Juni 21, 2013

Akulturasi Budaya Tionghoa dan Jawa dalam Perayaan Peh Cun 2013 di Pantai Mancingan, Parangtritis Baru, Bantul, Yogyakarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/20 Juni 2013
http://mjeducation.co/akulturasi-budaya-tionghoa-dan-jawa-dalam-perayaan-peh-cun-2013-di-pantai-mancingan-parangtritis-baru-bantul-yogyakarta/


Tepat pukul 12.00 WIB, tanggal 5 bulan 5 tahun penanggalan Imlek atau Rabu siang (12/6/2013) ratusan telur mentah tegak berdiri di bibir pantai Mancingan, Parangtritis Baru, Bantul, Yogyakarta. Menurut Fantoni, salah seorang sesepuh komunitas Tionghoa di Kota Gudeg yang menjadi pemandu acara bersama komedian Wisben, saat itu jarak antara matahari sebagai pusat tata surya dengan planet bumi ialah yang terpendek. Sehingga daya tarik-menarik gravitasinya sangat kuat. Alhasil, telur-telur tersebut bisa berdiri tegak walau hembusan angin pantai relatif kencang menerpa.

Itulah salah satu acara hiburan dalam Perayaan Peh Cun yang menyedot ribuan penonton dari dalam maupun luar negeri. Sebelumnya, pada pukul 11.00 WIB telah dilakukan labuhan sesaji ke Laut Selatan (Segara Kidul) yang dikenal berpalung dalam dan berombak besar tersebut. Sesaji terdiri atas buah-buahan, bunga, dan bakcang. Hajatan budaya ini gratis dan terbuka untuk umum. Bagi peserta yang berboncengan membawa sepeda motor cukup membayar Rp 10.000 untuk retribusi masuk ke area Pantai Mancingan, Parangtritis Baru dan Rp 2.000 untuk ongkos parkir.

Lalu, dalam kata sambutannya, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengapresiasi akulturasi seni di abad ke-21 ini. Kenapa? Perayaan Peh Cun walau notabene sebuah Festival Budaya Tionghoa tapi menyediakan ruang bagi integrasi sosial masyarakat. Sehingga kita dapat menembus sekat-sekat perbedaan lewat pergelaran seni dan budaya.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu juga ternyata fasih menceritakan asal-muasal perayaan Peh Cun. Xu Yuan (339 SM - 277 SM) adalah seorang menteri negara Chu. Ia seorang pejabat yang banyak memberikan ide untuk memajukan negara Chu dan bersatu dengan negara Qi untuk memerangi negara Qin. Namun sayang, ia difitnah oleh keluarga raja yang iri kepadanya. Kriminalisasi tersebut berujung dengan pengusirannya dari ibu kota negara Chu. Lalu, negarawan, filsuf sekaligus sastrawan dari dataran Tiongkok tersebut terjun bunuh diri ke sungai Miluo. Kisah ini tercatat dalam buku sejarah Shi Ji.


Rakyat pun merasa sedih,  kemudian mereka mencari jenazah sang menteri di sungai tersebut. Mereka juga melemparkan nasi dan makanan lain ke dalam sungai dengan maksud agar ikan dan udang dalam sungai tidak mengganggu jenazah sang menteri. Kemudian untuk menghindari agar makanan tidak dilahap oleh naga di dalam sungai maka mereka membungkusnya dengan daun-daunan yang dikenal sebagai bakcang. Para nelayan yang mencari-cari jenazah sang menteri dengan berperahu akhirnya menjadi cikal-bakal dari perlombaan perahu naga.

Aksi heroik Xu Yuan tersebut merupakan sebuah bentuk protes terhadap pemerintahan yang korup. Selanjutnya, beliau juga menjelaskan kenapa dalam hampir setiap perayaan budaya Tionghoa barongsai selalu tampil. “Karena itu untuk mengusir setan. Dalam konteks sekarang, marilah kita berjuang bersama mengusir setan kemiskinan. Bagi para pengusaha di sini, dunia bisnis juga harus ada aspek temu dengan lingkungan sosial dan isu-isu kemasyarakatan,” ujarnya.

“11 tahun lalu, tepatnya tahun 2002, saya masih ingat dalam perayaan Peh Cun ada juga aksi penghijauan di Pantai Parangtritis ini. Hal semacam itu bisa dilakukan lagi. Tapi warga setempat juga harus dilibatkan agar bisa merawatnya, jadi tak sekadar ditanam dan ditinggal pergi,” imbuhnya lagi.

Secara lebih mendalam, Ngarso Dalem memaparkan etika religi Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM). Esensinya ialah keseimbangan alam, harmoni antara unsur Yin-Yang. Dalam konteks masyarakat Indonesia, itu bisa berupa hubungan sosial yang ideal, pengabdian pada nilai-nilai kemanusiaan, sopan-santun (unggah-ungguh), politik yang berdasarkan pada kaidah etis, dan hidup damai dalam pergaulan antar sesama makhluk ciptaan-Nya.

“Oleh sebab itu, perayaan Peh Cun tahun 2013 ini merupakan sarana kontemplasi dan mawas diri untuk kita semua agar nilai-nilai keutamaan tersebut dapat kita terapkan dalam keseharian. Semoga Tien (Tuhan) yang maha kuasa memberkahi kita semua. Sekian dan terima kasih,” pungkasnya.



Piala Raja

Dalam acara ini menghadirkan Festival Barongsai Yogyakarta yang memperebutkan Piala Raja berlapis emas 24 karat. Piala tersebut berbentuk mahkota raja kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Juri yang menilai festival ini cukup kompeten, yakni dari Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia (Persobarin). Total pesertanya ada 10 grup, yakni dari Yogyakarta (Panber Beskalan, Isaku Iki, Naga Selatan), Magelang (Singa Mas, TITD Liong Hok Bio), Kudus (Satya Dharma: 2 grup), dan Semarang (Satya Budi Dharma: 2 grup, Taichi Master).

Di sela-sela acara, penulis sempat mewawancarai ketua grup barongsai Isaku Iki dari Yogyakarta. Menurut Lusia Sri, ST mereka datang ke Pantai Parangtritis Baru ini dari Dusun Sutodirjan di Yogyakarta dengan naik mobil pick up. “Karena kami harus membawa peralatan musik seperti bedug, kenung, simbal, dan 10 pemain barongsai,” ujarnya.


Ketika ditanya berapa kali latihan untuk mempersiapkan keterlibatan dalam festival ini, katanya hanya sekali saja. “Kami hanya berlatih untuk menyesuaikan waktu pentas yang disediakan panitia, yakni 10 menit. Selama ini kami memang sudah sering pentas jadi sudah hapal gerakannya dan lumayan kompak,” imbuhnya lagi.

Keunikan grup barongsai yang didirikan oleh Mbah M. Doel Wahab ini ialah rata-rata para pemainnya tergolong muda. Kebanyakan dari mereka adalah siswa-siswi sekolah menengah yang peduli dan mau melestarikan budaya bangsa. Walau sebagian besar kaum pribumi (baca: Jawa) tapi mereka mau belajar kesenian barongsai dari Tionghoa. Bahkan menurut Bu Lusia, ada juga grup anak-anak, mereka rata-rata masih duduk di bangku SD. “Tujuannya untuk regenerasi sekaligus belajar mengapresiasi perbedaan sejak usia dini,” pungkasnya.

Berhubung cuaca kurang mendukung dan hujan lebat mulai mengguyur, hanya 6 grup barongsai yang berhasil tampil. Mereka mempertunjukkan kebolehannya menari dan meloncat lincah di atas tiang-tiang besi setinggi 2 meter seturut irama tabuhan nan rancak. Kesulitan utamanya ialah faktor angin yang relatif kencang. Sehingga sangat sulit menjaga keseimbangan dan menopang berat topeng barongsai raksasa tersebut. Sebagai antisipasi pihak panitia memasang matras empuk di atas panggung konblok. Jadi kalau ada yang jatuh tak sampai cedera serius.

Akhirnya, berdasarkan kesepakatan dewan juri dan para manajer grup barongsai, total hadiah Rp 18 juta dibagi rata untuk 10 grup yang sudah datang. Jadi masing-masing memperoleh Rp 1,8 juta plus biaya transportasi masing-masing Rp 1 juta. Lalu, untuk piala Raja tetap diserahkan kepada grup yang memperoleh nilai tertinggi, yakni Satya Dharma dari Kudus. Untuk 2 piala lainnya diserahkan kepada Satya Budi Dharma Semarang dan Panber Beskalan Yogyakarta.

Berkah Sang Pemberi Kehidupan


Di sela-sela atraksi barongsai panitia juga menyelipkan pertunjukan seni tradisi lokal lainnya, antara lain tarian dari para ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Fuqing. “Mereka itu sungguh masih gadis saat era 1970-an lho, tapi sekarang ya sudah tua,” ujar Wisben setengah bercanda dan sontak disambut gelak tawa para penonton.

Sajian yang tak kalah menarik ialah dari kelompok jathilan Pringgodani, Dusun Gading Sari, Sanden, Bantul karena sebagian besar penarinya masih anak-anak. Mereka dibina langsung oleh Ibu Bupati Bantul, Hj. Sri Suryawidati. Kendati hujan deras masih mengguyur, tak menyurutkan semangat generasi penerus bangsa itu untuk terus menari. Sebagai bentuk apresiasi dari Ngarso Dalem, seusai menari mereka diajak berfoto bersama Kanjeng Sultan. “Nanti fotonya akan kami pajang di sanggar agar lebih semangat latihan menari,” ujar mereka dengan sorot mata berbinar.


Anggi Minarni selaku ketua seksi acara menulis dalam status Facebook-nya, ”Hikmah yang kupetik dari Perayaan Peh Cun dan Festival Barongsai Yogyakarta ialah mendapat kebebasan untuk berekspresi seni dan melakukan ritual budaya adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia.”

“Budaya adalah identitas, dan manusia ditandai karena identitasnya. Menghargai keberagaman budaya, memberi ruang kepada pengemban budaya dalam melakukan ritualnya adalah wujud menghargai kehidupan, memuliakan Sang Pemberi Kehidupan. Berbahagialah kita sebagai orang Indonesia karena kita hidup di negeri dengan budaya yang bhinneka,” imbuhnya lagi.

Sepulang meliput acara ini penulis sempat bermain air di Pantai Mancingan, Parangtritis Baru. Lalu, setelahnya menumpang mandi di sebuah warung milik warga setempat. Menurut Ibu Sukemi, “Kalau sering-sering ada acara budaya seperti ini, kami senang sekali Mas. Karena bisa menambah pemasukan masyarakat setempat. Pengunjungnya kan jadi ramai, mereka parkir kendaraan, ke kamar kecil, membeli oleh-oleh, dan jajan makanan atau minum kelapa muda di sini.”


Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: