Januari 06, 2008

Menyulut Obor Cinta Ibu Pertiwi

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, Seputar Indonesia, Kamis 9 Agustus 2007.

Seorang nasionalis - berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S Poerwadarminta terbitan Balai Pustaka (1976) - berarti dia yang mencintai nusa dan bangsanaya. Sedangkan menurut Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia yang dikompilasi oleh Eko (2006), nasionalisme dapat pula berarti sauvinisme, patriotisme atau semangat kebangsaan (hlm 427)

Memang kalau tidak berhati-hati, patriotisme bisa menjelma menjadi sauvinisme alias kecenderungan mengagung-agungkan bangsa sendiri serta melulu melihat keburukan bangsa lain. Bung Karno mengantisipasi kecenderungan sauvinistis tersebut dengan menempatkan mekarnya kembang nasionalisme dalam bingkai taman sari internasionalisme (sosio-nasionalisme).

Ironisnya, semangat kebangsaan yang pernah berkobar di dada para founding fathers dan pejuang kemerdekaan kini kian meredup. Ibu Pertiwi merintih menyaksikan anak-anak bangsa tersekat-sekat oleh kepentingan ekonomi-politis yang dibungkus rapi dengan sentimen suku,
agama, dan ras. Seperti pemberlakuan Perda Syariat Islam di pelbagai daerah, Perda Kota Injil di Manokwari Papua, Perda benuansa Hindu di Bali, dst. Selain itu gerakan separatisme juga kembali merebak di Maluku Selatan, Bumi papua, dan sekitarnya. Hal tersebut berpotensi
menyebabkan disintegrasi bangsa.

Raden Nagabehi Ronggowarsito pernah memperediksi bahwa Pulau Jawa bisa terpecah menjadi lima daerah karena adanya bencana alam. Redefinisi jangka (ramalan) tersebut dalam konteks kekinian ialah Jawa identik dengan Indonesia, sedangkan bencana alam mencakup pula bencana sosial akibat pelanggaran konsensus nasional dan pengkhianatan terhadap landasan bernegara kita : Pancasila. Kiranya momentum menjelang perayaan HUT ke-62 Republik Indonesia ialah saat yang tepat guna menyulut kembali obor cinta bagi Ibu Pertiwi.

Anand Krishna mengajak segenap anak bangsa belajar (dari) sejarah. Kita hanya bisa bertahan 100 tahun dengan landasan agama. Padahal dengan landasan budaya, kita pernah memiliki dinasti yang dalam sejarah kemanusiaan, belum ada dinasti yang pernah berkuasa selama 800 tahun lebih : Sriwijaya! Lebih lanjut menurut tokoh humanis lintas agama ini, dari Ken Arok sampai Majapahit, rentang waktunya 400 tahun, patihnya beragama Buddha, Rajanya beragama Hindu da jangan lupa bahwa salah satu Raja Sriwijaya bernama Haji Sumatrani, dia Muslim. Padahal saat iu masyarakatnya lebih banyak Hindu dan Buddha, tapi hal tersebut tidak menjadi soal.

Agenda minimum yang musti segera dilaksanakan ialah pembenahan sektor pendidikan nasional. Semboyan luhur Taman Siswa, "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso dan Tut Wuri Handayani" perlu ditumbuhkembangkan dalam diri anak didik sejak dini melalui pelajaran Budi Pekerti. Nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap agama mesti mewarnai seluruh peri kehidupan segenap warga negara yang "Bhinneka Tunggal Ika - Tan Hana Dharma Mangrwa". Karena - menyitir pesan Mpu Tantular - sejatinya tiada dualitas dalam dharma bhakti bagi Ibu Pertiwi, Indonesia Jaya!

Tidak ada komentar: