Penulis: Anand Krishna
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: viii + 236 halaman
Harga : Rp 50.000
"Lebih baik hidup di luar Taman Eden bersama Hawa, daripada hidup di Taman Eden tanpa Hawa." Mark Twain (hlm 32)
Saptapadi merupakan khasanah warisan leluhur Nusantara. Memuat 7 janji penopang bangunan rumah tangga berfondasikan sikap saling percaya (trust), hormat (respect) dan cinta (Love).
Sejak dulu kala nenek moyang bangsa ini sudah berbudaya. Misal berkait urusan keluarga, jarang terjadi eksploitasi (hisap-menghisap) ataupun praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laki-laki cenderung menggunakan rasio, sedangkan perempuan lebih mengedepankan intuisi. Sebuah sintesa holistik antara unsur maskulin dan feminin.
Ironisnya, di abad ke-21 ini kita malah melupakan kearifan lokal (local-wisdom) tersebut.
Misal berkait istilah "making love" , terjemahan linearnya berarti cinta yang dibuat-buat. Itu - meminjam istilah WS Rendra - tidak otentik. Padahal dalam tradisi Kejawen, "Tresno" identik dengan sesuatu yang murni dan membangkitkan.
Lantas para "dokter cinta" mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka memberikan resep instan untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Tentu dengan tarif tertentu. Yakni dengan mengucapkan "I Love You" minimal 3 kali dalam sehari. Tapi ada 2 kemungkinan. Pertama, "pasien" merasa ragu, apakah ia masih mencintai pasangannya? dan/atau ia merasa bersalah atas perselingkuhan yang telah diperbuat.
Anand Krishna menawarkan pedoman prilaku (baca: prinsip dasar) untuk mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangga, "Bila Anda belum dapat memahami kebaikan hati pasangan Anda, setidaknya janganlah menjadi penghalang bagi perkembangannya" (hlm 197). Dalam tradisi Kejawen, ada juga paribasan, "Ngono yo ngono - ning yo ojo ngono." Kontekstualisasinya dalam dinamika hidup keluarga ialah jangan merepotkan pasangan kita bila belum mampu mendukungnya. As simple as that!
Tapi kini banyak kaum Adam berpoligami. Alasannya terkesan "rasional", ketimbang selingkuh sembunyi-sembunyi lebih baik berpoligami. Kawin (lagi) dimungkinkan apabila Sang istri tak mampu memberi keturunan. Tapi bagaimana bila "onderdil" si suami yang soak? Kalau memang poligami dihalalkan, kenapa poliandri diharamkan?. Kalau ada Poligami Award, kenapa tak boleh ada Poliandri Idol?. Diskriminasi bias gender ini menunjukkan betapa kuatnya jaring budaya patriarkhal menjerat tubuh molek Nona Pertiwi!
Ini kisah nyata, seorang praktisi poligami memiliki putri tunggal. 26 tahun berselang, sang buah hati tlah beranjak dewasa. Eh tapi malah dimadu orang. Roda karma berputar, saat itu ia baru tersadarkan bahwa betapa sakit hati istri yang menjadi korban poligami. Sehingga janji Saptapadi berbunyi, I shall be faithfull to you." Intinya, "Aku akan senantiasa setia kepadamu!" (hlm 153).
Esensi pernikahan ialah persahabatan. Menurut Ki Ageng Suryametaram, hidup ini cen mulur-mungkeret. Saat pacaran kita pendekatan (pdkt) dulu. Tapi kemudian setelah menikah kok kembali menjadi sahabat? Karena perkawinan ialah perjalanan dari "aku" menjadi "kita". Proses pelampauan ego ini akan melahirkan kebersamaan (togetherness). Tapi bukan berarti atas nama friendship lantas kemanapun berdua, nempel kayak prangko. Solidaritas semu macam itu amat menjenuhkan. Bahkan bisa merampas kebebasan masing-masing individu untuk memuai dan mengaktualisasikan diri.
Para leluhur kita memberi teladan. Pasangan suami-istri secara periodik pisah ranjang. Lho kenapa? agar tiap individu memiliki kesempatan untuk mengasah bakatnya masing-masing. Toh mereka masih bisa bertemu tatkala makan malam, nonton, mendampingi anak belajar, dan senggama tentunya. Namun sayang kini istilah "pisah ranjang" cenderung berkonotasi negatif. Bahkan dijadikan strategi ampuh untuk mendongkrak popularitas di kalangan selebritis.
Secara blak-blakan Anand Krishna membuka kartu. Penulis produktif 110 buku ini memiliki kebiasaan membaca hingga lewat tengah malam. Jam 01.00 WIB baru tidur, kemudian pukul 3.30 WIB si ayah beranak dua tadi sudah bangun, untuk membaca atau sekedar membuat catatan kecil sampai sekitar jam 04.00 WIB. Lantas tidur lagi sampai jam 05.30 subuh. Bayangkan bila beliau menuntut sang istri untuk mengikuti pola ini (hlm 29).
Tak ketinggalan, buku ini juga menyajikan humor-humor segar. Misal, sepulang dari kantor Hola menggoda istrinya, "Istriku masihkan kau ingat dulu waktu aku pulang dari kantor, kamu selalu menyapaku dengan penuh kasih sayang, membantu membukakan sepatu, sedangkan si Brutus, anjing kita, membawa koran sore sembari menggonggong. Tapi kok sekarang terbalik, brutus yang membantuku membuka sepatu dan kamu yang mengomeliku?" (hlm 83). Pertengkaran kecil ibarat bumbu dalam masakan, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Ada juga percakapan filosofis antara Socrates dan muridnya. "Guru apakah aku harus menikah? " tanya si murid ngebet. "Ya kamu harus menikah!" jawab Sang Guru tegas. Murid tadi melongo karena ia tahu pasti bahwa keluarga Socrates jauh dari nuansa sakinah, mawadah, dan warohmah karena istri murid Aristoteles ini pemarah kelas berat. Kemudian Socrates melanjutkan, "Bila kamu beruntung maka keluargamu akan bahagia, sebaliknya kalau kamu kurang beruntung maka kamu akan menjadi filsuf sepertiku hahahahaha (hlm 17). Intinya pengalaman memang guru terbaik kehidupan, istilah Jawanya, "Ngelmu kuwi nganti laku"
Saptapadi ialah referensi berharga untuk menuju keluarga bahagia. Buku ini layak dibaca, didiskusikan dan dipraksiskan oleh para pasangan muda sampai yang lanjut usia. Tak terkecuali bagi komunitas Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut) yang sedang menanti kedatangan belahan jiwanya :)
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2007
Tebal: viii + 236 halaman
Harga : Rp 50.000
"Lebih baik hidup di luar Taman Eden bersama Hawa, daripada hidup di Taman Eden tanpa Hawa." Mark Twain (hlm 32)
Saptapadi merupakan khasanah warisan leluhur Nusantara. Memuat 7 janji penopang bangunan rumah tangga berfondasikan sikap saling percaya (trust), hormat (respect) dan cinta (Love).
Sejak dulu kala nenek moyang bangsa ini sudah berbudaya. Misal berkait urusan keluarga, jarang terjadi eksploitasi (hisap-menghisap) ataupun praktek kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Laki-laki cenderung menggunakan rasio, sedangkan perempuan lebih mengedepankan intuisi. Sebuah sintesa holistik antara unsur maskulin dan feminin.
Ironisnya, di abad ke-21 ini kita malah melupakan kearifan lokal (local-wisdom) tersebut.
Misal berkait istilah "making love" , terjemahan linearnya berarti cinta yang dibuat-buat. Itu - meminjam istilah WS Rendra - tidak otentik. Padahal dalam tradisi Kejawen, "Tresno" identik dengan sesuatu yang murni dan membangkitkan.
Lantas para "dokter cinta" mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka memberikan resep instan untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Tentu dengan tarif tertentu. Yakni dengan mengucapkan "I Love You" minimal 3 kali dalam sehari. Tapi ada 2 kemungkinan. Pertama, "pasien" merasa ragu, apakah ia masih mencintai pasangannya? dan/atau ia merasa bersalah atas perselingkuhan yang telah diperbuat.
Anand Krishna menawarkan pedoman prilaku (baca: prinsip dasar) untuk mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangga, "Bila Anda belum dapat memahami kebaikan hati pasangan Anda, setidaknya janganlah menjadi penghalang bagi perkembangannya" (hlm 197). Dalam tradisi Kejawen, ada juga paribasan, "Ngono yo ngono - ning yo ojo ngono." Kontekstualisasinya dalam dinamika hidup keluarga ialah jangan merepotkan pasangan kita bila belum mampu mendukungnya. As simple as that!
Tapi kini banyak kaum Adam berpoligami. Alasannya terkesan "rasional", ketimbang selingkuh sembunyi-sembunyi lebih baik berpoligami. Kawin (lagi) dimungkinkan apabila Sang istri tak mampu memberi keturunan. Tapi bagaimana bila "onderdil" si suami yang soak? Kalau memang poligami dihalalkan, kenapa poliandri diharamkan?. Kalau ada Poligami Award, kenapa tak boleh ada Poliandri Idol?. Diskriminasi bias gender ini menunjukkan betapa kuatnya jaring budaya patriarkhal menjerat tubuh molek Nona Pertiwi!
Ini kisah nyata, seorang praktisi poligami memiliki putri tunggal. 26 tahun berselang, sang buah hati tlah beranjak dewasa. Eh tapi malah dimadu orang. Roda karma berputar, saat itu ia baru tersadarkan bahwa betapa sakit hati istri yang menjadi korban poligami. Sehingga janji Saptapadi berbunyi, I shall be faithfull to you." Intinya, "Aku akan senantiasa setia kepadamu!" (hlm 153).
Esensi pernikahan ialah persahabatan. Menurut Ki Ageng Suryametaram, hidup ini cen mulur-mungkeret. Saat pacaran kita pendekatan (pdkt) dulu. Tapi kemudian setelah menikah kok kembali menjadi sahabat? Karena perkawinan ialah perjalanan dari "aku" menjadi "kita". Proses pelampauan ego ini akan melahirkan kebersamaan (togetherness). Tapi bukan berarti atas nama friendship lantas kemanapun berdua, nempel kayak prangko. Solidaritas semu macam itu amat menjenuhkan. Bahkan bisa merampas kebebasan masing-masing individu untuk memuai dan mengaktualisasikan diri.
Para leluhur kita memberi teladan. Pasangan suami-istri secara periodik pisah ranjang. Lho kenapa? agar tiap individu memiliki kesempatan untuk mengasah bakatnya masing-masing. Toh mereka masih bisa bertemu tatkala makan malam, nonton, mendampingi anak belajar, dan senggama tentunya. Namun sayang kini istilah "pisah ranjang" cenderung berkonotasi negatif. Bahkan dijadikan strategi ampuh untuk mendongkrak popularitas di kalangan selebritis.
Secara blak-blakan Anand Krishna membuka kartu. Penulis produktif 110 buku ini memiliki kebiasaan membaca hingga lewat tengah malam. Jam 01.00 WIB baru tidur, kemudian pukul 3.30 WIB si ayah beranak dua tadi sudah bangun, untuk membaca atau sekedar membuat catatan kecil sampai sekitar jam 04.00 WIB. Lantas tidur lagi sampai jam 05.30 subuh. Bayangkan bila beliau menuntut sang istri untuk mengikuti pola ini (hlm 29).
Tak ketinggalan, buku ini juga menyajikan humor-humor segar. Misal, sepulang dari kantor Hola menggoda istrinya, "Istriku masihkan kau ingat dulu waktu aku pulang dari kantor, kamu selalu menyapaku dengan penuh kasih sayang, membantu membukakan sepatu, sedangkan si Brutus, anjing kita, membawa koran sore sembari menggonggong. Tapi kok sekarang terbalik, brutus yang membantuku membuka sepatu dan kamu yang mengomeliku?" (hlm 83). Pertengkaran kecil ibarat bumbu dalam masakan, tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Ada juga percakapan filosofis antara Socrates dan muridnya. "Guru apakah aku harus menikah? " tanya si murid ngebet. "Ya kamu harus menikah!" jawab Sang Guru tegas. Murid tadi melongo karena ia tahu pasti bahwa keluarga Socrates jauh dari nuansa sakinah, mawadah, dan warohmah karena istri murid Aristoteles ini pemarah kelas berat. Kemudian Socrates melanjutkan, "Bila kamu beruntung maka keluargamu akan bahagia, sebaliknya kalau kamu kurang beruntung maka kamu akan menjadi filsuf sepertiku hahahahaha (hlm 17). Intinya pengalaman memang guru terbaik kehidupan, istilah Jawanya, "Ngelmu kuwi nganti laku"
Saptapadi ialah referensi berharga untuk menuju keluarga bahagia. Buku ini layak dibaca, didiskusikan dan dipraksiskan oleh para pasangan muda sampai yang lanjut usia. Tak terkecuali bagi komunitas Ijo Lumut (Ikatan Jomblo Lucu dan Imut) yang sedang menanti kedatangan belahan jiwanya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar