Juni 16, 2013

Membedah Landasan Filosofis Kurikulum 2013, Manusia ialah Tujuan Akhir Pendidikan

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/16 Juni 2013
http://mjeducation.co/membedah-landasan-filosofis-kurikulum-2013-manusia-ialah-tujuan-akhir-pendidikan/


Selasa pagi (28/5/2013) matahari bersinar cerah. Jam tangan masih menunjuk pukul 09.30 WIB tapi puluhan hadirin peserta diskusi telah memadati ruang Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Gejayan - Affandi, Gang. Kuwera 14 Mrican, Depok, Sleman, Yogyakarta. Sembari menanti pengunjung bisa membaca buku-buku di perpustakaan dan menikmati jajanan pasar serta teh hangat yang telah disediakan oleh panitia. Tepat pukul 10.00 WIB acara “Seri Diskusi Pemikiran Pendidikan” pun dimulai. Acara yang digelar rutin setiap dua bulan sekali tersebut hasil kerja sama DED dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Kali ini tema yang diangkat masih hangat, yakni “Membedah Landasan Filosofis Kurikulum 2013”.

Selaku narasumber ada dua praktisi pendidikan kota gudeg yang diundang, yakni Prof. Dr. M. Amin Abdullah (Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan P. Hardono Hadi, Ph.D (Dosen Pascasarjana Univeristas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta). A. Mardani, S.Sos, ketua divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) DED memberikan kata pengantar, “Dunia pendidikan dewasa ini terpengaruh tegangan politik dan ekonomis. Oleh sebab itu, tujuan diskusi kita kali ini untuk memberi landasan filosofis yang lebih mapan bagi perubahan Kurikulum 2013 tersebut.”


“Pembicara pertama ialah dosen tamu saat saya masih kuliah S2 di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta beberapa waktu lalu. Beliau juga selama dua masa jabatan menjadi Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu, Prof. Amin banyak menulis buku dan opini di media massa yang bertemakan pendidikan. Isinya sejalan dengan cita-cita mendiang Romo Mangun, yakni agar siswa/mahasiswa dapat berpikir integral, kreatif, komunikatif, dan eksploratif,” imbuhnya.

“Pembicara kedua ialah Pak Hardono. Beliau mengajar di UGM dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dulu Pak Hardono ini sekantor dengan saya di Yayasan Satu Nama. Latar belakang kedua pembicara memang filsafat epistemologis. Lewat diskusi ini, kita hendak memberikan landasan filosofis agar Kurikulum 2013 prosesnya kelak lebih manusiawi,” pungkasnya.

Menurut Prof. Amin, ini forum diskusi yang bagus sekali. “Kita sharing saja menyikapi tema besar Kurikulum 2013. Kabarnya pada Juli 2013 akan mulai diterapkan di seluruh Indonesia. Kegelisahan terhadap dunia pendidikan nasional memang dirasakan oleh semua orang. Lalu bagaimana jalan keluarnya?” tanyanya kepada para hadirin.


Prof. Amin mau berangkat dari pengalamannya sendiri beberapa waktu lalu sebagai rektor. Saat itu, IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sunan Kalijaga akan berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga. “Saya sebagai pelaku saat perubahan IAIN ke UIN juga mengalami pergumulan serupa. Tapi menurut saya yang paling pokok ialah merumuskan paradigma keilmuannya dulu. Itu saya lakukan terus-menerus sepanjang tahun 2003-2004,” ujarnya.

“Pergumulan epistemilogis dan filosofis itu ternyata tidak mudah. Kadang-kadang saya juga merasa hopeless, tapi kita sebagai pemikir, pemandu, aktivis jangan mudah menyerah begitu saja. Harus terus maju!” ujarnya dengan penuh semangat.

“Saya mencermati debat di media massa terkait Kurikulum 2013: Tematik-Integratif. Dulu pada tahun 2002 sampai 2006 saya menyebutnya integrative dan interconnected. Karena ada istilah “inter” jadi di situ yang paling aktif ialah dosen/guru. Dosen/guru merupakan ujung tombak. Tapi kenapa para dosen dan guru malah belum di-training?” tanyanya.

Masih menurut Prof. Amin, seharusnya ada naskah akademik yang memuat proses active learning, KTSP, dll. Itu semua belum ada tapi Kurikulum 2013 sudah keburu segera di-launching, the show must go on.

Integratif

Selanjutnya secara teoritis, Prof Amin memaparkan empat tingkatan integratif dari aspek keilmuan, yakni intradisiplin, multidisiplin, interdisiplin, transdisiplin. “Banyak buku yang bisa teman-teman baca untuk memahaminya lebih lanjut,” ujarnya.

“Pertanyaan kritisnya ialah apa yang hendak diintegrasikan dalam Kurikulum 2013? Kenapa tak dibuka secara transparan kepada publik naskah akademiknya? Dalam pengamatan saya dan berdasarkan pengalaman saya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Diknas sekarang baru berada pada level 1 dan 2, tapi belum masuk ke tahap 3-4,” imbuhnya lagi.

Selain itu menurut Prof. Amin, saat ini masih ada dikotomi mata pelajaran/kuliah. “Dosen/guru hanya ahli di satu bidang tertentu. Tapi ia tidak aware pada bidang lainnya. Itu bisa menjadi tema seri diskusi pemikiran pendidikan selanjutnya,” ujarnya.

“Intinya, para dosen dan juga harus disentuh. Lha sekarang mereka sama sekali belum di-training. Itu bisa menjadi problem besar dalam penerapan Kurikulum 2013. Bahkan kalau pun kelak ada pelatihan, tapi pola pelatihannya masih menggunakan paradigma lama hasilnya niscaya lebih parah lagi,” katanya mengingatkan.

Kotak-kotak pemisah antara aspek kehidupan dan mata pelajaran/kuliah tersebut sebenarnya sudah hendak dijebol oleh Umar Kayam dan Kuntowijoyo. Lalu, Prof. Amin mengutip tesis Umar Kayam, “Kita ini mendidik mahasiswa/siswa dalam kotak-kotak ilmu yang saling terpisah.”

“Bisa jadi hubungan sosial mengalami kebuntuan – misalnya relasi anak dan orang tua, relasi guru dan murid, dst -  karena model pembelajaran yang terkotak-kotak semacam itu. Jadi memang perlu kita perbaiki bersama, supaya bisa keluar dari pemisahan kotak-kotak ilmu tersebut. Tapi kenapa begitu tergesa-gesa Diknas-nya? Debat publiknya masih kurang memuaskan dan belum tuntas,” pungkasnya.

Tamasya Peradaban

Narasumber kedua Pak Hardono mengajak peserta diskusi bertamasya ke sejarah peradaban umat manusia. “Pada zaman Yunani kuno yang mendominasi ialah cara berpikir mitologi. Alhasil, siapa saja yang menentang mitos pasti disingkirkan oleh penguasa,” paparnya.

“Lalu, lahirlah generasi Socrates, Plato, dll. Mereka itu rasional sekali. Oleh sebab itu, hidup yang tak direfleksikan tak layak dijalani. Mereka juga bertanya terus, sedangkan yang menjawab ialah pihak-pihak lain. Itulah cikal-bakal ilmu filsafat,“ imbuhnya lagi.


Menurut Pak Hardono, proses dialektika itu terus berlanjut sampai pada satu titik yang tak tertanyakan lagi, yakni hakikat segala sesuatu. Tapi cara berpikir seperti ini membuat mereka meremehkan mitologi. Kenapa? Karena mitologi itu tidak rasional sehingga tak pantas dijadikan pegangan. Akhirnya, Socrates dibunuh karena mengajari orang muda berpikir kritis.

“Selanjutnya, muncul agama Kristen yang menafikan filsafat. Tapi ada yang berpikir lain, mari kita tundukkan filsafat dengan teologi. Tokoh seperti Galileo pun sampai dibunuh karena teori “Matahari sebagai Pusat Tata Surya” dianggap tidak teologis oleh gereja,” ujarnya.

“Lalu ada lagi yang mengkritisi teologi karena bahasanya seragam, konon terus. Nah saat itulah natural science dan teknologi mulai berkembang. Para ahli bahkan beranggapan bahwa dengan ilmu sains dan teknologi segala persoalan manusia bisa diselesaikan. Alhasil, pada tahun 1990-an perkembangan kapitalisme tak terbendung lagi,“ imbuhnya lagi.

“Pertanyaan kritisnya, dalam bidang medis misalnya, kenapa penelitian tentang penyakit panu tidak berkembang? Sedangkan penelitian penyakit jantung, kanker justru berkembang sedemikian pesat? Ternyata kaum pidak pedarakan tak diperhatikan karena patokannya benefit semata. Manusia sekadar menjadi homo economicus,” ujarnya.

“Dalam konteks zaman modern ini, nilai-nilai keutamaan seperti religiusitas, moral, kultural juga tergadaikan. Manusia jadi satu dimensi, yakni ekonomi saja. Hal itulah yang membuat kaum post modernis merasa gelisah. Sejatinya, Kurikulum 2013 merupakan tanggapan atas situasi makro tersebut,” katanya.

Tapi menurut Pak Hardono, masyarakat itu kompleks sekali, tapi kenapa mau disikat semua? “Oleh sebab itu, seyogianya buat pilot project dulu, kalau berhasil baru diterapkan secara nasional” tukasnya. Selain itu masih menurut Pak Hardono, “Apakah ada riset sungguh-sungguh meneliti kelemahan Kurikulum 2006 silam? Tolong ditunjukkan evaluasinya seperti apa? Jadi kita bisa lebih mudeng. Selama ini kita selalu mendapat kejutan-kejutan yang membuat shock dan merepotkan,” pungkasnya.

Broad Minded

Pada sesi tanya jawab, Bu Dini dari SD Sang Timur bertanya bagaimana implementasi Kurikulum 2013 bagi para guru? Menurut Prof Amin, guru-guru se-Indonesia memang mau tak mau harus menghadapi Kurikulum 2013 ini. “Tapi kurikulum kok dianggap suci amat. Kurikulum hanya guide line, bagaimana menyampaikannya semua tergantung pada para gurunya. Kalau gurunya dangkal ya penyampaiannya juga dangkal,” ujarnya.

“Sifat materi pelajaran/kuliah memang begitu, Bu. Sebagai sesama praktisi pendidikan, saya berpendapat bahwa metode tak tergantung kurikulum, tapi justru tergantung wawasan guru. Sesuai keyakinan guru dan the way to teach alias gaya berinteraksi kita dengan siswa/mahasiswa,“ imbuhnya lagi.


“Ironisnya, approach, the way to think itu jarang disentuh. Padahal siswa/mahasiswa bisa punya broad minded atau narrow minded tergantung pada guru/dosennya. Sejak tahun 1972 saya sudah mengajar, sempat break saat kuliah di luar negeri. Saya mengajar dari jam 8 pagi sampai jam 6 sore. Tapi tetap bersemangat karena fully engaged. Agar bisa mengajar dengan menarik kita juga harus terus belajar dan mengikuti perkembangan ilmu terkini Bu,” imbuhnya lagi.

Menurut Prof. Amin salah satu akar masalah dunia pendidikan ialah sistem monokulturnya. Padahal begitu lulus sekolah/kuliah, siswa/mahasiswa bertemu dengan masyarakat multikultural. “Oleh sebab itu, saya juga membuka diri pada mutlicutural studies, conflict resolution, dll,” pungkasnya.

Selanjutnya, Pak Gunawan guru Bahasa Indonesia bertanya tentang model berpikir yang integratif. Ia pernah mencoba model pembelajaran lintas disiplin ilmu. Dalam tema puisi ”Panggilan Minggu Pagi” ia melibatkan guru Fisika untuk menjelaskan mekanisme suara dari lonceng hingga sampai ke telinga manusia. Ia juga melibatkan guru Agama untuk menjelaskan pentingnya ibadah. Sedangkan ia sendiri menjelaskan dari aspek Tata Bahasa. “Apakah yang telah saya lakukan tersebut sudah Tematik-Integratif Prof?” tanyanya.

Menurut Prof. Amin, Pak Gunawan inilah contoh seorang guru yang dapat memberi inspirasi. Alangkah lebih baik, jika ditambahi lagi dengan nilai budaya saat mengajar puisi “Panggilan Minggu Pagi” tersebut sehingga lebih inklusif dan multikultural.


Penanggap selanjutnya Ninik seorang penyandang disabilitas. Ia mengapresiasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah menjadi universitas inklusif pertama di Indonesia. Karena UIN Sunan Kalijaga mengakomodir kaum disabilitas. Selain itu, UIN Sunan Kalijaga juga memberi perhatian pada pendidikan karakter dan menghargai pluralisme.

Menurut Prof Amin, kehidupan seperti sesi tanya jawab kita ini, “Ya, memang sangat kompleks. Kalau guru/dosen tak bisa bicara tentang isu-isu kemanusiaan baru, keberpihakan pada penyandang difabel, dll bagaimana dengan siswa/mahasiswanya? Di Indonesia ada sekian persen kaum disabilitas, itu menjadi inner calling untuk membuka Center of Difabel di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Stafnya saya kuliahkan dulu di luar negeri. Itu keterpanggilan kami untuk menjadi problem solver dengan wawasan broad minded,”ujarnya.  

Sebagai penutup tepat pada pukul 12.00 WIB Pak Hardono Hadi pun menandaskan, “Perguruan Tinggi (PT) sekarang cenderung mengikuti perkembangan zaman, lalu yang mengembangkan zaman siapa? Seyogianya, PT mengambil peran untuk mengarahkan perkembangan zaman. Kalau tak sampai ke sana, itu PT yang belum tuntas.”

“Dulu istilah ekonomi sampai masuk ke dunia pendidikan, universitas harus link and match dengan industri, yakni dalam rangka menyediakan buruh dan tenaga kerja murah. Itu kan melas (kasihan) sekali. Ekonomi seharusnya untuk manusia, bukan justru sebaliknya. Manusia adalah tujuan terakhir pendidikan,“ pungkasnya.


Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: