Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/10 Juni
2013
“Diantara
sekian banyak ketidakpastian dalam hidup ini, mungkin hanya kematian yang
merupakan satu-satunya kepastian. Aneh, selama ini kita sibuk mengejar
ketidakpastian dan tidak pernah mempersiapkan diri untuk sesuatu yang sudah
pasti.” (Anand Krishna, Kematian: Panduan Menghadapinya dengan
Senyuman, Gramedia Pustaka Utama, 2008, halaman 92).
Pertanyaannya ialah bagaimana cara kita mempersiapkan diri menghadapi
kematian yang pasti menjemput setiap anak manusia di dunia ini? Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Republik Indonesia (RI) Taufiq Kiemas telah memberi teladan nyata lewat 70 tahun
ziarah hidupnya di bumi nusantara, yakni berjuanglah demi suatu nilai yang
mulia.
Semboyan pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942 silam itu
sederhana tapi mendalam, “Kekuasaan
tanpa ideologi ibarat pernikahan tanpa cinta.” Taufiq Kiemas memang
dikenal gencar merevitalisasi empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyar (DPR) RI selama empat periode
berturut-turut (1987-2009) tersebut menghembuskan napas terakhir di General
Hospital Singapura pada
Sabtu (8/6/2013) malam. Salah seorang staf Taufiq mengatakan, “Bapak meninggal dunia pada pukul
19.05 waktu Singapura (atau pukul 18.05 WIB).”
Mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI) tersebut
meninggalkan seorang istri Dyah Permata Megawati Setyawati atau Megawati
Soekarnoputri (Presiden
ke-5 Republik Indonesia), dua anak laki-laki Mohammad Rizki Pratama, Mohamad
Prananda Prabowo, dan seorang putri Puan Maharani Nakshatra Kusyala.
Sebelumnya telah diberitakan di banyak media bahwa Taufiq
Kiemas, yang juga sesepuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tengah menjalani perawatan
intensif di Negeri Singa karena kondisi kesehatannya menurun. Ketua DPP PDI
Perjuangan Andreas Pareira mengatakan bahwa itu terjadi pasca beliau
mendampingi Wakil Presiden Boediono meresmikan Monumen
Bung Karno dan Situs
Rumah Pengasingan Bung Karno di
Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Sabtu (1/6/2013) silam. Peresmian
dilakukan bertepatan dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila ke-68.
Di Mata Sahabat
Kepergian Dr. H. Moh. Taufiq Kiemas merupakan kehilangan besar
bagi bangsa Indonesia setelah meninggalnya almarhum Gus Dur. “Pak Taufiq orang yang dekat dengan
aktivis, beliau mau mendengar suara kaum muda, dan seorang figur yang
menyatukan. Bagi Pak Taufiq, tak ada pembedaan antara minoritas dan mayoritas,
sebab kita semua satu bangsa berdasarkan Pancasila,” ujar Romo
Benny Susetyo, Pr di kediaman Taufiq Kiemas, Jalan. Teuku Umar 27A Jakarta
Pusat.
“Saya
mewakili Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan umat Katolik menyampaikan
turut berduka cita sedalam-dalamnya, kita semua kehilangan seorang bapa bangsa,“
imbuhnya lagi. Romo Benny mengaku terakhir kali bertemu Taufiq di kantor beliau
sebelum Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2013 silam. “Kami berbincang banyak, termasuk
masalah kekerasan atas nama agama. Pak Taufiq sempat berjanji menindaklanjuti
masukan soal kekerasan dan menyampaikannya langsung ke Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono,” lanjut Romo Benny.
Romo Benny mengatakan bahwa sulit mencari figur pengganti Pak
Taufiq. Beliau tak hanya bisa menjembatani tiga generasi tapi juga sangat
konsisten merajut kebersamaan dengan kalangan tua, madya, dan muda. “Menurut Pak Taufiq, masalah yang
terjadi karena adanya perbedaan bisa diselesaikan karena kita semua toh satu
keluarga Indonesia yang menjunjung tinggi Pancasila. Saya dan teman-teman
bahkan sering diundang ke kantor beliau untuk berbuka puasa bersama saat bulan
Ramadhan,“ ujar Romo Benny.
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menggelar jumpa pers untuk
secara khusus mengucapkan belasungkawa atas wafatnya Ketua MPR Taufiq Kiemas.
Presiden di kediaman pribadinya di Cikeas, Bogor pada Sabtu (8/6/2013) malam
menyampaikan, ”Atas nama
negara, pemerintah dan pribadi, saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya
atas wafatnya Bapak Taufiq Kiemas. Semoga almarhum bisa tenang di sisi Tuhan
yang maha kuasa, Allah SWT sesuai dengan jasa-jasa perjuangan dan pengabdiannya
pada bangsa dan negara.”
“Saya selaku
kepala negara akan memimpin upacara pemakaman jenazah Pak Taufiq di Taman Makam
Pahlawan (TMP) Kalibata pada Minggu (9/6/2013),” imbuhnya lagi.
Sebagai penghormatan kepada mendiang Taufik Kiemas, Presiden SBY mengimbau
seluruh masyarakat Indonesia untuk mengibarkan bendera setengah tiang selama 2
hari berturut-turut (9-10 Juni 2013).
Suka Bercanda
Zuhairi Misrawi, salah seorang staf Taufiq
Kiemas di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia divisi
pemikiran keislaman kontemporer dan pemerhati politik Timur Tengah mengatakan
bahwa spektrum wawasan Pak Taufiq sangat luas. “Beliau selalu meminta laporan tentang perkembangan
terkini situasi di Timur Tengah, seperti misalnya di Suriah kepada saya”
ujarnya. Kenapa? “Karena menurut Pak Taufiq situasi di sana akan berdampak pada
situasi nasional Indonesia,” imbuhnya lagi.
Intelektual muda Nahdatul Ulama tersebut juga mengatakan, “Pak Taufiq sangat peduli pada
regenerasi kepemimpinan nasional. Menurut Pak Taufiq kaderisasi pemimpin muda
ibarat ombak tsunami yang tak bisa terbendung lagi. Hal itu mulai ia terapkan
di PDIP, banyak tokoh-tokoh muda yang tampil dalam Pilkada, yakni Rieke Dyah
Pitaloka (Jawa Barat), Joko Widodo (DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Jawa Tengah),
dll.”
Secara khusus terkait salah satu pilar kebangsaan, Bhinneka
Tunggal Ika, Pak Taufiq berpendapat bahwa penegakan hukum saja
tak cukup. Kenapa? Karena kalau sekadar lewat jalur pengadilan pasti ada pihak
yang dikalahkan sehingga itu akan meninggalkan dendam dan luka batin. “Kita harus membumikannya sesuai
kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat seperti semangat local wisdom,
gotong-royong, dan kebersamaan,” ujarnya menirukan pendapat Pak
Taufiq.
Menurut Zuhairi, Pak Taufik sangat memprihatinkan diskriminasi
yang menimpa jemaah Ahmadiyah, warga Syiah yang masih terlunta-lunta di barak pengungsian,
dan pelarangan pembangunan gereja di beberapa daerah. Karena itu bisa menjadi
preseden buruk bagi implementasi semangat Bhinneka Tunggal Ika. “Pak Taufiq
berencana menyampaikan hal ini langsung kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang baru saja menerima penghargaan World Statesman Award dari ACF (Appeal of Conscience Foundation)
pada akhir Mei 2013.
Dalam keseharian aktivitas di kantor MPR RI masih menurut
Zuhairi Misrawi, Taufiq Kiemas ialah sosok yang egaliter dan suka humor. “Karena saya berasal dari tradisi NU,
saya suka cerita yang lucu-lucu, Pak Taufiq juga mudah tertawa terbahak-bahak
mendengar joke-joke yang dilontarkan,“ pungkas Zuhairi.
Ingin seperti Beliau
Tatkala ditanya ihwal kenangan tak terlupakan yang dialami
Budiman Sudjatmiko dengan mendiang Taufiq Kiemas, politikus PDI Perjuangan
sekaligus mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu teringat pada saat insiden 27 Juli 1996
silam.
“Pada siang
harinya, saya terlibat aksi bersama massa PDI kubu Megawati Soekarnoputri yang
berjuang mempertahankan kantor Dewan Pengurus Pusat PDI. Saat itu terjadi
bentrok dan kerusuhan. Lantas, pada malam harinya, saya mampir ke rumah
Megawati di Kebagusan, Jakarta. Saat bertemu dengan Pak Taufiq,”
ujarnya.
“Lho, di
mana kacamata kamu, Bud?” Budiman menirukan pernyataan Taufiq
Kiemas kala itu. “Kacamata
saya pecah diinjak-injak massa dan aparat saat terlibat aksi tadi siang,”
jawab Budiman. Lalu, Taufiq Kiemas segera memberi sejumlah uang kepada Budiman
agar membeli kacamata baru. “Ini
ada sedikit uang Bud, jangan sampai kehilangan kacamata itu menghambat
perjuangan kita,” kata Taufiq.
Belum sempat membeli kacamata baru, aktivis PRD itu tertangkap
dan dijebloskan ke dalam bui. Ternyata, kedua orang yang beda generasi itu
sama-sama pernah merasakan dinginnya kamar hotel prodeo. Taufiq Kiemas juga
sempat dibui karena keterlibatannya dalam Barisan Soekarno pada saat Orde Baru
masih berkuasa, salah seorang teman sekamarnya ialah Panda Nababan.
Menurut Budiman Sudjatmiko, Pak Taufiq Kiemas selaku penerima
Bintang RI Adi Pradana juga berkontribusi nyata dalam merawat keberagaman. “Karena latar belakang keluarga beliau
juga majemuk. Ayahnya seorang anggota Masyumi yang beraliran Islam, ibunya
aktivis MURBA yang beraliran sosialis, sedangkan saudara-saudaranya merupakan
loyalis Bung Karno yang sangat nasionalis,” papar Budiman.
Salah satu warisan (legacy)
berharga Pak Taufiq ialah menjadikan Pancasila lebih ramah, lembut sekaligus
progresif. Sehingga dasar negara kita tersebut bisa diterima oleh aktivis HAM,
penggiat pluralisme, dan pejuang kemanusiaan. “Padahal pada zaman Orde Baru, Pancasila dipakai sebagai
legitimasi untuk memenjarakan para aktivis pro demokrasi dan pada era
Reformasi, Pancasila dipandang sebelah mata,” imbuh Budiman.
Taufik Kiemas, masih menurut Budiman, ialah seorang negarawan
yang paripurna. Beliau pernah menjadi aktivis, politisi partai, dan akhirnya
menjadi negarawan. “Saya
ingin seperti beliau,“ pungkasnya.
Rest in Peace Mr.
Taufiq Kiemas, Bapa Bangsa dan Negarawan Sejati Pecinta Pancasila!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar