Semilir angin globalisasi melenakan kesadaran putra-putri Ibu Pertiwi sehingga lupa akan jati dirinya. Ada yang bergaya kebarat-baratan, kearab-araban, kecina-cinaan, keindia-indiaan, kemarxis-marxisan, dan seterusnya. Padahal, tradisi kejawen sebagai salah satu saka guru budaya Nusantara mengandung khasanah kebijaksanaan hidup nan adiluhung.
Misal seni pewayangan. Tontonan yang memberi tuntunan sebagai landasan tatanan sosio-kultural ini telah dikenal luas masyarakat sejak zaman Dinasti Airlangga di abad 13. Ironisnya di abad-21 ini hanya segelintir orang muda yang sudi mengkaji makna filosofis di balik metafora tokoh Panakawan. Pana berarti arif, kawan sinonim dengan sahabat. Sejatinya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong merupakan personifikasi "Sahabat Arif Bijaksana" yang bersemayam dalam diri kita semua.
Tapi menurut Imanuel Subangun, orang muda itu "di luar baik - di luar buruk". Ibarat lahan pertanian masih belum tergarap secara memadai. Saat ini kita merindukan orang muda dan mereka yang berjiwa muda yang piawai mengkontekstualisasikan nilai-nilai local wisdom dengan bahasa hare gene sehingga matching dengan semangat anak zaman modern.
Beberapa hari silam, penulis menyaksikan tayangan menarik sekaligus mendidik di salah satu stasiun TV swasta. Berbeda dengan mayoritas sinetron Indonesia yang cenderung cengeng dan menjual mimpi semu. Acara tersebut justru mengangkat kisah perjuangan heroik Rama menyelamatkan Shinta dari cengkraman Rahwana. Langkah kecil namun konkret ini terbukti mampu mengangkat (kembali) khasanah budaya lokal melalui media Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) secara gaul dan fungky.
Lebih lanjut, menurut Anand Krishna, kemiripan lakon wayang di India dan Indonesia bukan merupakan satu kebetulankarena budaya Hindia Daratan (Jambu Dwipa) dan Hindia Kepulauan (Nusantara) terlahir dari satu rahim yang sama. Yakni peradaban di sekitar Sindhu Matta (Sungai Sindhu) yang mengalir dari Gandahar (kini Pakistan) sampai Astraley (sekarang Australia). Bumi Nusantara tercinta menyimpan begitu banyak khasanah budaya lokal. Pilihan ada di tangan kita, mau membiarkannya tersia-sia atau segera mengambil cangkul dan mulai menggali sembari berdendang, "Gundul-gundul pacul-cul gembelengan...Nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan..."
Misal seni pewayangan. Tontonan yang memberi tuntunan sebagai landasan tatanan sosio-kultural ini telah dikenal luas masyarakat sejak zaman Dinasti Airlangga di abad 13. Ironisnya di abad-21 ini hanya segelintir orang muda yang sudi mengkaji makna filosofis di balik metafora tokoh Panakawan. Pana berarti arif, kawan sinonim dengan sahabat. Sejatinya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong merupakan personifikasi "Sahabat Arif Bijaksana" yang bersemayam dalam diri kita semua.
Tapi menurut Imanuel Subangun, orang muda itu "di luar baik - di luar buruk". Ibarat lahan pertanian masih belum tergarap secara memadai. Saat ini kita merindukan orang muda dan mereka yang berjiwa muda yang piawai mengkontekstualisasikan nilai-nilai local wisdom dengan bahasa hare gene sehingga matching dengan semangat anak zaman modern.
Beberapa hari silam, penulis menyaksikan tayangan menarik sekaligus mendidik di salah satu stasiun TV swasta. Berbeda dengan mayoritas sinetron Indonesia yang cenderung cengeng dan menjual mimpi semu. Acara tersebut justru mengangkat kisah perjuangan heroik Rama menyelamatkan Shinta dari cengkraman Rahwana. Langkah kecil namun konkret ini terbukti mampu mengangkat (kembali) khasanah budaya lokal melalui media Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) secara gaul dan fungky.
Lebih lanjut, menurut Anand Krishna, kemiripan lakon wayang di India dan Indonesia bukan merupakan satu kebetulankarena budaya Hindia Daratan (Jambu Dwipa) dan Hindia Kepulauan (Nusantara) terlahir dari satu rahim yang sama. Yakni peradaban di sekitar Sindhu Matta (Sungai Sindhu) yang mengalir dari Gandahar (kini Pakistan) sampai Astraley (sekarang Australia). Bumi Nusantara tercinta menyimpan begitu banyak khasanah budaya lokal. Pilihan ada di tangan kita, mau membiarkannya tersia-sia atau segera mengambil cangkul dan mulai menggali sembari berdendang, "Gundul-gundul pacul-cul gembelengan...Nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar