan seperti yang dikatakan oleh anak yang sedang menunggu “jemputan” itu, “Hei anak muda, apa kabar?” Ia tak mampu menyembunyikan kepedihannya. Si anak memaksa diri untuk menjawab pelan, “Baik, Pa. Aku baik, Pa…” Lantas anak kecil itu menghembuskan nafas terakhir.
Wattles meradang, “Lagi-lagi nyawa seorang anak “miskin” melayang begitu saja karena ketidakpedulian kita. Secara lebih makro ia menulis, “…setiap sistem, peraturan, lembaga dan apa saja yang menghalangi seorang anak kumuh untuk hidup sepenuhnya, tak direstui oleh-Nya. Kerugian materi sebesar apapun tidak sebanding dengan ketidakadilan terhadap seorang anak kecil. Inilah inti ajaran Yesus. Tidak heran, bila Ia disalibkan.”(Halaman 54).
Suatu malam, seusai mendengar ceramah Wattles di Chicago, seorang peserta mendekatinya, si gadis berkata, “Orang kecil seperti diriku adalah gagang dongkrak tersebut. Kita semua – orang kecil – mengangkat dunia ini. Kita memajukan dan mengembangkan industri. Tapi, kita sendiri tak pernah menikmati kemajuan itu. Keadaan kita persis seperti gagang dongkrak. Dunia yang didongkrak naik, meningkat, tapi gagang dongkrak itu tetap di bawah. Tidak ada harapan baginya.”
Secara mengejutkan ia menawarkan solusi, “Seandainya orang kecil tidak menjadi dongkrak. Seandainya kita bisa membuat tangga spiral untuk dipakai bersama. Betapa indahnya, jika kita bisa meningkat, maju, dan berkembang bersama. Sosialisme ala Yesus menjamin rumah hunian yang layak bagi jutaan keluarga yang belum memiliki tempat tinggal. Bukan sepetak saja tapi sebuah hunian asri nan indah, lengkap dengan pekarangan dan kebun yang luas. Tempat setiap keluarga bisa bercocok tanam dan menghasilkan sayur-mayur, buah-buahan, dan bahan pangan secara organik.
Rumah mereka memiliki perpustakaan, peralatan musik, lukisan dan apa saja yang dibutuhkan untuk pengembangan diri dan olah batin. Sosialisme ala Yesus tidak hanya menjamin kendaraan pribadi seperti mobil, tetapi juga kapal pesiar untuk tamasya bersama. Namun sosialisme ala Yesus tak membenarkan kepemilikan pribadi atas sarana publik. Seperti jalan raya, sarana perhubungan, industri besar, dan BUMN yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Untuk itu perlu dibentuk semacam koperasi (cooperative society) untuk mengaturnya.
Dalam menafsirkan Yesus dan ajaran-Nya Wattles menggunakan metode naratif dan sitz im leben. Hal ini tentu melibatkan subjektifitas penulis. Kendati demikian, buah pena Wattles serta inisiatif Anand menterjemahkan, mengedit ulang, membubuhkan catatan singkat, dan memberikan latihan meditasi layak diapresiasi. Menyitir pendapat Mahatma Gandhi, “Yesus memberi tanpa mengharapkan imbalan. Ia tidak peduli layar belakang kepercayaan sang penerima. Aku yakin bila Ia berada di tengah kita saat ini, Ia akan memberkati setiap orang yang menjalani ajaran-Nya, mencintai sesama makhluk, walau orang itu tidak pernah bertemu, bahkan mendengar nama-Nya.” (T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris SMP Fransiskus Bandar Lampung)
Judul Buku: A New Christ, Jesus – The Man and His Works
Penulis: Wallace D. Wattles
Penerjemah, Re-editor dan Catatan: Anand Krishna
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I/November 2010
Tebal: xxxxii + 251 Halaman
ISBN: 978-979-22-6342-8
Sumber: http://hminews.com/news/keberpihakan-pada-kaum-tertindas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar