Penulis: Siswa SMA de Britto
Penerbit: SMA de Britto Yogyakarta Cetakan: I, 2007 Tebal: 104 halaman
Harga: Rp 20.000
“Relawan: Tolong ada orang terluka, saya takut darah! Perawat: Dokter tolong! ada relawan takut darah…” hahahaha. Begitulah dialog karikatural Bambang Shakuntala yang menghiasi lembaran buku ini. Selain itu ada 27 catatan reflektif siswa SMA de Britto paska menjadi relawan gempa.
Keunikan buku “Sekolah Gempa Sekolah Hati” ialah (para) penulisnya. Mereka relatif masih belia tapi jebul generasi kelahiran 1990-an tersebut piawai menuangkan pengalamannya lewat bahasa yang ciamik. Misalnya Sugeng Jatmika menulis begini, “Dalam hitungan detik, kami menyaksikan rumah yang selama ini kami tinggali roboh. Setiap malam kami dibayangi gempa susulan dan guyuran hujan yang sangat deras, rasanya kami seperti anak nakal yang “dihajar” Bapaknya.“ (hal 19).
Kritik pedas juga membumbui buku ini yang menyentil nurani kemanusiaan kita “Aku heran mengapa di saat orang lain menderita masih ada orang yang memanfaatkan situasi untuk mencuri barang-barang yang tersisa di rumah yang roboh?. Aku juga heran meskipun dekat dengan bandara, ada desa yang sama sekali belum tersentuh bantuan dan bagaimanakah uang sumbangan yang begitu banyak, tapi kok tidak sampai ke tangan rakyat? “ – Semitha (hal 35).
Apa yang ada di dalam diri manusia lebih dahsyat ketimbang yang ada di luar diri kita. Wahyu Purwawijayanto merasakan pengalaman esoterik tersebut di Rumah Sakit, “Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun indera penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani mendekati kakek itu” (hal 45-46).
Melayani sesama bisa juga secara tak langsung seperti Chahyadi Saputra, “Aku membantu menjaga toko, melayani orang yang butuh bahan bangunan, aku tidak mau mengambil keuntungan dari kesusahan orang, meskipun banyak pembeli yang datang, aku justru menurunkan harga barang” (hal 104). Para siswa “bantingan” mengetik refleksi tadi di rental komputer. Menurut penuturan St Kartono, sang editor musti menscan disket anak didiknya agar terbebas dari virus nakal. Luar biasa!
Penerbit: SMA de Britto Yogyakarta
Harga: Rp 20.000
“Relawan: Tolong ada orang terluka, saya takut darah! Perawat: Dokter tolong! ada relawan takut darah…” hahahaha. Begitulah dialog karikatural Bambang Shakuntala yang menghiasi lembaran buku ini. Selain itu ada 27 catatan reflektif siswa SMA de Britto paska menjadi relawan gempa.
Keunikan buku “Sekolah Gempa Sekolah Hati” ialah (para) penulisnya. Mereka relatif masih belia tapi jebul generasi kelahiran 1990-an tersebut piawai menuangkan pengalamannya lewat bahasa yang ciamik. Misalnya Sugeng Jatmika menulis begini, “Dalam hitungan detik, kami menyaksikan rumah yang selama ini kami tinggali roboh. Setiap malam kami dibayangi gempa susulan dan guyuran hujan yang sangat deras, rasanya kami seperti anak nakal yang “dihajar” Bapaknya.“ (hal 19).
Kritik pedas juga membumbui buku ini yang menyentil nurani kemanusiaan kita “Aku heran mengapa di saat orang lain menderita masih ada orang yang memanfaatkan situasi untuk mencuri barang-barang yang tersisa di rumah yang roboh?. Aku juga heran meskipun dekat dengan bandara, ada desa yang sama sekali belum tersentuh bantuan dan bagaimanakah uang sumbangan yang begitu banyak, tapi kok tidak sampai ke tangan rakyat? “ – Semitha (hal 35).
Apa yang ada di dalam diri manusia lebih dahsyat ketimbang yang ada di luar diri kita. Wahyu Purwawijayanto merasakan pengalaman esoterik tersebut di Rumah Sakit, “Bau yang sangat tidak enak berasal dari luka yang membusuk. Aku merasa ragu. Nuraniku berkata untuk segera menolong kakek itu. Namun indera penciumanku tidak tahan dengan bau busuk. Belum sempat mundur satu langkah ada seorang relawan yang meminta bantuanku untuk memindahkan sang kakek ke tempat tidur. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku, yang jelas seketika aku mengabaikan rasa takutku dan berani mendekati kakek itu” (hal 45-46).
Melayani sesama bisa juga secara tak langsung seperti Chahyadi Saputra, “Aku membantu menjaga toko, melayani orang yang butuh bahan bangunan, aku tidak mau mengambil keuntungan dari kesusahan orang, meskipun banyak pembeli yang datang, aku justru menurunkan harga barang” (hal 104). Para siswa “bantingan” mengetik refleksi tadi di rental komputer. Menurut penuturan St Kartono, sang editor musti menscan disket anak didiknya agar terbebas dari virus nakal. Luar biasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar