Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Rabu/26 Juni 2013
Johnny,
seorang penyandang lemah mental. Kendati demikian, dia tetap bekerja
di salah satu supermarket di Amerika. Dengan tekun, dia menjalankan
tugas memasukkan barang-barang belanjaan pelanggan. Posisi dia berdiri
tepat di belakang kasir. Ketekunan, kejujuran, dan keramahannya,
menimbulkan kekaguman dalam diri para pelanggan. Alhasil, supermarket
tersebut selalu dipenuhi pembeli. Pertanyaannya, kenapa para pelanggan
begitu tertarik?
Ternyata sembari memasukkan
barang-barang belanjaan pelanggan, Johnny memasukkan juga kertas
warna-warni yang bertuliskan kata-kata inspiratif. Petuah-petuah bijak
tersebut dia tulis di rumah. Lalu, dia bawa pada waktu bertugas jaga.
Lambat laun para pelanggan merasa ada sesuatu yang menggugah seusai
mereka belanja. Johnny berhasil berbagi semangat dan menorehkan kenangan
yang tidak terlupakan.
Hal sederhana yang mempunyai
dampak signifikan inilah yang saya terapkan juga seusai pembelajaran
ekskul bahasa Inggris di SMP Kanisius Sleman. Selalu ada sebuah kata
mutiara sebagai gong penutup pelajaran. Misalnya, kata-kata dari Plato
(427-347 SM), ''Be kind, cause everyone you meet is fighting a hard battle''.
Kemudian para siswa mengartikannya bersama, ''Berbaik hatilah, karena
setiap orang yang engkau temui tengah berjuang keras dalam hidupnya''.
Uniknya,
pada suatu ketika ada salah satu murid mengusulkan ide brilian, ''Pak,
bagaimana kalau di setiap pemberhentian lampu merah dipasangi
kata-kata mutiara juga?'' Alhasil, ruang-ruang publik tidak hanya
dipenuhi iklan - meminjam istilah Sumbo Tinarbuko - sampah visual, tapi
juga ada nilai-nilai keutamaan.
Saya berdecak kagum pada
gagasan tersebut, tapi tentu para pengampu kebijakan publik yang
memiliki otoritas untuk memberlakukan. Setidaknya, kami bisa mulai
menempelkan kata-kata mutiara di ruang kelas. Senada dengan pendapat
Aesop, ''No act of kindness, no matter how small, is ever wasted''. Tiada kebajikan, betapapun kecilnya, yang sia-sia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar