Sungguh mengharukan sekaligus menggetarkan tatkala ratusan peserta Temu Hati "Budaya Sebagai Landasan Integrasi Bangsa" pada Minggu Wage 24 September 2006 lalu dengan tokoh humanis lintas agama Nusantara, Anand Krishna, di Auditorium Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Sagan Yogyakarta berbaris antre guna menandatangani petisi menuntut pengembalian mata pelajaran Budi Pekerti di sekolah. Sungguh sebuah peristiwa bersejarah dan kado manis nan tak terlupakan di hari pertama bulan Ramadhan 1427 Hijriyah nan suci dan penuh berkah.
Petisi tersebut akan dikirim kepada Pemerintah Daerah dan Pusat, utamanya Menteri Pendidikan serta dinas-dinas terkait yang bertanggungjawab mengurusi bidang yang kendati amat signifikan dalam pembenahan tata hidup berbangsa di masa depan namun kerap dianaktirikan dari segi atensi dan anggaran finansial.
Pertanyaan lebih lanjut ialah kenapa pengembalian mata pelajaran Budi Pekerti urgently required alias mendesak untuk segera dilaksanakan? Hal ini berangkat dari kasus riil di lapangan yang disharingkan oleh peserta acara "Temu Hati" yang digagas oleh National Integration Movement (NIM) tersebut. Di sebuah sekolah negri, ketika berlangsung pelajaran agama Islam di kelas, anak-anak non Muslim berada di luar kelas. Si guru agama nyeletuk begini, "Anak-anak, mereka yang di luar itu adalah kafir. Mereka tidak akan masuk surga." Lucunya, walau sejatinya amat memprihatinkan, guru murid-murid yang non Muslim juga berkata sebaliknya, " Kasihan orang-orang yang ada di dalam itu. Mereka tidak akan memperoleh keselamatan."
Pola pengkotak-kotakan dan klaim arogan sepihak atas Kebenaran semacam inilah yang berpotensi memunculkan perang saudara dan disintegrasi bangsa. Ironisnya benih-benih kebencian tersebut ditebar di ruang-ruang kelas kepada para murid-murid yang begitu polos. Hal semacam ini tak bisa dibiarkan terus karena bertentangan dengan makna terdalam pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Para peserta didik seyogianya bisa mengapresiasi sesama alau berbeda agama dan kepercayaan. Ambon dan Poso masih parah kondisinya sampai detik ini, sehingga kita musti berupaya sekuat tenaga agar tragedi kemanusiaan semacam ini tak kian meluas di Bumi Pertiwi tercinta ini.
Agama ialah urusan personal, antara kita dengan Tuhan. Ada banyak cara beribadah dan memuja-Nya, tapi ibarat aliran sungai, semua bermuara di Samudera Kehidupan yang satu adanya, yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau kita cermati dengan kepala dingin, sentimen agama yang acapkali dipakai oleh segelintir kelompok radikal yang mau menang dan benar sendiri (baca: fanatik) hanyalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan politis jangka pendek (baca: polotisasi agama). Hal itu merupakan penistaan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap agama di dunia ini.
Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa menekankan betapa pentingnya pendidikan Budi Pekerti sejak usia dini di sekolah-sekolah kita. Mata pelajaran ini memfasilitasi siswa-siwi untuk mengkaji nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam pelbagai agama dan kepercayaan di jagad raya ini. Misalnya, prinsip kejujuran, keberanian memperjuangkan keadilan, sikap tepa slira dan apresiasi terhadap perbedaan, bela rasa dengan mereka yang menderita dan tertimpa bencana, dlsab. Sedangkan tanggungjawab pendidikan agama biarlah dikembalikan kepada orang tua di keluarga dan pemuka agama di masyarakat, termasuk media massa. Namun perlu diingat bahwa semua itu musti dilandasi dan diwarnai oleh Kasih, Kedamaian dan Harmoni (Love, Peace and Harmony).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar