Dimuat di Rubrik Peduli Pendidikan KR, Selasa/22 November 2011
Semula seorang teman kecil siswa kelas 1 SD Joannes Bosco Baciro Yogyakarta enggan memegang adonan abu, garam dan bata. Ia takut kukunya menjadi kotor. Tapi akhirnya berani juga. Dengan penuh keceriaan ia membawa pulang sebungkus bakal telur (bebek) asin. “Ini untuk mama dan papaku di rumah,” ujarnya.
Begitulah pengalaman penulis tatkala menjadi fasilitator bahasa Inggris di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Angon. Sekolah alam ini terletak di Dusun Mustokorejo Dukuh Setan Maguwoharjo (sebelah barat pasar Setan) Sleman, Yogyakarta. “Wait until 15 days, so the salty egg will be ready to be eaten (tunggu sampai 15 hari, maka telur itu siap di makan,” para fasilitator mengingatkan sebelum mereka pulang.
Sekolah alternatif yang didirikan Drs Istoto MM CHt ini memang lebih sering menggunakan pengantar Bahasa Inggris. Karena anak-anak lebih mudah belajar pada usia 3 tahun ke atas. Selain itu, PKBM Angon mengajak mereka kembali ke alam. Misalnya, dengan menanam cabai, menangkap ikan di kolam, mengumpulkan telur bebak, dan bermain Cublak-cublak Suweng.
Aktivitas di alam terbuka dengan kaki telanjang tanpa alas kaki membuat mereka lebih dekat dengan lingkungan. Karena selama ini, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dalam ruangan dengan bermain playstation dan game on line.
Dalam menyampaikan materi, para fasilitator juga acap kali menggunakan teknik mendongeng. Sehingga dapat men-delete (hapus) programming yang keliru selama ini. Entah dari orang tua maupun sekolah. Sebab - sadar atau tidak sadar - tuntutan kurikulum nasional membuat anak didik tersiksa dengan begitu banyak tugas. Ihwal sitilah PR (Pekerjaan Rumah), kami lebih sering menyebutnya sebagai Permainan Rumah.
Kembali ke awal cerita dalam tulisan ini, siswa tadi mengajukan pertanyaan kreatif, “Kalau kita ganti garam dengan gula, bisa jadi telur legi (manis) ya Kak?” Penulis menjawab, “Ok let’s try to make a sweet egg!” (Ok, mari kita coba membuat telur manis!).
Ternyata, bila anak (dan juga orang dewasa) menikmati proses belajar niscaya terlahir banyak ide baru nan cemerlang. Senada dengan pendapat filsuf besar George Bernard Shaw, “We don’t stop playing because we grow old, we grow old while stop playing.” Terjemahan bebasnya ialah, “Kita tak berhenti bermain karena menjadi tua, tapi kita menjadi tua kalau berhenti bermain.”
T. Nugroho Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam) Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar