Januari 06, 2008

Pemanasan Global, Isu atau Fakta?

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, Sabtu, 7 Juli 2007

Menurut Gerard Bonn dari Columbia University, pemanasan Global bersifat siklis. Fenomena alam(i) ini telah terjadi sejak 130.000 silam. Sebaliknya Al Gore dalam film An Inconvinient Truth memvisualisasikan bahwa peningkatan suhu bumi sudah melampaui ambang
batas kewajaran dalam dua dasawarsa terakhir. Dulu di Papua yang alamnya begitu asri, jalan 2 jam bisa ketemu kangguru, sekarang walau sudah blusukan 6 jam dalam hutan belum tentu melihat klebatannya.

Global Warming disebabkan oleh kadar karbondioksida (CO2) berlebih di atmosfer bumi. Daya gravitasi menahan banyak amonia dan methane di sana. Akibanya, salju abadi (permafrost) di kutub lebih cepat mencair, suhu air laut naik dan curah hujan menjadi tinggi. Gejala salah mangsa atau dalam bahasa kerennya El Nina dan La Nina ialah dampak nyata dari kerusakan ekosistem tersebut.

Praktek illegal logging yang "menyulap" areal hutan menjadi lahan kritis ialah penyebab utama pemanasan global. Karena paru-paru dunia yang mampu mentransformasi Co2 menjadi oksigen kian langka. Ironisnya pemerintah tidak berani bersikap tegas kepada para pembalak liar yang
merusak alam titipan anak-cucu tersebut. Selain itu corak peradaban industrial yang mengandalkan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak, gas alam juga menjadi kontributor utama kerusakan ekosistem dalam skala makro.

Memang sih sudah ada upaya untuk menurangi dampak kerusakan ini, yakni Protokol Kyoto (1997). Celakanya, Amerika dan Cina yang notabene tercatat sebagai emisor CO2 terbesar emoh meratifikasi kesepakatan tersebut. Sehingga perlu ada persatuan dari negara-negara Asia Afrika guna mendesak Paman Sam dan Negeri Tembok Raksasa untuk mengurangi emisi GHG (Green House Gases) yang mencemari atmosfer bumi yang satu adanya ini.

Fakta-fakta seputar pemanasan global bagi negara-negara Asia-Afrika sungguh membuat bulu roma merinding. 10 juta penduduk pesisir akan menjadi nomaden alias kehilangan tempat tinggal akibat abrasi pantai, 4.000-an pulau di Indonesia bisa tenggelam, 130 juta penduduk Asia Afrika akan menderita kelaparan karena sinar Ultra Violet (UV) membuat tanah (lebih) kering.

Menurut Roy B Efferin para ilmuwan di Taiwan tengah mengadakan eksperimen yakni membuat CO2 sisa industri ke dasar laut. Penulis buku Sains dan Spiritualitas tersebut menyatakan bahwa dalam kedalaman 4900 kaki di bawah permukaan laut CO2 menjadi stabil bahkan aman dikonsumsi sebagai makanan oleh aneka biota laut.

Secara lebih mendalam, sebutan planet Bumi terkesan maskulin banget. Sehingga manusia cenderung mengeksploitasimya habis-habis. Para leluhur kita lebih suka menyebut tanah air dengan Ibu Pertiwi, Motherland . Hubungan parental dengan Ibu Bumi membuat anak manusia
secara alam(i) lebih menghargai alam semesta. Ritual pemberian sesaji di pohon-pohon besar atau dongeng sebelum tidur bagi anak-anak berisi petuah agar tidak menebang pohon sembarangan karena di sana ada wewe gombel ialah bentuk kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam.

Kini langkah konkret yang bisa dilakukan sebagia wujud cinta pada Ibu Bumi ialah, naik sepeda tau jalan kaki saja bila hendak bepergian jarak dekat, mengembangkan PLT tenaga surya, biogas, minyak jarak, dst, mematikan bolam lampu bila tidak digunakan, menanam pohon di
taman-taman kota, bukit dan pekarangan rumah, mendaur ulang kertas, plastik, logam, tisu, dst. Last but not least, menulis artikel ekologis di media massa berkait bahaya pemanasan global dan solusi praktis untuk mengatasinya.

Tidak ada komentar: