Januari 21, 2008

Kembalikan Pelajaran Budi Pekerti!

Dimuat di Rubrik Opini Pembaca, Media Indonesia, 19 Januari 2008.

Pertama dan utama, kenapa pelajaran budi pekerti urgently required alias mendesak diajarkan (kembali) di sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke? Sebab, menurut bagawan pendidikan nasional - Ki Hadjar Dewantara - budi pekerti merupakan saripati ajaran agama-agama besar di dunia dan kepercayaan lokal leluhur kita.

Lebih lanjut, budi pekerti juga memfasilitasi para murid untuk mengkaji secara mendalam nilai-nilai universal yang tak lekang oleh zaman. Seperti prinsip kejujuran (satunya fakta dan kata), integritas (satunya kata dan tindakan), keberanian memperjuangkan keadilan dan demokrasi walau nyawa taruhannya, sikap tepa sliara alias apresiasi terhadap pelangi perbedaan yang ada dan bela rasa alias solidaritas dengan sesama titah ciptaan yang menderita dan tertimpa bencana, dst.

Ironisnya, kini yang terjadi di dunia pendidikan kita justru pola pengkotak-kotakan dan klaim arogan sepihak atas Kebenaran yang niscaya berpotensi menyebabkan perang saudara dan disintegrasi bangsa di masa depan. Misalnya, saat pelajaran agama berlangsung di sekolah negri, anak-anak nonmuslim dipisahkan atau disuruh keluar kelas. Benih perpecahan mulai ditebar di ruang-ruang kelas kepada siswa-siswi yang begitu polos. Bahkan si guru pun menceletuk,"Anak-anak, mereka yang berada di luar kelas itu kafir, mereka tidak akan masuk surga!" Sebaliknya, guru yang di luar menimpali,"Anak-anak, kasihan mereka yang di dalam, mereka tidak akan memperoleh keselamatan!"

Hal semacam ini tak bisa terus dibiarkan karena bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan sebagai - meminjam istilah Prof Driyarkara SJ- proses memanusiakan manusia. Seyogianya para guru dan anak didik belajar mengapresiasi sesama walau berbeda agama dan kepercayaan sekalipun. Senada dengan petuah Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma, bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa. Artinya, berbeda tapi tetap satu jua, tak ada dualitas dalam menjalankan dharma bangsa dan berbhakti bagi Ibu Pertiwi.

Ambon dan Poso masih bergolak sampai detik ini karena konflik bernuansa SARA. Amrozi dan Imam Samudera serta kawan-kawanya masih bisa cengar-cengir karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, segenap elemen masyarakat madani (civil society) musti bergandeng tangan, bergotong-royong, dan berupaya sekuat tenaga guna mengantisaipasi agar tragedi kemanusiaan dan aksi pengeboman semacam itu tak terjadi lagi di Bumi Pertiwi tercinta ini.

Lebih lanjut, menurut Anand Krishna, selama 2.000 tahun terakhir, manusia telah berperang 3.000 kali lebih atas nama agama. Padahal sejatinya agama merupakan urusan personal antara kita dengan Allah SWT, Bapa di surga, Tao, Buddha, Hyang Widhi, Gusti Pangeran, dan apapun sebutannya kepada Sang Mahadaya Cinta!

Ada banyak cara beribadah dan mengabdi di kaki suci-Nya, tapi ibarat aliran sungai, semua itu bermuara di samudera Kehidupan yang satu-adanya, yakni Tuhan Yang Maha Esa! Di Yogyakarta, setidaknya ada empat sungai besar yang membelah Bumi Mataram tercinta, yakni Progo, Code, Gajah Wong, dan Winongo. Toh akhirnya semua bersatu dalam pangkuan Nyi Roro Kidul alias Segara Kidul di Laut Selatan sana.

Kalau kita cermati dengan kepala dingin, sejatinya sentimen agama yang acapkali dipakai oleh segelintir kelompok radikal yang mau menang dan benar sendiri (baca:fanatik) dengan membeo pada doktrin/dogma agama tertentu hanyalah alat untuk mencapai tujuan politis jangka pendek (baca: politisasi agama). Hal itu merupakan penistaan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama dan kepercayaan lokal leluhur yang notabene menjunjung tinggi kasih, kedamaian dan harmoni (love, peace and harmony).

Maka dari itu, hemat saya, biarlah pelajaran agama diamanahkan kepada orang tua di keluarga, tokoh agama dan pemuka adat di masyarakat setempat, dan last but not least media massa. Rubrik atau program yang menampilkan adegan kekerasan fisik, verbal, dan seksual secara vulgar, serta tayangan mistis berbungkus religi semu ataupun sinetron hedonis yang menghamba pada budaya konsumtif harus disetop sekarang juga!

Kenapa? karena itus semua itu justru menggurita pikiran dan jiwa anak-anak bangsa sehingga menjadi tumpul dan mengkeret. Menyitir seruan Bernard Shaw,"Fokus kita bukanlah pada kepingan trauma masa silam, melainkan pada tanggung jawab bersama untuk mewujudkan kejayaan bagi generasi yang akan datang." Indonesia Jaya!

Tidak ada komentar: