Januari 06, 2008

Oase Lokal di Padang Modern

Dimuat di Rubrik Suara Mahasiswa, SKH Kedaulatan Rakyat, Kamis, 4 Juni 2007.

"Hare gene ngomong pake basa Jawa, apa kata dunia?" Begitu cletukan ABG gaul menyikapi pemakaian bahasa Jawa di era Milenium ketiga ini. Semilir angin Globalisasi telah melenakan kesadaran generasi muda sehingga lupa akan jati diri bangsa. Ada yang bergaya hidup 'kebarat-baratan", "kearab-araban", "kemarxis-marxisan", dan seterusnya. Padahal budaya Jawa sebagai salah satu Saka Guru budaya Nasional sejatinya mampu membentuk karakter anak bangsa yang tangguh.

Seni pewayangan mengandung ajaran Spiritual Adiluhung. Menurut Mpu Kanwa, "tontonan" yang memberi "tuntunan" sebagai landasan "tatanan" sosio kultural ini telah dikenal luas oleh para leluhur sejak zaman Dinasti Airlangga. Ironisnya kini hanya segelintir anak muda yang tertarik merenungkan makna filosofis di balik tokoh Panakawan. "Pana " berarti arif, "kawan" sinonim dengan sahabat, sehingga Semar, Gareng, Petruk dan Bagong ialah personifikasi "Sahabat arif bijaksana", yakni kesadaran yang bersemayam dalam diri tiap insan.

Lebih lanjut, tatkala Barat mulai mengenal IQ,EQ, SQ dan sejenisnya, Sri Paduka Mangku Negara IV telah mengajarkan Sembah raga, cipta, rasa dan karsa lewat geguritan (tembang) Wedhatama. Namun kaum muda itu, meminjam istilah Imanuel Subangun "di luar baik-di luar buruk". Ibarat lahan masih di-bera, belum tergarap secara memadai. Sehingga butuh kepiawaian dan kesabaran ekstra guna mengkontekstualisasikan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dengan bahasa "hare gene" yang selaras dengan semangat anak zaman (modern).

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi menyosialisasikan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 dalam format bahasa Jawa. Upaya yang dipunggawani oleh Bapak Jimly Ashidiqqie ini patut mendapat acungan jempol. Namun menurut catatan statistik ada lebih dari 300 bahasa
daerah di Indonesia. Maka masih banyak gawe 'tuk membangkitkan semangat nasionalitas yang dipadukan dengan dialek lokalitas di tingkatan akar rumput.

Sebaliknya kearifan budaya lokal juga harus melulai berani dimunculkan ke permukaan. Herujiyato, Dosen pendamping skripsi penulis mendokumentasikan 99 Falsafah Jawa dari kitab-kitab kuna warisan leluhur dalam bahasa Inggris. Judulnya "Katrenanism" alias Pious Love Theory. Misal prinsip "Mangan Ora Mangan Asal Ngumpul". Terjemahan linearnya "Eating or not eating the most important thing is togethering", kiranya paraphrase yang lebih pas ialah "Willingness to Sacrifice in order to Maintain Togetherness".

Nilai lokalitas ibarat oase di padang gersang modernitas. Pesatnya laju Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIC ) ternyata tak mampu mengobati dahaga manusia 'tuk memahami Sejatine Urip, makna hidup. Di sisi lain interpretasi ajaran agama cenderung bersifat dogmatis dan
fanatis sehingga membuat manusia tak leluasa bernapas lega di alam bebas Universalitas. Bumi Nusantara menyimpan kekayaan ragam budaya lokal yang potensial sekali. Ironisnya kini perbedaan justru dijadikan alat pemicu konflik bernuansa SARA!

Tidak ada komentar: